Senin, 20 Maret 2017

CAK CUK, KATA-KATA KOTA SURABAYA



www.twing.com


Jika kita datang ke Surabaya atau Sidoarjo, dua kota metropolis di Jawa Timur, lalu singgah di perkampungan padat penduduk dan nongkrong di warung kopi kelas kaki lima, jangan heran jika disuguhi kalimat pisuhan----umpatan----khas kota buaya seperti Jancuk/Jancok, Gathèl, Asu (anjing), Mbokné Ancok (induknya Jancok), Raimu (mukamu) dari orang-orang yang kita temui.

Umpatan itu sekilas bermakna jorok. Kata Jancuk misalnya, telah mengalami kenaikan level pisuhan menjadi Diancuk/Diancok (disetubuhi). Sebuah kata yang tentunya bagi orang-orang selain arèk Suroboyo (orang Surabaya) sangatlah ekstrim.

Uniknya, kata-kata pisuhan itu, sudah mendarah daging dalam percakapan sehari-hari arek Suroboyo.

Satu dasawarsa yang lalu, ketika pertama kali menginjakkan kaki sebagai perantau di kota Surabaya, saya juga sempat risih. Namun, lambat laun bisa memahami bahwa pisuhan bukanlah sejorok pemikiran awal saya.

Lantas, apakah orang-orang Surabaya/Sidoarjo adalah kumpulan dari manusia yang bermulut rusak, tidak sopan dan tak kenal etika?

Tentu saja tidak.

Berbeda dengan tempat lain di Indonesia, pisuhan Suroboyoan (khas Surabaya) justru menunjukkan tingkat keakraban dalam hubungan sosial. Antara seseorang dengan teman, sahabat dan komunitasnya. Semakin kasar pisuhan, berarti level keakraban mereka semakin kental.

Jadi, jangan heran jika dua arek Surabaya yang berteman akrab dan telah lama berpisah, maka kalimat pertama yang keluar dari mulut mereka saat bertemu adalah: “Mbokné ancuk, raimu sik orép tibaké----ternyata kamu masih hidup?”

Jawaban yang akan diucapkan si teman pun tak kalah kasar, “Asu, raimu déwé iku sing tak kiro wis ora orép, thèl----anjing, mukamu itu yang kukira sudah tidak hidup, brengsek!”

Biasanya, setelah saling misuh-misuh itu, keduanya lantas berangkulan dan berjabat tangan. Saling bertanya kabar masing-masing.

Iya, begitulah.

Masyarakat Surabaya tidak menjadikan umpatan sebagai sesuatu yang jorok dan tabu. Mereka tidak men-judge seseorang hanya dari luarnya. Bagi mereka, kualitas pribadi seseorang justru dinilai dari perilaku nyata di masyarakat. Bagaimana jiwa sosialnya kepada tetangga, kerabat dan sesama. 

Sejak kecil, mereka sudah disuguhi pisuhan-pisuhan yang justru menjadi simbol kedamaian dan keakraban orang Surabaya.

Kultur pisuhan itu pula yang memantik kreativitas anak muda Surabaya. Mereka memproduksi souvenir-souvenir seperti kaos, topi, jacket dan mug dengan desain kata-kata umpatan.

Kaos Cak Cuk - www.twing.com

Kini, produk cak-cuk (pisuhan) itu telah membanjiri pusat-pusat perbelanjaan di kota Surabaya. Boleh dibilang menyerupai Dagadu di Jogjakarta dan Jogger di Bali.


Jancuk bahkan juga dipakai sebagai label kedai makanan di kota Surabaya. Sego Goreng Jancuk namanya. Menunya adalah nasi goreng dengan rasa pedas yang siap membakar lidah penikmatnya. Tak ayal sehabis makan, si pembeli akan misuh-misuh karena kelezatan dan rasa pedas yang minta ampun.

Kedai makanan dengan menu Sego Goreng Jancuk kini sudah bertebaran di berbagai sudut kota Surabaya dan Sidoarjo. Bahkan sudah merambah Mall dan pusat-pusat perbelanjaan modern.

Nasi Goreng Jancuk - media.foody.id

Pisuhan yang disebut sebagai kata cak-cuk telah berevolusi makna dari konotasi negativ menjadi ikon yang menunjukkan jati diri arek Suroboyo. Sebuah kota yang identik dengan jiwa perjuangan.

Begitulah Surabaya, Cuk!


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

11 komentar:

  1. Balasan
    1. Hahaha ... kanggone wong liyo kutho ancen aneh, Lis.

      Hapus
  2. Hahahaha.....Saya tau bahasa yg mnurut saya lucu ini Dr film kartun suro dan Boyo...Bawaan kata2ny lucu dan kayak saru (Krn blm tau)..Hehe
    Tapi uniknya malah jadi nama2 toko makanan...Nah itu yg kreatifnya...Hehehe...Baru tau saya..
    Thanks bang info n artikelnya..

    BalasHapus
  3. Ahahaha begitu rupanya artinya setelah lama mencari

    BalasHapus
  4. Ulalala begini rupanya ... saye paham saye paham ... makasih cak heruu

    BalasHapus
  5. Dadose ngartos artinipun cak cuk?
    Nek cak heru artine nopo nggih ? Heheh

    BalasHapus
  6. Kejadian kayak gini pernah saya alami sewaktu pertama kali di Malaysia. Dikuping saya mereka ngomong kasar sekali, ngak biasa dengar. Kalau udah akrab, ngomongnya ya hampir kayak arek Suroboyo gitu. Bagi mereka itu tdk kasar. Tapi, tiap mendengar, dahi saya mengerenyit tanda tidak berapa suka. Hahhah...

    BalasHapus
  7. Aku nek liat bapakku reuni dgn kawan kuliahnya mesti krungu boso cak cuk kuwi... hihihi

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *