Kamis, 10 November 2016

BATTLE OF SURABAYA




Perang Kota - koleksi foto rintahani

Tujuh puluh satu tahun yang lalu, pertempuran maha dahsyat atas nama membela kehormatan dan harga diri sebagai bangsa yang merdeka terjadi di Surabaya. Kala itu, seluruh rakyat Surabaya, tua maupun muda bersatu untuk Jihad Fi Sabilillah mempertahankan setiap jengkal tanah air.

Tidak banyak yang tahu mungkin, bagaimana detik-detik menuju palagan mati syahid sesungguhnya itu.

Inilah rentetan peristiwa yang menyebabkan pecahnya perang tersebesar di pulau Jawa selama masa kemerdekaan.  

*****
Surabaya, Agustus – November 1945.

17 Agustus 1945
Melalui siaran radio, berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno – Hatta tersebar ke seantero Nusantara. Di kota-kota besar seperti Surabaya, juga beberapa tempat di Jawa sontak terjadi gerakan revolusioner. Bendera Merah Putih berkibar dimana-mana. Tanpa menunggu instruksi dari Jakarta, rakyat langsung berinisiativ mengambil alih bangunan-bangunan kantor dan instansi yang sebelumnya dikuasai Jepang.

31 Agustus 1945
Belanda mengajukan permohonan kepada pemimpin Surabaya untuk mengibarkan bendera Merah Putih Biru sebagai perayaan hari kelahiran Ratu Wilhelmina Armgard. Dengan tegas, permintaan ini ditolak!

17 September 1945
Presiden Soekarno mengajukan fatwa kepada para Ulama perihal hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam Indonesia. Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari menjawabnya dengan mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad. Perjuangan membela tanah air adalah Jihad Fi Sabilillah.

18 September 1945
Tengah malam, sekelompok orang Belanda dipimpin W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Merah Putih Biru di Yamato Hoteru/Hotel Yamato (sekarang bernama Hotel Majapahit di Jl. Tunjungan, Surabaya).

19 September 1945
Pagi hari, orang-orang yang melintas di depan hotel Yamato melihat bendera Tri Warna berkibar dan menjadi marah. Mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia. Tak berselang lama, massa rakyat Surabaya telah mengepung Hotel Yamato.

Tiga arek Suroboyo, yaitu Soedirman, diplomat yang menjabat sebagai Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu bersama dua pengawalnya, Sidik dan Hariyono menerobos masuk ke dalam hotel.

Soedirman menemui W.V.Ch. Ploegman dan meminta segera menurunkan bendera Belanda. Negosiasi berlangsung panas dan gagal. Terjadi perkelahian di dalam hotel. Ploegman mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan peringatan, namun tewas dicekik oleh Sidik yang akhirnya gugur juga oleh tembakan seorang pengawal Ploegman.

Residen Soedirman berhasil dikeluarkan dari dalam hotel oleh pengawalan Hariyono. Massa diluar hotel semakin terbakar amarahnya oleh insiden ini. Bersama Koesno Wibowo, Hariyono memanjat gedung Hotel Yamato. Lalu dengan gagah perkasa Koesno Wibowo menurunkan bendera Belanda, merobek warna birunya dan menderek lagi bendera dengan sisa warna Merah Putih berkibar diatas Hotel Yamato.

Massa yang membludak di bawah sontak meneriakkan pekik “Merdeka!” berulang kali.

Hotel Yamato tempo doeloe - foto pbs.twing.com
Hotel Majapahit (dulu hotel Yamato) sekarang - foto twiscy.com

23 – 24 September 1945
Gerakan revolusioner oleh rakyat Indonesia semakin gencar. Di berbagai tempat, terjadi perampasan dan pengambilalihan gudang senjata di markas Jepang. Salah satu laskar yang menjadi pelopornya adalah Hizbullah.

25 September 1945
Situasi kota Surabaya semakin memanas, pimpinan Laskar Hizbullah Surabaya Kyai Haji Abdunnafik melakukan konsolidasi dengan membentuk ranting-ranting yang dipelopori Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.

Terpilihlah para pemimpin ranting Hizbullah diantaranya: Cak Hussaini Tiway dan Cak Mohammad Muhajir (Surabaya Tengah), Cak Damiri Ichsan dan Cak A. Hamid Has (Surabaya Barat), Mas Ahmad Syafi’i dan Cak Abid Shaleh (Surabaya Selatan), Cak Mustakim Zain, Cak Abdul Manan dan Cak Achyat (Surabaya Timur).

5 Oktober 1945
Pemerintah pusat Jakarta membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Mantan anggota PETA, KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah dan Barisan Pelopor dihimbau untuk bergabung ke TKR di daerah masing-masing.

Kelak, tanggal 5 Oktober inilah yang ditetapkan sebagai hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia.

12 Oktober 1945
Muncul anak muda yang menjadi the rising star bernama Soetomo (Bung Tomo ), seorang jurnalis yang bekerja di kantor berita Domei. Bung Tomo mencetuskan ide perjuangan dengan mendirikan stasiun radio amatir sebagai alat untuk menggelorakan semangat dan menumbuhkan solidaritas kebangsaan rakyat Surabaya. Ia kemudian menamakannya Radio Pemberontakan Republik Indonesia.

21 – 22 Oktober 1945
Nahdlatul Ulama mengadakan rapat konsolidasi  se-Jawa Madura di kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama Jl. Bubutan VI No. 2 Surabaya membahas situasi tanah air dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Pertemuan para Ulama itu akhirnya sepakat mengeluarkan Resolusi Jihad untuk menguatkan Fatwa Jihad Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari.

Tanggal 22 Oktober inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Hari Santri Nasional.

25 Oktober 1945
Pasukan Inggris yang berasal dari Brigade 49 Divisi 26 (pangkalan militer Inggris di India) dipimpin Brigjen A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Misi mereka adalah mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan.

NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau lazim orang Surabaya menyebutnya LONDO IRENG (Belanda Hitam), karena memang didominasi tentara berkulit hitam, ikut nebeng rombongan tentara Inggris.

Hal ini kembali memicu gejolak rakyat Surabaya. Serangkaian pertempuran terjadi dimana-mana.

26 Oktober 1945
Dilakukan perundingan gencatan senjata antara pasukan Sekutu pimpinan Inggris dengan para pemimpin Surabaya.

Sekutu diwakili Brigjen Mallaby dan para stafnya. Sedangkan Surabaya diwakili Residen Soedirman, Doel Arnowo, dan Radjiman Nasution (Walikota Surabaya). Perundingan ini menemui jalan buntu.

27 Oktober 1945
Panglima perang AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang membawahi Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet yang berisi penegasan kekuasaan pemerintah Inggris di Surabaya. Semua orang selain tentara Inggris dilarang memegang senjata. Jika diketahui ada yang memegang senjata, maka akan ditembak di tempat.

Pamflet ini memicu amarah Laskar Hizbullah Surabaya. Bersama rakyat Surabaya, mereka menyerang Inggris. Terjadi pertempuran di penjara Kalisosok yang ketika itu berhasil direbut para pejuang kita.

28 Oktober 1945
Pertempuran berlanjut di hari berikutnya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya mulai menggunakan senjata rampasan dari Jepang. Pos-pos dan markas tentara Inggris menjadi sasaran mereka. Gelombang kemarahan rakyat Surabaya yang kian tak terkendali membuat Inggris kewalahan.

29 Oktober 1945
Pertempuran semakin meluas dan membesar. Hampir di semua sudut kota Surabaya pecah perang. Pasukan Hizbullah dan para pejuang Surabaya menggempur tentara Inggris yang berposisi di gedung HBS, BPM, Stasiun Kereta Api SS, Kantor Kawedanan dan Stasiun Kereta Api Trem OJS Joyoboyo.

Kolonel Cruickshank, perwira tinggi Inggris menyatakan pihaknya terkepung di Surabaya. Komandan Brigade 49 Mayjen D.C. Hawthorn menelpon Presiden Soekarno. Ia meminta Bung Karno meredam amarah rakyat Surabaya.

Setelah melalui berbagai upaya diplomasi, hari itu Presiden Soekarno didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta terbang ke Surabaya. Beliau langsung berkeliling di jalanan kota untuk meredakan gejolak laskar-laskar pejuang dan rakyat Surabaya.

30 Oktober 1945
Dicapailah kesepakatan gencatan senjata. Pasukan Inggris mundur ke pelabuhan Tanjung Perak dan Kamp Interniran (Jl. Darmo) serta mengakui eksistensi pemerintahan Republik Indonesia.

Sore hari setelah gencatan senjata, rombongan Inggris menuju Gedung Internatio yang terletak di samping Jembatan Merah. Mereka hendak patroli keliling kota untuk melakukan sosialisasi kepada tentara-tentara Inggris yang tersebar di berbagai pos dan markas.

Diluar dugaan, sekelompok pemuda Surabaya mendatangi mereka dan meminta segera mundur ke Tanjung Perak sesuai kesepakatan gencatan senjata. Terjadi ketegangan yang berbuntut pecah baku tembak.

Brigjen Mallaby, pemimpin tertinggi Inggris di Jawa Timur tewas oleh tembakan seorang pemuda yang hingga kini masih misterius namanya. Mobilnya juga hangus dibakar.
 
31 Oktober 1945
Kematian Brigjen Mallaby memancing amarah Inggris. Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ultimatum kepada pelaku penembakan agar segera menyerahkan diri. Jika tidak, maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk membumihanguskan dan menghancurkan Surabaya.

7-8 November 1945
Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari sebagai satu kebulatan sikap menghadapi gentingnya situasi pasca ultimatum AFNEI.

9 November 1945
Pengganti Mallaby yaitu Mayjen Eric Cardon Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyatakan bahwa semua orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan ke atas kepala. Batas ultimatum adalah jam 06.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Komando tertinggi Laskar Hizbullah, Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari memerintahkan seluruh laskarnya bergerak menuju Surabaya. Sebagai komando pertempuran ditunjuk Kyai Haji Abbas Buntet dari Cirebon. Beliau di lapisi oleh Kyai Haji Wahab Hasbullah, Bung Tomo (Soetomo), Cak Roeslan Abdoelgani, Kyai Haji Mas Mansyur, dan Cak Doel Arnowo.

Tengah malamnya, Gubernur Jatim RM Suryo membalas ultimatum Inggris dengan pidato keramat “Lebih baik Surabaya hancur lebur daripada dijajah lagi!” yang disiarkan lewat RRI Surabaya.

Sejam kemudian, Bung Tomo juga melanjutkan pidato tak kalah heroik melalui Radio Pemberontakan Republik Indonesia, karena RRI masih ragu dengan sepak terjang Bung Tomo ketika itu. Pekik kalimat Takbir dari Bung Tomo benar benar telah membakar semangat orang se-Surabaya malam itu.

Bung Tomo - foto google

10 November 1945
Inggris mengerahkan sekitar 40.000 tentaranya. Kota Surabaya dikepung dan dibombardir dari segala penjuru darat, laut dan udara.

Surabaya melawan!

Bersama Laskar Hizbullah, pemuda, tokoh masyarakat dan rakyat Surabaya, BKR/TKR (cikal bakal Tentara Nasional Indonesia) berhasil menjatuhkan 2 pesawat Inggris. Jendral Eric Cardon Robert Mansergh tewas.

Pertempuran terbesar dan terdahsyat sepanjang pendudukan Inggris benar-benar terjadi hari itu. Dua Jendral dan 2000 tentara Inggris tewas di Surabaya. Media massa Inggris dan Amerika Serikat menyebutkan Surabaya sebagai Hell in East Java (Neraka di Timur Jawa).

Sementara dari arek-arek Suroboyo tak kurang dari 20.000 syuhada’ wafat sebagai Mujahid dalam pertempuran 10 November 1945 itu.

Selamat Hari Pahlawan.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

5 komentar:

  1. Merinding kalau membayangkan bagaimana perjuangan para pahlawan dahulu. Merdeka atau mati.

    BalasHapus
  2. Lengkap sekali Mas heruu.... Mantap

    BalasHapus
  3. keren mas. Allahu Akbar

    Semoga kelak bisa keliling Surabaya, mengunjungi tmpt2 bersejarah.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *