Pandawa - image google |
4-5.
NAKULA - SADEWA
“Ayahanda Prabu, Kanjeng Ibu, jangan pergi …!” jerit
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna.
Suasana istana Astina kian terasa haru dan mencekam
dengan nekadnya Dewi Madrim yang memilih mengakhiri hidup setelah kematian
Prabu Pandudewanata.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … kenapa gusti Ratu Dewi Madrim
juga ikut menyusul gusti Prabu Pandu?” gumam Kyai Lurah Semar Badranaya.
Dewi Kunti merengkuh bayi kembar Pinter dan Tangsen.
Tangisnya masih saja menderu-deru. Sementara ketiga putranya memeluk dan menguncang-guncang
tubuh Prabu Pandu dan Dewi Madrim yang telah membujur kaku.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Hari ini gusti Prabu Pandu akan
dibawa ke gunung Jamurdipa. Para Dewa yang membawanya akan memasukkan sukmanya
ke Nerakaloka, Kawah Candradimuka!” lanjut Kyai Lurah Semar Badranaya.
Tersentak Puntadewa, mendengar penuturan Kyai Lurah Semar
Badranaya,”Ayahanda Prabu, ibunda Dewi Madrim, jangan khawatir. Aku juga akan
menemani kalian di dasar Kawah Candradimuka!” ucap Puntadewa. Ia berlari keluar
istana, hendak menuju gunung Jamurdipa.
“Kakang Puntadewa, aku juga ikut!” teriak Werkudara dan
Arjuna. Mereka berdua juga berlari mengejar Puntadewa. Ketiga putra Prabu
Pandudewanata pun bersamaan menuju gunung Jamurdipa. Menyusul sukma ayah mereka
dan Dewi Madrim.
Begawan Abiyasa yang menghalang-halangi ketiga cucunya
tak mampu berbuat banyak, tenaganya sudah terlalu tua untuk menarik tubuh
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna. Ia nyaris jatuh terjengkang ketika putra-putra
Pandu berontak dari tangannya.
“Kakang Badranaya, tolonglah kami!” pintanya kepada Kyai
Lurah Semar Badranaya.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Sabar ndara, sabar!” ucap Kyai Lurah Semar Badranaya yang langsung
melesat meninggalkan istana Astina. Mendahului Puntadewa, Werkudara dan Arjuna.
*****
Puncak gunung
Jamurdipa,
Bathara Guru telah menunggu bersama Bathara Narada di
puncak gunung Jamurdipa. Dibelakang mereka terlihat menganga mulut kawah yang
menjadi pintu masuk menuju Nerakaloka. Kawah Candradimuka.
Sesaat kemudian, datang Bathara Yamadipati, Bathara
Kamajaya, Bathara Aswan, Bathara Aswin mengawal sukma Pandudewanata dan
istrinya, Dewi Madrim.
“Sembah dan bhaktiku untuk pukulun Bathara Guru dan Bathara Narada.” ucap sukma Prabu Pandu
dan Dewi Madrim nyaris bersamaan.
“Pukulun, hari
ini aku datang untuk memenuhi janjiku masuk ke Kawah Candradimuka.” jelasnya.
“Bagus Pandu, seorang kesatria memang harus memegang
teguh ucapan dan janjinya.” balas Bathara Guru.
Prabu Pandudewanata menggandeng tangan istrinya, Dewi
Madrim menuju bibir kawah. Dalam hitungan beberapa detik, keduanya menceburkan
diri ke dalam Kawah Candradimuka.
Seketika gunung Jamurdipa bergemuruh diguncang gempa.
Kawah Candradimuka bergejolak. Lahar panasnya mengeluarkan api membara yang
menyambar-nyambar hingga menjulang tinggi ke angkasa.
Berdiri sosok Kyai Lurah Semar Badranaya di hadapan para
Dewa yang menyaksikan kejadian memilukan itu.
“Sembah dan bhaktiku untuk kakang Bathara Ismaya.” Serentak
Bathara Guru, Bathara Narada, Bathara Yamadipati, Bathara Kamajaya, Bathara
Aswan, dan Bathara Aswin menyambut kedatangan Kyai Lurah Semar Badranaya dengan
menghaturkan sembah.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Adi Bathara Guru, hentikanlah
hukuman kepada bendaraku Pandudewanata!”
ucap Kyai Lurah Semar Badranaya kepada adiknya, Bathara Guru.
“Kakang Ismaya, semua ini bukanlah hukuman dari Dewata.
Tetapi Pandudewanata sendiri yang memutuskan menceburkan diri bersama istrinya
ke Kawah Candradimuka untuk memenuhi janji!” jelas sang adik.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Baiklah kalau begitu, aku minta
waktu sebentar untuk menolong putra-putra bendaraku
yang akan nekad ikut menceburkan diri ke Kawah Candradimuka juga.” Lanjut Kyai
Lurah Semar Badranaya. Ia lalu terjun ke dalam Kawah Candradimuka yang semakin
bergejolak dengan bara api dan lahar panasnya.
