Boas Salossa - foto wowkeren.com |
Beritanya tenggelam oleh gegap gempita
aksi damai Bela Agama 4 November 2016. Tidak banyak, atau bahkan tidak ada yang
tahu bahwa pada hari itu tim nasional kita sedang menjalani laga ekshibisi ke
Myanmar.
Pertandingan persahabatan sebagai
ajang pemanasan menuju AFF Cup 2016 ini berakhir imbang dengan skor kacamata 0 –
0. Kedua tim bermain monoton dan nyaris tidak ada peluang untuk menciptakan gol.
Satu dasawarsa silam, kita sangat
mudah mengalahkan negeri Aung San Suu Kyi itu. Tetapi kini mereka telah menjelma
menjadi kekuatan baru di sepakbola Asia Tenggara. Puncak prestasi Myanmar
adalah ketika tahun 2015 lalu mereka berhasil lolos ke putaran final Piala
Dunia U20 di Selandia Baru.
Luar biasa Myanmar!
Sedangkan Indonesia, baru beberapa
bulan kita terbebas dari sanksi banned FIFA (Football International Federation
and Asociation) akibat SK Pembekuan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh
Indonesia) oleh Menpora yang dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah.
FIFA sendiri melarang federasi
anggotanya (dalam hal ini PSSI) diintervensi pemerintah Negara masing-masing.
Terlepas dari konflik diatas, secara
umum permainan timnas merah putih belum menunjukkan peningkatan yang
significant dibandingkan pertandingan sebelumnya melawan Malaysia dan Vietnam.
Meski di beberapa sektor kita sudah memiliki pemain-pemain muda
menjanjikan seprti Fachrudin, Yanto Basna (pertahanan), Beny Wahyudi, Abduh
Lestaluhu (wing back), Evan Dimas, dan Yogi Pradana (gelandang), tetapi untuk
posisi striker (penyerang murni) praktis kita masih mengandalkan Boaz Solossa dan Ferdinand Sinaga. Keduanya adalah pemain yang usianya sudah
melewati era keemasan.
Sebenarnya ada satu nama yang
menempati posisi itu dengan kategori muda, yaitu Lerbi Aliandry. Namun pemain
ini masih jauh dari harapan kita. Selain jam terbang yang masih minim, skillnya
jauh dibandingkan seniornya Boas Salossa ketika berusia seperti dia.
Minimnya stok pemain yang menempati
posisi striker menunjukkan bahwa regenerasi kita gagal. Praktis setelah era
Boaz dan Bambang Pamungkas habis, tidak ada lagi pemain yang bisa menerima
tongkat estafet sebagai penyerang murni.
Kenapa sulit mencari striker muda saat
ini?
Inilah beberapa factor penyebab
gagalnya regenarasi pemain di posisi striker timnas merah putih:
Minimnya
Minat Klub Indonesia memakai Penyerang Lokal
Dahulu kita punya Ricky Yakobi,
striker yang pernah bermain untuk klub Liga Jepang, Matsushita (sekarang Gamba Osaka). Juga sederet nama besar seperti
Ribut Waidi, Asep Dayat, Syamsul Arifin, Widodo C Putra, Rony Wabia, hingga
generasi terakhir semacam Kurniawan Dwi Yulianto (pernah merumput di FC Luzern,
Swiss) dan Boaz Solossa.
Kala itu, hampir seluruh klub
sepakbola kita belum berminat untuk menggunakan jasa striker import.
Kini, keadaan berbanding berbalik. Hampir
seluruh klub di Torabika Super Championship 2016 (kompetisi sepakbola
Indonesia) lebih suka memakai striker import (pemain asing). Kalaupun ada yang
menggunakan pemain lokal, kebanyakan bukan pemain muda. Beberapa bahkan menggunakan pemain
naturalisasi. Seperti Arema Cronous dengan Cristian Gonzales, dan Persija Jakarta dengan Greg Nwokolo.
Rendahnya
Jam Terbang Striker Muda
Ketika timnas U19 berhasil menjuarai
Piala AFF 2013, asa kita tumbuh lagi. Indonesia memiliki Muchlis Hadining
Syaifullah dan Dimas Drajat. Dua striker muda itu digadang-gadang (diharapkan) akan menjadi penyerang timnas masa
depan.
Tetapi apa boleh dikata, jauh panggang
dari api. Jangankan karier mereka semakin meroket, sekedar memperoleh posisi
inti di klub mereka pun sulit. PSM Makassar, klub tempat Muchlis bermain lebih menyukai
pemain import. Sedangkan PS TNI, cenderung sering membangku cadangkan Dimas
Drajat ketimbang pemain-pemain senior semacam Tambun Naibaho.
Membanjirnya Pemain Asing di Posisi
Striker
Sejak PSSI membuka kran penggunaan
pemain asing pada Liga Dunhill I, ratusan pesepakbola dari Amerika Latin dan
Afrika membanjiri klub-klub Indonesia. Para ekspatriat olahraga itu tersebar hampir di
seluruh tim amatir maupun professional.
Sialnya, kebanyakan pemain import adalah berposisi penyerang. Hal ini membuat keberadaan pemain-pemain muda berbakat
terpinggirkan. Bahkan nyaris tidak mendapatkan tempat.
Wajar jika kita sulit menemukan lagi
pemain sekaliber Ricky Yacobi, Ribut Waidi, Widodo C Putra, atau Boaz Solossa.
Kuota pemain asing dalam sebuah klub harus segera dibatasi. PSSI hendaknya merevisi lagi aturan jumlah pemain non lokal yang diperbolehkan turun dalam sebuah pertandingan.
Kuota pemain asing dalam sebuah klub harus segera dibatasi. PSSI hendaknya merevisi lagi aturan jumlah pemain non lokal yang diperbolehkan turun dalam sebuah pertandingan.
*****
Tiga faktor itulah yang kini
menghambat proses regenarasi striker tim nasional Indonesia. Sudah saatnya
klub-klub di Indonesia merubah paradigma. Bukan sekedar mengedepankan gengsi
dan prestise semata, tetapi juga harus memikirkan unsur pembinaan pemain muda.
Berikanlah kesempatan bermain
seluas-luasnya kepada para talenta muda. Hasilnya memang tidak bisa kita petik
sekarang. Tetapi tiga hingga lima tahun kedepan, akan muncul striker-striker lokal
yang tak kalah garang dari Cristian Gonzales dan Greg Nwokolo, produk import
berbaju timnas Garuda.
Salam Merah Putih.
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePostRicky Yacobi - foto beritabola.com |
Keren Kang ulasannya
BalasHapusTapi memang gitu ya, seolah nggak percaya dengan generasi muda. Padahal memang semua perlu waktu untuk mempunyai skill yang diinginkan
Betul mbkyu.
BalasHapusKnp tidak memakai pemain muda dalam negeri?
Keren Kang ulasannya
BalasHapusTapi memang gitu ya, seolah nggak percaya dengan generasi muda. Padahal memang semua perlu waktu untuk mempunyai skill yang diinginkan
iyya betul suka kali import (eh ini benar kan ya ahahaha) dr negri orang padahal dalam negri pun banyak yang bertalenta kalau saja nggak terhalang sama uang.
BalasHapusbener bener
BalasHapus