PROLOG
Mangkatnya Yudayana
membuat putra mahkota Gendrayana yang belum cukup umur naik tahta sebelum waktunya.
Ia menjadi raja negeri Yawastina saat usianya belum genap sepuluh tahun.
Seperti kebiasaan seorang anak kecil yang labil jiwanya, meski telah menjadi raja,
Gendrayana masih sering bertengkar dengan adiknya, Sudarsana. Penyebabnya
hanya karena perselisihan kecil saat keduanya bermain-main. Para pengasuh
keraton pun dibuat senantiasa sabar membimbing dan membesarkan hati dua putra
mendiang Prabu Yudayana itu. Dasar anak-anak, pagi hari bertengkar, siangnya
telah bercengkerama kembali. Sore hari bermain, esok pagi justru berkelahi lagi.
Benih-benih kesalahpahaman di masa kanak-kanak ternyata
tidak serta merta hilang seiring semakin dewasanya Gendrayana dan Sudarsana.
Keduanya selalu berseberangan pendapat dalam menyikapi kebijakan pemerintah
Yawastina.
Gendrayana tumbuh menjadi raja muda yang berwatak keras.
Tak segan ia menindak tegas terhadap kesalahan yang dilakukan raja-raja bawahan
di negeri vassal.
Sementara Sudarsana yang menjabat sebagai Mahamenteri memiliki
sifat toleran setiap terjadi pelanggaran. Sang adik lebih mengedepankan
diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara Yawastina dengan
negeri-negeri bawahan.
*****
Prang!
Gendrayana melempar sebuah guci yang berada di atas meja
pendopo Yawastina. Matanya membelalak tajam, kedua tangan terkepal. Urat-uratnya
menyeruak keluar, membentuk garis-garis liar di kulit leher.
“Kau berniat menggulingkan tahtahku, Sudarsana!” bentak
Gendrayana. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah muka adiknya yang duduk bersila
di paseban agung.
Semua punggawa, tetua dan penasehat keraton tidak ada
yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Kepala mereka hanya tertunduk. Bibir
terkatup rapat. Saat Gendrayana murka seperti itu, bukan waktu yang tepat untuk
menyanggah ucapannya. Mereka hapal dengan watak rajanya. Meski dalam hati
sebenarnya ingin meluruskan ucapan sang nata
Yawastina.
Prang!
Sebuah bejana yang terbuat dari logam kuningan kembali
terlempar dari tempatnya. Suasana pendopo Yawastina semakin mencekam.
“Seujung kuku pun tak terbersit niat untuk menelikungmu,
kakang Gendrayana.” Akhirnya Sudarsana berani angkat bicara.
Para punggawa, tetua dan penasehat keraton sontak
mendongakkan wajah. Menatap Sudarsana yang telah berdiri di tengah-tengah
paseban agung. Kekhawatiran tampak di wajah mereka. Sang raja pasti akan
memuncak amarahnya dengan keberanian Mahamenteri.
“Untuk apa kau menggalang kekuatan baru bersama para pengikutmu?”
tanya Gendrayana.
“Ini bukan penggalangan kekuatan, hanya gelar ketangkasan
pasukan seperti biasa, sebagai penguatan laskar perang Yawastina, kakang,”
sanggah Sudarsana.
“Berani sekali kau membantah ucapanku!” Gendrayana tidak bisa menerima penjelasan adiknya.
“Jaksa negara, masukkan Sudarsana ke dalam penjara! Ia
harus dihukum karena mencoba menyusun kekuatan untuk menggulingkan aku!”
perintahnya.
“Sendika dhawuh,
gusti!”
Serentak empat prajurit dan jaksa negara Yawastina
meringkus Sudarsana. Sang Mahamenteri sengaja tidak memberikan perlawanan. Para
tetua keraton mencoba menenangkan dan membujuk Gendrayana agar mencabut hukuman
kepada Sudarsana.
Perintah yang telah diucapkan Gendrayana adalah sabda pandita ratu, pantang baginya
untuk mencabut lagi. Sudarsana pun mendekam dalam penjara Yawastina.
*****
Peristiwa yang sebenarnya hanya kesalahpahaman antara
kakak adik, Gendrayana dan Sudarsana membuat situasi Yawastina mulai tidak nyaman.
Punggawa keraton kini terpecah menjadi dua kubu.
Para pengikut setia Mahamenteri kecewa dengan keputusan
raja yang dianggap semena-mena. Sementara di kubu punggawa kepercayaan raja,
mulai menebar kecurigaan kepada orang-orang bekas bawahan Sudarsana.
Puncak ketegangan adalah ketika Gendrayana mengeluarkan
perintah agar semua senopati, punggawa dan prajurit yang dulu berada dalam
laskar bentukan Sudarsana menulis pada sebuah daun lontar. Pernyataan kesetiaan
terhadap raja.
Situasi menjadi semakin memanas karena para pengikut
Sudarsana menolak ultimatum raja.
Mereka bahkan mengancam akan mundur dari pemerintahan Yawastina jika dipaksa
menuruti kehendak Gendrayana.
Pendopo Yawastina gempar!
Sebuah cahaya putih menyilaukan mata memenuhi ruang paseban
agung. Kehadirannya disertai suara guntur yang menggelegar berkali-kali di
langit Yawastina.
Gendrayana, para punggawa, tetua dan penasehat keraton
yang dikumpulkan malam itu untuk membahas hukuman terhadap bekas pengikut
Sudarsana nyaris semburat berlarian meninggalkan paseban.
Sosok lelaki berjenggot putih, memakai jubah kuning
dengan mahkota memancarkan sinar emas berdiri di tengah pendopo Yawastina.
Cahaya putih yang menyilaukan mata tetap terpancar dari tubuhnya. Membuat seisi
ruangan menjadi terang benderang.
Dewata Agung!
Semua yang hadir di pendopo gemetaran, takut, dan tidak
percaya dengan pemandangan dihadapan mereka. Kehadiran sosok seorang Dewa
berwujud lelaki tua, tidak bisa diterima akal sehat manusia. Bhatara Narada benar-benar
hadir di keraton Yawastina.
“Sabar, sabar ngger.
Sadar, sadarlah Gendrayana,” tutur Bhatara Narada.
“Ampuni kami, Dewa,” jawab Gendrayana dengan suara
bergetar. Tubuhnya menggigil. Bukan kedinginan, tetapi dihinggapi rasa ketakutan
yang teramat sangat.
“Keputusan yang kau ambil sudah melewati batas,
Gendrayana. Aku turun ke Yawastina untuk meluruskan semua peristiwa ini. Kau
telah melakukan kesalahan besar dengan menghukum Sudarsana, adikmu sendiri. Juga
memaksa pengikutnya menuruti kehendakmu,” lanjut Bhatara Narada.
“Sekali lagi ampuni kami, Dewa. Aku mengaku salah,” ucap
Gendrayana, sambil bersimpuh didepan kaki Narada.
“Baguslah kalau kau menyadari kesalahanmu. Tetapi sebagai
penebusan dosa, kau harus menjalani hukumanku. Berkelanalah ke arah selatan,
sucikan dirimu di puncak gunung Wilis,” tutup Bhatara Narada.
“Gendrayana siap menjalankan perintahmu, Dewa,” jawab
raja Yawastina.
Berbekal sebuah keris
luk lima pemberian Bhatara Narada, malam itu juga Gendrayana memulai masa
pembuangan. Ia berjalan kaki dengan diikuti para punggawa setianya meninggalkan
keraton. Terus menuju arah selatan, hingga ketika fajar tiba, rombongan itu
sampai di tapal batas negeri Yawastina.
“Kita istirahat dahulu disini, Dhadak Merak,” ajak
Gendrayana kepada pengawalnya.
“Minumlah dahulu, gusti prabu pasti haus dan kelelahan,”
ucap Dhadak Merak, patih Yawastina yang memutuskan ikut menemani Gendrayana
menjalani masa pembuangan.
“Terima kasih, Dhadak Merak. Kalian semua juga
beristirahatlah, nanti kita teruskan perjalanan setelah matahari condong ke
barat. Gunung Wilis masih jauh, jaga baik-baik kondisi tubuh kita.” Gendrayana
meneguk air putih yang disodorkan Dhadak Merak pada sebuah guci perunggu.
Gendrayana merebahkan tubuh dengan bersandar pada akar-akar
kokoh sebuah pohon gayam. Matanya menatap ke tapal batas yang terbuat dari
batu-batu kali yang ditata rapi menjulang tinggi. Tak pernah terbersit sebelumnya
bahwa sifat pemarahnya membuat ia harus meninggalkan Yawastina. Negeri tempatnya
lahir dan dibesarkan.
Sementara beberapa puluh mil dari tapal batas itu, di
paseban agung Yawastina sedang dilakukan penobatan seorang raja baru.
Sudarsana, putra mendiang Yudayana yang lain, setelah
malam sebelumnya dibebaskan oleh Bhatara Narada, kini telah menduduki
singgasana Yawastina.
Awal dari perang saudara para penguasa bumi Jawadwipa.
-ooOO BERSAMBUNG OOoo-
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Ini awal tentang.. Hadeh lali aku, yg bisa berubah jd apa saja, ipar dgn batik madrim.. Sopo her?
BalasHapuslanjut Kak
BalasHapusKeren. Mantap. Jos.
BalasHapus