Tubuh Kyai Lurah Semar Badranaya mendarat diantara
reruntuhan dinding kawah. Tangannya memegang segumpal cairan lahar, lalu berjalan memasuki kobaran api yang
memenuhi dasar Nerakaloka itu.
Seketika gejolak di dalam Kawah Candradimuka reda.
Kobaran api dan lahar yang dimuntahkannya tidak terasa panas sama sekali. Kyai
Lurah Semar Badranaya pun melesat kembali ke atas mulut Kawah Candradimuka.
Ketika sampai lagi di puncak gunung Jamurdipa, tiga putra
Pandu, Puntadewa, Werkudara dan Arjuna telah sampai di mulut kawah juga. Mereka
benar-benar nekad akan menemani ayah dan ibunya di Nerakaloka.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Ndara Puntadewa, Werkudara dan Arjuna. Jika tekad kalian untuk
menemani gusti Prabu Pandu dan Dewi Madrim sudah tidak bisa kami cegah,
masuklah ke Kawah Candradimuka sekarang!” tutur Kyai Lurah Semar Badranaya.
Tanpa menunggu lama, ketiga putra Pandu menceburkan diri
ke dalam Kawah Candradimuka. Tubuh mereka terhempas di dasar Nerakaloka. Tepat
dihadapan sukma Pandudewanata dan Dewi Madrim.
Menangis sejadi-jadinya Puntadewa, Werkudara dan Arjuna
bertemu dengan kedua orang tua mereka.
“Putraku, untuk apa kalian kemari?” tanya sukma Pandudewanata.
“Kami ingin menemui ayahanda dan ibunda disini, menjalani
hukuman di Nerakaloka.” jawab Puntadewa.
“Pulanglah Puntadewa. Ajak adik-adikmu kembali ke
Astina. Sebagai kakak tertua, engkau yang menjadi pengganti peranku sebagai
orangtua bagi mereka. Seharusnya engkau membimbing Werkudara dan Arjuna ke
jalan yang lurus. Bukan menjerumuskan seperti ini, wahai putraku.” ucap sukma
Pandudewanata.
“Bimbing adik-adikmu memegang teguh nilai-nilai
kebenaran. Meskipun aku dan ibumu Madrim berada di dalam Kawah Candradimuka,
tetapi jika kalian putra-putraku berbuat kebajikan dan berguna bagi Arcapada seisinya,
aku akan merasa seperti tinggal di Surgaloka. Sebaliknya, meskipun berada di
surga, tetapi jika kalian berperilaku angkara dan merusak Arcapada, rasanya tak
berbeda seperti tinggal di dasar Nerakaloka!” lanjut sukma Pandudewanata
panjang lebar.
Ketiga putra Pandu bisa menerima penjelasannya, “sendika dhawuh, ayahanda.” ucap Puntadewa
dengan haru. Ia pun mengajak kedua adiknya, Werkudara dan Arjuna kembali naik
ke atas Kawah Candradimuka.
Susah payah ketiga putra Pandu memanjat tebing demi
tebing, hingga akhirnya sampai di mulut kawah yang berada di puncak gunung
Jamurdipa.
Kyai Lurah Semar Badranaya merangkul ketiga bendaranya
itu. Lau mengajak mereka pulang ke Astina. Dengan kedigdayaannya, Puntadewa,
Werkudara dan Arjuna ia gendong melesat meninggalkan pintu gerbang Nerakaloka
itu.
Saat itulah Werkudara berteriak lantang,”Wahai alam
semesta .. Wahai para Dewata, aku bersumpah kelak akan mengentas kedua
orang tuaku dari api Nerakaloka, Kawah Candradimuka!”
*****
Sepeninggal ibunya Dewi Madrim, bayi kembar Pinten dan Tangsen
dirawat oleh Dewi Madrim. Permaisuri mendiang Prabu Pandudewanata itu mengasuh
keduanya dengan curahan kasih sayang yang tulus. Layaknya seperti anak kandung
sendiri.
Pinten dan Tangsen tumbuh menjadi kesatria kembar yang kemudian
dikenal dengan nama Nakula dan Sadewa. Nama ini adalah pemberian Bathara
Narada.
Nakula berwatak jujur, setia, taat beribadah, dan penuh
dengan belas kasih. Ia mendapat anugerah Aji Pranawajati, bisa mengingat semua
hal seumur hidupnya.
Nakula menikahi dua orang isteri yaitu:
Dewi
Sayati, puteri raja negeri Awu-awu Langit, Prabu Kridakirata.
Dari pernikahan ini ia meiliki dua orang anak. Bambang Pramusinta dan Dewi
Pramuwati.
Dewi
Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, seekor kura-kura
raksasa yang tinggal di bengawan Wailu. Resi Badawanangala dikenal sebagai raja
negara Gisiksamodra (Ekapratala). Dari pernikahan ini, Nakula dianugerahi seorang
putri bernama Dewi Sri Tanjung. Ia juga diwarisi pusaka Cupu berisi Tirtamanik (air kehidupan), untuk mengobati orang sakit.
Mirip dengan kembarannya, Sadewa memiliki perwatakan
jujur, setia, taat beribadah, dan tahu balas budi. Ia dikenal juga dengan nama Sudamala.
(Kelak saya akan menulis kisah tentang Sudamala, salah satu lakon dalam
ruwatan murwakala)
Sadewa memiliki kelebihan sangat digdaya dalam ilmu metafisika. Ia juga menikah dengan dua
orang istri yaitu:
Dewi
Srengginiwati, saudara kandung Dewi Srengganawati, putri Begawan
Badawanganala juga. Dari pernikahan ini, Nakula dikaruniai putra bernama Bambang
Widapaksa.
Dewi
Rasawulan, putri raja negeri Selamiral, Prabu Rasadewa. Menurut kepercayaan,
siapa yang dapat mempersunting Dewi Rasawulan kelak akan menang dalam perang Bharatayuda.
Dalam sebuah
pengembaraan, Nakula dan Sadewa dikisahkan mendapat tahta cuma-cuma warisan dua
raja jin kembar penguasa negeri Sawojajar. Prabu Ditya Sapujagad dan Prabu Ditya
Sapulebu.
Raja jin kembar
itu muksa setelah bertemu dengan kesatria kembar yang mereka percaya adalah putra
Dewa.
Sawojajar yang
memiliki wilayah luas dikelola keduanya hingga tumbuh menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
kertoraharjo. Menjelma menjadi sebuah daerah sentra tanaman obat. Sesuai
keahlian Nakula dan Sadewa yang ahli di bidang pengobatan.
Selama
memimpin, keduanya selalu kompak dan tidak pernah berbeda pandangan. Ikatan batin
sebagai saudara kembar membuat mereka dikenal sebagai raja kembar yang arif dan
bijaksana tanpa perselisihan.
Nakula piawai
dalam menciptakan ide dan gagasan dalam ilmu pemerintahan. Sadewa lihai dalam
menjalin hubungan dengan negeri sahabat (komunikasi). Sinergi dua raja kembar
dengan kelebihan masing-masing inilah yang membawa mereka semakin solid.
Nakula tinggal
di istana lama, Sawojajar. Sesuai dengan nama tempat itu, banyak tumbuh pohon
sawo yang berjarak berdempetan (berjajar). Sementara saudara kembarnya, Sadewa
tinggal di istana baru, Bumi Retawu.
Ketika
Bharatayuda berlangsung, raja Mandaraka Prabu Salya (kakak Dewi Madrim) gugur
oleh pusaka Jamus Kalimasada milik Puntadewa. Sesuai wasiatnya, tahta
diwariskan kepada Nakula dan Sadewa.
Atas nasehat
seluruh kakak-kakaknya, Nakula akhirnya menyerahkan sepenuhnya negeri Sawojajar
kepada saudara kembarnya Sadewa. Sedangkan ia fokus menjadi raja di Mandaraka.
Hubungan Nakula – Sadewa dengan
Syiar Islam Kanjeng Sunan Kalijaga
Melalui
penokohan dua kembar Pandawa ini, rukun Islam kembali disisipkan dalam figur Nakula
dan Sadewa.
Ada dua rukun
Islam kembar, yaitu yang keempat dan kelima. Zakat dan Haji.
Kedua rukun
Islam ini disebut kembar karena sama-sama hanya diwajibkan kepada Muslim yang
mampu.
*****
Betapa indahnya
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni dan budaya bangsa kita. Sayang,
sekarang semakin sulit menemukan anak-anak muda yang mau mengenali tontonan penuh
tuntunan yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan peradaban dunia dari
Indonesia itu.
~ TAMAT ~
Tulisan ini
saya dedikasikan untuk alm. Mbah Tumiran, alm. Mbah Sumo Mardjan (Sumo Pawiro),
alm. Mbah Djianto, Mbah Djiang, dan para penggiat
seni budaya di Nganjuk yang tidak pernah minder melestarikan warisan adiluhung mbah-mbah
kita.
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Baca cerita sebelumnya [ Disini ]
Catatan
:
Pukulun =
panggilan kepada Dewa
Sendika dhawuh = siap laksanakan
Lole-lole, mbegegeg
ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Kyai Lurah Semar Badranaya (Bathara Ismaya) - image google |
ah, mantap mas her. Kasian dewi Kunti :(
BalasHapusselalu memukau mas Heru, semoga anak bangsa banyak yang terbuka matanya untuk melestarikan budaya Indonesia.
BalasHapus