Jumat, 25 November 2016

PELANGI DI LANGIT MALWAPATI (1)




PROLOG

Mangkatnya Yudayana membuat putra mahkota Gendrayana yang belum cukup umur naik tahta sebelum waktunya. Ia menjadi raja negeri Yawastina saat usianya belum genap sepuluh tahun.

Seperti kebiasaan seorang anak kecil yang labil jiwanya, meski telah menjadi raja, Gendrayana masih sering bertengkar dengan adiknya, Sudarsana. Penyebabnya hanya karena perselisihan kecil saat keduanya bermain-main. Para pengasuh keraton pun dibuat senantiasa sabar membimbing dan membesarkan hati dua putra mendiang Prabu Yudayana itu. Dasar anak-anak, pagi hari bertengkar, siangnya telah bercengkerama kembali. Sore hari bermain, esok pagi justru berkelahi lagi.

Benih-benih kesalahpahaman di masa kanak-kanak ternyata tidak serta merta hilang seiring semakin dewasanya Gendrayana dan Sudarsana. Keduanya selalu berseberangan pendapat dalam menyikapi kebijakan pemerintah Yawastina.

Gendrayana tumbuh menjadi raja muda yang berwatak keras. Tak segan ia menindak tegas terhadap kesalahan yang dilakukan raja-raja bawahan di negeri vassal.

Sementara Sudarsana yang menjabat sebagai Mahamenteri memiliki sifat toleran setiap terjadi pelanggaran. Sang adik lebih mengedepankan diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara Yawastina dengan negeri-negeri bawahan.

*****

Prang!

Gendrayana melempar sebuah guci yang berada di atas meja pendopo Yawastina. Matanya membelalak tajam, kedua tangan terkepal. Urat-uratnya menyeruak keluar, membentuk garis-garis liar di kulit leher.

“Kau berniat menggulingkan tahtahku, Sudarsana!” bentak Gendrayana. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah muka adiknya yang duduk bersila di paseban agung.

Semua punggawa, tetua dan penasehat keraton tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Kepala mereka hanya tertunduk. Bibir terkatup rapat. Saat Gendrayana murka seperti itu, bukan waktu yang tepat untuk menyanggah ucapannya. Mereka hapal dengan watak rajanya. Meski dalam hati sebenarnya ingin meluruskan ucapan sang nata Yawastina.

Prang!

Sebuah bejana yang terbuat dari logam kuningan kembali terlempar dari tempatnya. Suasana pendopo Yawastina semakin mencekam.

“Seujung kuku pun tak terbersit niat untuk menelikungmu, kakang Gendrayana.” Akhirnya Sudarsana berani angkat bicara.

Para punggawa, tetua dan penasehat keraton sontak mendongakkan wajah. Menatap Sudarsana yang telah berdiri di tengah-tengah paseban agung. Kekhawatiran tampak di wajah mereka. Sang raja pasti akan memuncak amarahnya dengan keberanian Mahamenteri.

“Untuk apa kau menggalang kekuatan baru bersama para pengikutmu?” tanya Gendrayana.

“Ini bukan penggalangan kekuatan, hanya gelar ketangkasan pasukan seperti biasa, sebagai penguatan laskar perang Yawastina, kakang,” sanggah Sudarsana.

“Berani sekali kau membantah ucapanku!” Gendrayana tidak bisa menerima penjelasan adiknya.

“Jaksa negara, masukkan Sudarsana ke dalam penjara! Ia harus dihukum karena mencoba menyusun kekuatan untuk menggulingkan aku!” perintahnya.

Sendika dhawuh, gusti!”

Serentak empat prajurit dan jaksa negara Yawastina meringkus Sudarsana. Sang Mahamenteri sengaja tidak memberikan perlawanan. Para tetua keraton mencoba menenangkan dan membujuk Gendrayana agar mencabut hukuman kepada Sudarsana.

Perintah yang telah diucapkan Gendrayana adalah sabda pandita ratu, pantang baginya untuk mencabut lagi. Sudarsana pun mendekam dalam penjara Yawastina.

*****

Peristiwa yang sebenarnya hanya kesalahpahaman antara kakak adik, Gendrayana dan Sudarsana membuat situasi Yawastina mulai tidak nyaman. Punggawa keraton kini terpecah menjadi dua kubu.

Para pengikut setia Mahamenteri kecewa dengan keputusan raja yang dianggap semena-mena. Sementara di kubu punggawa kepercayaan raja, mulai menebar kecurigaan kepada orang-orang bekas bawahan Sudarsana.

