Sabtu, 12 November 2016

PIDATO GUBERNUR SURYO


foto google


Setelah ultimatum Panglima AFNEI, keadaan Surabaya semakin mencekam. Semua laskar pejuang mulai TKR, Hizbullah, hingga rakyat sudah siap mati syahid disana.

Dalam surat ultimatum yang ditujukan kepada Gubernur Suryo, Inggris menyebut jenis senjata apa saja yang harus diserahkan orang Indonesia. Bukan hanya senapan, pistol, tank, bom, granat, dan mortar, tetapi juga “spears, knifes, swords, sarpened bamboos, keris, blow-paper, poisoned arrows and darts” bunyi ultimatum itu.

Para pemimpin Surabaya, Gubernur RM Suryo, Residen Soedirman dan Doel Arnowo terus berusaha menelpon pemerintah pusat Jakarta. Tujuan mereka adalah agar Presiden bisa meminta Inggris mencabut ultimatum, Tetapi hingga sore hari, mereka belum bisa menghubungi Bung Karno.

Pukul 19.30 Wib akhirnya Presiden Soekarno mengangkat telpon Gubernur Suryo dan menjelaskan bahwa beliau sudah mengutus Menteri Luar Negeri Akhmad Soebardjo untuk berunding dengan pimpinan tertinggi Inggris di Jakarta. Presiden menginstruksikan agar para pemimpin di Surabaya menunggu hasil diplomasi itu. Tetapi hingga pukul 21.00 Wib belum juga ada kabar lanjutan.

Tengah malam pukul 22.00 Wib, Menteri Luar Negeri Akhmad Soebardjo memberi kabar bahwa perundingan menemui jalan buntu. Ia pun berkata, “… saya sudah tidak dapat menilai keadaan di Surabaya, kalau saudara berpendapat dapat mempertahankan kota itu, pertahankanlah!”

Dengan keputusan itu, akhirnya Gubernur Suryo mengambil keputusan untuk memberikan pidato terkait situasi kota Surabaya yang semakin genting.

Bersama Doel Arnowo, ia menyusun sebuah naskah di Kantor Gubernuran, lalu malam itu juga disiarkan lewat RRI Surabaya yang ada di Jl. Embong Malang (hotel JW. Marriot kini).

Berikut isi pidato sakral dari Gubernur Suryo:

Saudara-saudara sekalian,

Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang tegfuh sikap itu. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara Pemerintah, Rakyat, TKR, Polisi dan semua Badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.

Selamat berjuang!

Pidato itu dibacakan oleh sang Gubernur dengan tenang. Nadanya menyejukkan rakyat Surabaya, tetapi terkesan tegas dan berani. Pidato ini yang akhirnya menggelorakan semangat para pejuang Surabaya.

10 November 1945, Surabaya benar-benar dikepung dari segala penjuru darat, laut dan udara oleh pasukan Sekutu pimpinan Inggris. Banyak yang mengkiaskan bahwa hari itu langit Surabaya tidak terlihat. Penuh dengan asap tebal. Hujan bom, granat dan mortar mengguyur kota Surabaya. Dikisahkan pula, para pejuang kita seperti hanya berperang melawan jatuhnya senjata-senjata. Tentara Inggris nyaris tak tampak mata!

Diluar dugaan, kota Surabaya yang diprediksi bakal hancur lebur ternyata mampu memberikan perlawanan dan bertahan hingga tiga minggu.

Para pejuang Surabaya akhirnya meninggalkan Gunungsari dan Waru pada akhir November 1945. Mereka terus melakukan perlawanan-perlawanan kecil di daerah Gedangan dan Krian.

Desember 1945 itu pula, tidak ada lagi pemerintahan Indonesia di Surabaya. AMACAB (Allied Military Administration Civil Affairs Brach) menguasai kota itu hingga misi Sekutu Inggris selesai.

Surabaya pun diserahkan oleh Inggris kepada pemerintah Belanda hingga tahun 1950, dan berakhir ketika terbentuk Negara Jawa Timur (menjadi ibu kota Negara) lalu kembali lagi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi ibu kota provinsi Jawa Timur.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OnedayOnePost

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *