Perang Kota - koleksi foto rintahani |
Tujuh puluh satu tahun yang lalu, pertempuran maha
dahsyat atas nama membela kehormatan dan harga diri sebagai bangsa yang merdeka
terjadi di Surabaya. Kala itu, seluruh rakyat Surabaya, tua maupun muda bersatu
untuk Jihad Fi Sabilillah mempertahankan
setiap jengkal tanah air.
Tidak banyak yang tahu mungkin, bagaimana detik-detik
menuju palagan mati syahid
sesungguhnya itu.
Inilah rentetan peristiwa yang menyebabkan pecahnya perang
tersebesar di pulau Jawa selama masa kemerdekaan.
*****
Surabaya, Agustus
– November 1945.
17
Agustus 1945
Melalui siaran radio, berita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia oleh Soekarno – Hatta tersebar ke seantero Nusantara. Di kota-kota
besar seperti Surabaya, juga beberapa tempat di Jawa sontak terjadi gerakan
revolusioner. Bendera Merah Putih berkibar dimana-mana. Tanpa menunggu instruksi
dari Jakarta, rakyat langsung berinisiativ mengambil alih bangunan-bangunan
kantor dan instansi yang sebelumnya dikuasai Jepang.
31
Agustus 1945
Belanda mengajukan permohonan kepada pemimpin Surabaya
untuk mengibarkan bendera Merah Putih Biru sebagai perayaan hari kelahiran
Ratu Wilhelmina Armgard. Dengan tegas, permintaan ini ditolak!
17
September 1945
Presiden Soekarno mengajukan fatwa kepada para Ulama
perihal hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam Indonesia. Hadratussyaikh
Kyai Haji Hasyim Asy’ari menjawabnya dengan mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad.
Perjuangan membela tanah air adalah Jihad
Fi Sabilillah.
18
September 1945
Tengah malam, sekelompok
orang Belanda dipimpin W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Merah Putih Biru di
Yamato Hoteru/Hotel Yamato (sekarang
bernama Hotel Majapahit di Jl. Tunjungan, Surabaya).
19 September 1945
Pagi hari, orang-orang yang
melintas di depan hotel Yamato melihat
bendera Tri Warna berkibar dan
menjadi marah. Mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia. Tak berselang lama,
massa rakyat Surabaya telah mengepung Hotel Yamato.
Tiga arek
Suroboyo,
yaitu Soedirman, diplomat
yang menjabat sebagai Residen (Fuku Syuco
Gunseikan) yang diakui pemerintah Dai
Nippon Surabaya Syu bersama
dua pengawalnya, Sidik dan
Hariyono menerobos masuk ke dalam hotel.
Soedirman menemui
W.V.Ch. Ploegman dan meminta segera
menurunkan bendera
Belanda. Negosiasi berlangsung panas dan gagal. Terjadi perkelahian di dalam
hotel. Ploegman mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan
peringatan, namun tewas
dicekik oleh Sidik yang akhirnya gugur juga oleh tembakan seorang pengawal
Ploegman.
Residen
Soedirman berhasil dikeluarkan dari dalam hotel oleh pengawalan Hariyono.
Massa diluar hotel semakin terbakar amarahnya oleh insiden ini. Bersama Koesno
Wibowo, Hariyono memanjat gedung Hotel Yamato. Lalu dengan gagah perkasa Koesno Wibowo
menurunkan bendera
Belanda, merobek warna birunya dan menderek lagi bendera dengan sisa warna
Merah Putih berkibar diatas Hotel Yamato.
Massa yang membludak di bawah sontak meneriakkan pekik “Merdeka!”
berulang kali.
Hotel Yamato tempo doeloe - foto pbs.twing.com |
Hotel Majapahit (dulu hotel Yamato) sekarang - foto twiscy.com |
23 –
24 September 1945
Gerakan revolusioner oleh rakyat Indonesia semakin
gencar. Di berbagai tempat, terjadi perampasan dan pengambilalihan gudang
senjata di markas Jepang. Salah satu laskar yang menjadi pelopornya adalah
Hizbullah.
25
September 1945
Situasi kota Surabaya semakin memanas, pimpinan Laskar
Hizbullah Surabaya Kyai Haji Abdunnafik melakukan konsolidasi dengan membentuk
ranting-ranting yang dipelopori Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.
Terpilihlah para pemimpin ranting Hizbullah diantaranya: Cak
Hussaini Tiway dan Cak Mohammad Muhajir (Surabaya Tengah), Cak Damiri Ichsan
dan Cak A. Hamid Has (Surabaya Barat), Mas Ahmad Syafi’i dan Cak Abid Shaleh
(Surabaya Selatan), Cak Mustakim Zain, Cak Abdul Manan dan Cak Achyat (Surabaya
Timur).
5
Oktober 1945
Pemerintah pusat Jakarta membentuk Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Mantan anggota PETA, KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah dan Barisan
Pelopor dihimbau untuk bergabung ke TKR di daerah masing-masing.
Kelak, tanggal 5 Oktober inilah yang ditetapkan sebagai hari ulang tahun
Tentara Nasional Indonesia.
12
Oktober 1945
Muncul anak muda yang menjadi the rising star
bernama Soetomo (Bung Tomo ), seorang jurnalis yang bekerja di kantor berita
Domei. Bung Tomo mencetuskan ide perjuangan dengan mendirikan stasiun radio amatir sebagai alat untuk
menggelorakan semangat dan menumbuhkan solidaritas kebangsaan rakyat Surabaya. Ia
kemudian menamakannya Radio Pemberontakan Republik Indonesia.
21 –
22 Oktober 1945
Nahdlatul Ulama mengadakan rapat konsolidasi se-Jawa Madura di kantor Hofdsbestuur
Nahdlatul Ulama Jl. Bubutan VI No. 2 Surabaya membahas situasi tanah air dan
upaya mempertahankan kemerdekaan. Pertemuan para Ulama itu akhirnya sepakat mengeluarkan
Resolusi Jihad untuk menguatkan Fatwa Jihad Rais Akbar Nahdlatul Ulama
Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Tanggal 22 Oktober inilah yang akhirnya menjadi cikal
bakal lahirnya Hari Santri Nasional.
25
Oktober 1945
Pasukan
Inggris yang
berasal dari Brigade 49 Divisi 26 (pangkalan militer Inggris di India) dipimpin
Brigjen A.W.S. Mallaby mendarat
di Surabaya. Misi mereka adalah mengembalikan Indonesia kepada administrasi
pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan.
NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) atau
lazim orang Surabaya
menyebutnya LONDO IRENG (Belanda
Hitam), karena
memang didominasi tentara berkulit
hitam,
ikut nebeng rombongan tentara
Inggris.
Hal ini kembali
memicu gejolak rakyat Surabaya. Serangkaian pertempuran terjadi
dimana-mana.
26
Oktober 1945
Dilakukan perundingan gencatan senjata antara pasukan
Sekutu pimpinan Inggris dengan para pemimpin Surabaya.
Sekutu diwakili Brigjen Mallaby dan para stafnya. Sedangkan Surabaya diwakili Residen Soedirman, Doel Arnowo, dan Radjiman
Nasution (Walikota Surabaya). Perundingan ini menemui jalan buntu.
27
Oktober 1945
Panglima perang AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) yang membawahi Jawa, Madura, Bali dan
Lombok menyebarkan pamflet yang berisi penegasan kekuasaan pemerintah Inggris
di Surabaya. Semua orang selain tentara Inggris dilarang memegang senjata. Jika
diketahui ada yang memegang senjata, maka akan ditembak di tempat.
Pamflet ini memicu amarah Laskar Hizbullah Surabaya.
Bersama rakyat Surabaya, mereka menyerang Inggris. Terjadi pertempuran di
penjara Kalisosok yang ketika itu berhasil direbut para pejuang kita.
28
Oktober 1945
Pertempuran berlanjut di hari berikutnya. Laskar
Hizbullah dan para pejuang Surabaya mulai menggunakan senjata rampasan dari
Jepang. Pos-pos dan markas tentara Inggris menjadi sasaran mereka. Gelombang kemarahan
rakyat Surabaya yang kian tak terkendali membuat Inggris kewalahan.
29
Oktober 1945
Pertempuran semakin meluas dan membesar. Hampir di semua
sudut kota Surabaya pecah perang. Pasukan Hizbullah dan para pejuang Surabaya menggempur
tentara Inggris yang berposisi di gedung HBS, BPM, Stasiun Kereta Api SS,
Kantor Kawedanan dan Stasiun Kereta Api Trem OJS Joyoboyo.
Kolonel Cruickshank, perwira tinggi Inggris menyatakan
pihaknya terkepung di Surabaya. Komandan Brigade 49 Mayjen D.C. Hawthorn menelpon
Presiden Soekarno. Ia meminta Bung Karno meredam amarah rakyat Surabaya.
Setelah melalui berbagai upaya diplomasi, hari itu Presiden
Soekarno didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta terbang ke Surabaya. Beliau
langsung berkeliling di jalanan kota untuk meredakan gejolak laskar-laskar
pejuang dan rakyat Surabaya.
30
Oktober 1945
Dicapailah kesepakatan gencatan senjata. Pasukan Inggris
mundur ke pelabuhan Tanjung Perak dan Kamp Interniran (Jl. Darmo) serta
mengakui eksistensi pemerintahan
Republik Indonesia.
Sore hari setelah gencatan senjata, rombongan Inggris
menuju Gedung Internatio yang terletak di samping Jembatan Merah. Mereka hendak
patroli keliling kota untuk melakukan sosialisasi kepada tentara-tentara
Inggris yang tersebar di berbagai pos dan markas.
Diluar dugaan, sekelompok pemuda Surabaya mendatangi
mereka dan meminta segera mundur ke Tanjung Perak sesuai kesepakatan gencatan
senjata. Terjadi ketegangan yang berbuntut pecah baku tembak.
Brigjen Mallaby, pemimpin tertinggi Inggris di Jawa Timur
tewas oleh tembakan seorang pemuda yang hingga kini masih misterius namanya.
Mobilnya juga hangus dibakar.
31
Oktober 1945
Kematian Brigjen Mallaby memancing amarah Inggris. Panglima
AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ultimatum kepada pelaku penembakan
agar segera menyerahkan diri. Jika tidak, maka Inggris akan mengerahkan seluruh
kekuatan militernya untuk membumihanguskan dan menghancurkan Surabaya.
7-8
November 1945
Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi
Jihad Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari sebagai satu kebulatan sikap menghadapi
gentingnya situasi pasca ultimatum AFNEI.
9
November 1945
Pengganti
Mallaby yaitu Mayjen Eric Cardon Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang
menyatakan bahwa semua orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan
meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan dan menyerahkan diri
dengan mengangkat tangan ke atas kepala. Batas ultimatum adalah jam 06.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Komando
tertinggi Laskar Hizbullah, Hadratussyaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari
memerintahkan seluruh laskarnya bergerak menuju Surabaya. Sebagai komando
pertempuran ditunjuk Kyai Haji Abbas Buntet dari Cirebon. Beliau di lapisi oleh
Kyai Haji Wahab Hasbullah, Bung Tomo (Soetomo), Cak Roeslan Abdoelgani, Kyai Haji
Mas Mansyur, dan Cak Doel Arnowo.
Tengah malamnya,
Gubernur Jatim RM Suryo membalas ultimatum Inggris dengan pidato keramat “Lebih baik Surabaya hancur lebur daripada
dijajah lagi!” yang disiarkan lewat RRI Surabaya.
Sejam kemudian,
Bung Tomo juga melanjutkan pidato tak kalah heroik melalui Radio Pemberontakan
Republik Indonesia, karena RRI masih ragu dengan sepak terjang Bung Tomo ketika
itu. Pekik kalimat Takbir dari Bung Tomo benar benar telah membakar semangat
orang se-Surabaya malam itu.
Bung Tomo - foto google |
10 November 1945
Inggris
mengerahkan sekitar 40.000 tentaranya. Kota Surabaya dikepung dan dibombardir dari
segala penjuru darat, laut dan udara.
Surabaya melawan!
Bersama Laskar
Hizbullah, pemuda, tokoh masyarakat dan rakyat Surabaya, BKR/TKR (cikal bakal Tentara
Nasional Indonesia) berhasil menjatuhkan 2 pesawat Inggris. Jendral Eric Cardon
Robert Mansergh tewas.
Pertempuran
terbesar dan terdahsyat sepanjang pendudukan Inggris benar-benar terjadi hari
itu. Dua Jendral dan 2000 tentara Inggris tewas di Surabaya. Media massa
Inggris dan Amerika Serikat menyebutkan Surabaya sebagai Hell in East Java (Neraka di Timur Jawa).
Sementara dari
arek-arek Suroboyo tak kurang dari 20.000 syuhada’ wafat sebagai Mujahid dalam
pertempuran 10 November 1945 itu.
Selamat Hari
Pahlawan.
(Heru Sang Mahadewa)
Member of
#OneDayOnePost
Merinding kalau membayangkan bagaimana perjuangan para pahlawan dahulu. Merdeka atau mati.
BalasHapusIya, itu jihad yang sesungguhnya
HapusLengkap sekali Mas heruu.... Mantap
BalasHapusterima kasih
Hapuskeren mas. Allahu Akbar
BalasHapusSemoga kelak bisa keliling Surabaya, mengunjungi tmpt2 bersejarah.