Puncak ketegangan adalah ketika Gendrayana mengeluarkan perintah agar semua senopati, punggawa dan prajurit yang dulu berada dalam laskar bentukan Sudarsana menulis pada sebuah daun lontar. Pernyataan kesetiaan terhadap raja.

Situasi menjadi semakin memanas karena para pengikut Sudarsana menolak ultimatum raja. Mereka bahkan mengancam akan mundur dari pemerintahan Yawastina jika dipaksa menuruti kehendak Gendrayana.

Pendopo Yawastina gempar!

Sebuah cahaya putih menyilaukan mata memenuhi ruang paseban agung. Kehadirannya disertai suara guntur yang menggelegar berkali-kali di langit Yawastina.

Gendrayana, para punggawa, tetua dan penasehat keraton yang dikumpulkan malam itu untuk membahas hukuman terhadap bekas pengikut Sudarsana nyaris semburat berlarian meninggalkan paseban.

Sosok lelaki berjenggot putih, memakai jubah kuning dengan mahkota memancarkan sinar emas berdiri di tengah pendopo Yawastina. Cahaya putih yang menyilaukan mata tetap terpancar dari tubuhnya. Membuat seisi ruangan menjadi terang benderang.

Dewata Agung!

Semua yang hadir di pendopo gemetaran, takut, dan tidak percaya dengan pemandangan dihadapan mereka. Kehadiran sosok seorang Dewa berwujud lelaki tua, tidak bisa diterima akal sehat manusia. Bhatara Narada benar-benar hadir di keraton Yawastina.

“Sabar, sabar ngger. Sadar, sadarlah Gendrayana,” tutur Bhatara Narada.

“Ampuni kami, Dewa,” jawab Gendrayana dengan suara bergetar. Tubuhnya menggigil. Bukan kedinginan, tetapi dihinggapi rasa ketakutan yang teramat sangat.

“Keputusan yang kau ambil sudah melewati batas, Gendrayana. Aku turun ke Yawastina untuk meluruskan semua peristiwa ini. Kau telah melakukan kesalahan besar dengan menghukum Sudarsana, adikmu sendiri. Juga memaksa pengikutnya menuruti kehendakmu,” lanjut Bhatara Narada.

“Sekali lagi ampuni kami, Dewa. Aku mengaku salah,” ucap Gendrayana, sambil bersimpuh didepan kaki Narada.

“Baguslah kalau kau menyadari kesalahanmu. Tetapi sebagai penebusan dosa, kau harus menjalani hukumanku. Berkelanalah ke arah selatan, sucikan dirimu di puncak gunung Wilis,” tutup Bhatara Narada.

“Gendrayana siap menjalankan perintahmu, Dewa,” jawab raja Yawastina.

Berbekal sebuah keris luk lima pemberian Bhatara Narada, malam itu juga Gendrayana memulai masa pembuangan. Ia berjalan kaki dengan diikuti para punggawa setianya meninggalkan keraton. Terus menuju arah selatan, hingga ketika fajar tiba, rombongan itu sampai di tapal batas negeri Yawastina.

“Kita istirahat dahulu disini, Dhadak Merak,” ajak Gendrayana kepada pengawalnya.

“Minumlah dahulu, gusti prabu pasti haus dan kelelahan,” ucap Dhadak Merak, patih Yawastina yang memutuskan ikut menemani Gendrayana menjalani masa pembuangan.

“Terima kasih, Dhadak Merak. Kalian semua juga beristirahatlah, nanti kita teruskan perjalanan setelah matahari condong ke barat. Gunung Wilis masih jauh, jaga baik-baik kondisi tubuh kita.” Gendrayana meneguk air putih yang disodorkan Dhadak Merak pada sebuah guci perunggu.

Gendrayana merebahkan tubuh dengan bersandar pada akar-akar kokoh sebuah pohon gayam. Matanya menatap ke tapal batas yang terbuat dari batu-batu kali yang ditata rapi menjulang tinggi. Tak pernah terbersit sebelumnya bahwa sifat pemarahnya membuat ia harus meninggalkan Yawastina. Negeri tempatnya lahir dan dibesarkan.

Sementara beberapa puluh mil dari tapal batas itu, di paseban agung Yawastina sedang dilakukan penobatan seorang raja baru.

Sudarsana, putra mendiang Yudayana yang lain, setelah malam sebelumnya dibebaskan oleh Bhatara Narada, kini telah menduduki singgasana Yawastina.

Awal dari perang saudara para penguasa bumi Jawadwipa.

-ooOO BERSAMBUNG OOoo-

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

3 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *