www.twing.com |
Jika kita datang ke Surabaya atau
Sidoarjo, dua kota metropolis di Jawa Timur, lalu singgah di perkampungan padat
penduduk dan nongkrong di warung kopi kelas kaki lima, jangan heran jika
disuguhi kalimat pisuhan----umpatan----khas
kota buaya seperti Jancuk/Jancok, Gathèl, Asu (anjing), Mbokné Ancok
(induknya Jancok), Raimu (mukamu)
dari orang-orang yang kita temui.
Umpatan itu sekilas bermakna jorok.
Kata Jancuk misalnya, telah mengalami
kenaikan level pisuhan menjadi Diancuk/Diancok
(disetubuhi). Sebuah kata yang tentunya bagi orang-orang selain arèk Suroboyo (orang Surabaya) sangatlah
ekstrim.
Uniknya, kata-kata pisuhan itu, sudah
mendarah daging dalam percakapan sehari-hari arek Suroboyo.
Satu dasawarsa yang lalu, ketika
pertama kali menginjakkan kaki sebagai perantau di kota Surabaya, saya juga
sempat risih. Namun, lambat laun bisa memahami bahwa pisuhan bukanlah sejorok pemikiran
awal saya.
Lantas, apakah orang-orang Surabaya/Sidoarjo
adalah kumpulan dari manusia yang bermulut rusak, tidak sopan dan tak kenal
etika?
Tentu saja tidak.
Berbeda dengan tempat lain di
Indonesia, pisuhan Suroboyoan (khas
Surabaya) justru menunjukkan tingkat keakraban dalam hubungan sosial. Antara
seseorang dengan teman, sahabat dan komunitasnya. Semakin kasar pisuhan,
berarti level keakraban mereka semakin kental.
Jadi, jangan heran jika dua arek
Surabaya yang berteman akrab dan telah lama berpisah, maka kalimat pertama
yang keluar dari mulut mereka saat bertemu adalah: “Mbokné ancuk, raimu sik orép tibaké----ternyata kamu masih hidup?”
Jawaban yang akan diucapkan si teman
pun tak kalah kasar, “Asu, raimu déwé iku
sing tak kiro wis ora orép, thèl----anjing, mukamu itu yang kukira sudah
tidak hidup, brengsek!”
Biasanya, setelah saling misuh-misuh
itu, keduanya lantas berangkulan dan berjabat tangan. Saling bertanya kabar
masing-masing.
Iya, begitulah.
Masyarakat Surabaya tidak menjadikan
umpatan sebagai sesuatu yang jorok dan tabu. Mereka tidak men-judge seseorang hanya dari luarnya. Bagi
mereka, kualitas pribadi seseorang justru dinilai dari perilaku nyata di masyarakat.
Bagaimana jiwa sosialnya kepada tetangga, kerabat dan sesama.
Sejak kecil,
mereka sudah disuguhi pisuhan-pisuhan yang justru menjadi simbol kedamaian dan keakraban
orang Surabaya.
Kultur pisuhan itu pula yang memantik
kreativitas anak muda Surabaya. Mereka memproduksi souvenir-souvenir seperti
kaos, topi, jacket dan mug dengan desain kata-kata umpatan.
Kaos Cak Cuk - www.twing.com |
Kini, produk cak-cuk (pisuhan) itu
telah membanjiri pusat-pusat perbelanjaan di kota Surabaya. Boleh dibilang
menyerupai Dagadu di Jogjakarta dan Jogger di Bali.
Jancuk bahkan juga dipakai sebagai label kedai makanan di kota Surabaya. Sego Goreng Jancuk namanya. Menunya
adalah nasi goreng dengan rasa pedas yang siap membakar lidah penikmatnya. Tak
ayal sehabis makan, si pembeli akan misuh-misuh karena kelezatan dan rasa pedas yang minta ampun.
Kedai makanan dengan menu Sego Goreng
Jancuk kini sudah bertebaran di berbagai sudut kota Surabaya dan Sidoarjo.
Bahkan sudah merambah Mall dan pusat-pusat perbelanjaan modern.
Nasi Goreng Jancuk - media.foody.id |
Pisuhan yang disebut sebagai kata cak-cuk
telah berevolusi makna dari konotasi negativ menjadi ikon yang menunjukkan jati
diri arek Suroboyo. Sebuah kota yang identik dengan jiwa perjuangan.
Begitulah Surabaya, Cuk!
Heru
Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Her, tetep aneh yooo di kuping
BalasHapusHahaha ... kanggone wong liyo kutho ancen aneh, Lis.
HapusHahahaha.....Saya tau bahasa yg mnurut saya lucu ini Dr film kartun suro dan Boyo...Bawaan kata2ny lucu dan kayak saru (Krn blm tau)..Hehe
BalasHapusTapi uniknya malah jadi nama2 toko makanan...Nah itu yg kreatifnya...Hehehe...Baru tau saya..
Thanks bang info n artikelnya..
Hehehe, begitulah, Cuk!
HapusAhahaha begitu rupanya artinya setelah lama mencari
BalasHapusHahaha ...
HapusPiye kabare, Cuk!
Ulalala begini rupanya ... saye paham saye paham ... makasih cak heruu
BalasHapusHehehe ...
HapusDadose ngartos artinipun cak cuk?
BalasHapusNek cak heru artine nopo nggih ? Heheh
Kejadian kayak gini pernah saya alami sewaktu pertama kali di Malaysia. Dikuping saya mereka ngomong kasar sekali, ngak biasa dengar. Kalau udah akrab, ngomongnya ya hampir kayak arek Suroboyo gitu. Bagi mereka itu tdk kasar. Tapi, tiap mendengar, dahi saya mengerenyit tanda tidak berapa suka. Hahhah...
BalasHapusAku nek liat bapakku reuni dgn kawan kuliahnya mesti krungu boso cak cuk kuwi... hihihi
BalasHapus