Malam
itu adalah malam dimana harga sebuah nyawa lebih murah dari seekor ayam.
Roemaisah
meringkuk diantara perdu glagah yang bermusim di tepi Kali Widas. Petang tadi, ia
merangkak dari kebun belakang rumahnya. Bersembunyi di sawah, lalu setelah
gelap, ia tiarap di tepi kali itu.
Sayup-sayup,
terdengar suara orang meminta ampun. Disusul jeritan menyayat hati meregang
nyawa.
“Semoga
Kang Sirun bisa melarikan diri dari kejaran para santri itu.” Harapnya dalam
hati.
Byur!
Sesosok
tubuh melayang jatuh di dekatnya. Diatas jembatan, terlihat tiga orang pelaku
pelemparan. Salah satunya menjilati golok yang berkilau kemerah-merahan.
Darah!
Iya,
lelaki itu membersihkan darah yang menempel di golok dengan lidahnya. Seketika Roemaisah
ingin muntah. Perutnya mual semual-mualnya. Kepalanya terasa berputar-putar.
Pandangan matanya meredup.
Slep!
Roemaisah
pingsan di sela-sela pohon glagah.
Ketika
ia membuka mata, puluhan mayat telah mengapung di Kali Widas.
*****
Satu bulan setelah Partai berlambang
Palu Arit terkuak kedoknya telah melakukan makar, orang-orang yang dicurigai
sebagai anggota dan simpatisannya dibantai oleh laskar sebuah ormas Islam.
Sebagai bentuk pembalasan atas kekejian partai itu selama kurun waktu puluhan
tahun.
Peristiwa ini menjadi catatan paling
kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Wah ini kisah.
BalasHapusSerem pembunuhan. Hehe
Memang itu kisah kelam yang bagaimana, bang?
Masih perlu belajar si Ainayya. Ketahuan Ainayya engga tahu apa-apa. Hehehe
Seremmmmm banget ini...
BalasHapusTapi keren !
Heruuu..asli beneran kisah ini..?
BalasHapusSejarah tahun 1965 - 1967
BalasHapusHeruuu..asli beneran kisah ini..?
BalasHapusKeren...aku sdh siaga bacanya. Lha kok fiksi mini
BalasHapusAku sampai pegangan erat tadi pas baca takut jatuh apa tetiba pingsan gituh... seyemmmm en kerennn selalu :)
BalasHapuskeren tulisannya bang, (y)
BalasHapusAll@ terima kasih
BalasHapusSaya lg beljar menulis Fiksi Mini ini