Senin, 07 November 2016

PAGELARAN WAYANG KULIT DALAM RANGKA PERINGATAN HUT PEMPROV JATIM KE-71

pagelaran wayang kulit di kantor Gubernuran - dok. pribadi

Sabtu 5 November 2016, serangkaian perayaan HUT Ke-71 Provinsi Jawa Timur ditutup dengan menggelar pentas wayang kulit di lapangan parkir timur Tugu Pahlawan. Tepat di depan kantor Gubernuran, Jl. Pahlawan Surabaya.

Pentas seni adiluhung itu menghadirkan seorang maestro yang sudah malang melintang di jagad pewayangan. Ki Manteb Sudarsono, dalang asal Karanganyar, Jawa Tengah. Lakon yang diminta oleh pihak panitia adalah Semar Sang Pamomong.

Gubernur Jawa Timur, Sukarwo dalam pidatonya sebelum pagelaran wayang kulit dimulai mengatakan bahwa Sosok Kyai Lurah Semar yang menjadi pamomong bagi para kesatria Pandawa adalah suri tauladan bagi para pejabat dan PNS, khususnya di lingkup pemprov Jatim.

“Seorang aparatur negara, sejatinya adalah pamong praja (pelayan masyarakat), mengemban tugas untuk merawat, mengayomi dan memelihara wong cilik (rakyat kecil). Bukan pangreh (penguasa, suka memrintah),” ujar Jatim 1 yang akrab dipanggil Pakde Karwo itu.

Menurutnya, lakon “Semar Sang Pamomong” sengaja dipilih karena Semar adalah tokoh sentral dalam mengemban tatanan kehidupan yang aman dan tentram. Dalam konteks pentas wayang kulit tersebut, Semar bisa memposisikan diri sebagai penasehat yang bijak bagi para kesatria yang tengah bertikai.

Pakde Karwo juga menuturkan bahwa dirinya merasa bangga bisa berkumpul dengan masyarakat Jatim malam itu. Terlebih kondisi provinsi di belahan paling timur pulau Jawa tetap aman terkendali walaupun di daerah lain tengah terjadi demo maupun konflik horizontal. 

“Dalam situasi seperti saat ini, dibutuhkan sosok yang bisa menjadi pamomong. Bisa memberikan nasehat dan wejangan yang bermanfaat bagi semua pihak.” jelasnya.

Pentas Ki Manteb Sudarsono pun dimulai dengan penyerahan wayang Semar oleh Gubernur Jatim sebagai tokoh utama dalam cerita yang akan dibawakan. Sementara Pakde Karwo mendapat cinderamata dari sang maestro berupa wayang Kresna. Sosok pemimpin yang arif dan bijak.

Pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang juga dimeriahkan oleh grup lawak kondang Kirun Cs. asal Madiun itu mendapat animo luar biasa dari masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Mereka tumplek blek di halaman Gubernuran, menikmati tontonan yang sarat dengan tuntunan.

Jalannya Kisah.
Kerajaan Pancawati sedang dilanda wabah penyakit. Banyak rakyatnya meninggal karena menderita sakit yang misterius. Pagi hari sakit, sore tiada. Begitu pula sebaliknya, sore jatuh sakit, maka paginya pasti berpulang.

Berita itu terdengar oleh raja Ayodya, Prabu Sri Rama yang pernah berhutang jasa kepada pasukan kera asal Pancawati dan Goa Kiskenda. Ia pun mengajak adiknya, Leksmana untuk berkunjung kesana.

Sampai di Pancawatai, mereka disambut Narpati Sugriwa, pimpinan kera yang menjadi panglima perangnya ketika dahulu Prabu Sri Rama bertempur melawan raja Alengka. Rahwana.

Disamping mengalami pagebluk, rakyat Pancawati juga sedang mengalami paceklik. Semua tanah sawah dan kebun gagal panen. Kelaparan terjadi dimana-mana. Kemiskinan pun merajalela.

“Dulu ketika kakang Semar tinggal disini, kehidupan Pancawati aman dan sejahtera. Rakyatnya makmur, sawah dan kebun subur. Tetapi setelah beliau memutuskan pindah ke Karang Kadempel, kini keadaan berubah drastis,” tutur Sri Rama.

“Kita harus memboyong lagi kakang Semar kesini,” lanjutnya. Ia lalu mengajak Leksmana, Sugriwa dan Hanoman pergi ke Karang Kadempel. Tempat Kyai Lurah Semar tinggal bersama ketiga momongannya. Bagong, Gareng dan Petruk.

Sampai di rumah Kyai Lurah Semar, mereka bertemu dengan rombongan utusan dari Indraprasta dan Astina.

Ternyata, negeri tetangga Pancawati dan Ayodya itu mengalami musibah yang sama. Mereka juga berniat memboyong Kyai Lurah Semar. Sosok yang dipercaya bisa membawa berkah bagi negeri yang ditinggalinya.

Semar pun menjadi sosok yang diperebutkan hari itu. Semua utusan bersikukuh ingin membawa ke negeri masing-masing.

Sempat terjadi keributan antara ketiga rombongan. Sugriwa, Lesmana dan Hanoman bentrok dengan Adipati Karna, Dursasana dan Patih Harya Sengkuni. Sementara Arjuna, Gatot Kaca dan Antareja juga siap menunggu pemenang diantara mereka.

Rombongan Astina babak belur dihajar oleh Leksmana, Sugriwa dan Hanoman. Mereka pun lari tunggang langgang meninggalkan Karang Kadempel.

Akhirnya Kyai Lurah Semar turun tangan. Ia mengatakan tidak akan pilih kasih terhadap negeri mana yang berhak memboyongnya.

Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Sabar ndara, sabar. Hentikan perkelahian ini!” ucapnya.

“Siapapun diantara kalian yang bisa mendapatkan Kembang Tunjung Biru, maka dialah yang berhak memboyongku!” tegas Kyai Lurah Semar.

Seketika, melesat Arjuna dan Leksmana menuju Kahyangan, berburu Kembang Tunjung Biru di taman langit.

Sampai di Kahyangan Cakrakembang, kembali terjadi perkelahian antara dua kesatria beda generasi. Arjuna dan Leksmana. Mereka memperebutkan sepucuk bunga yang terlihat mekar disana. Akhirnya keduanya sama-sama bisa mendapatkan Kembang Tunjung Biru.

Arjuna berhasil membawa tangkainya, sedangkan Leksmana mendapatkan mahkota bunganya. Mereka pun kembali turun ke Karang Kadempel untuk menemui Kyai Lurah Semar.

“Berikan kembang Tunjung Biru yang kalian bawa itu,” ucap Kyai Lurah Smar kepada Arjuna dan Leksmana.

Keajaiban terjadi!

Ketika tangkai dan mahkota bunga Tunjung Biru disatukan oleh Kyai Lurah Semar, mendadak terdengar suara bergemuruh dari langit Karang Kadempel. Disusul sebuah cahaya menyilaukan mata yang terpancar dari kembang yang menjadi rebutan dua kesatria tadi.

Kembang Tunjung Biru seketika berubah menjadi sesosok Dewa yang membuat semua orang yang ada di tempat itu serentak gugup, lalu menyembah.

Sang Hyang Tunggal, ayah dari Bathara Ismaya yang menjelma menjadi Kyai Lurah Semar Badranaya hadir di tempat itu.

“Kedatanganku kemari untuk meluruskan pertikaian yang terjadi sesama golongan kesatria.” ucap Sang Hyang Tunggal.

“Ketahuilah putraku Ismaya, masa pengabdianmu kepada Sri Rama telah usai dengan tewasnya sang angkara murka, Rahwana. Kini saatnya engkau menjadi pamomong bagi putra-putra Pandu, keturunan Begawan Abyasa,” lanjutnya.

Sendika dhawuh, romo.” Jawab Semar.

“Untuk kalian orang-orang Pancawati dan Ayodya, jangan berkecil hati. Setelah peristiwa ini, aku akan menganugerahkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua rakyat disana.” Tutup Sang Hyang Tunggal, lalu lenyap dari Karang Kadempel.

Kyai Lurah Semar pun memutuskan ikut Arjuna ke Indraprasta. Menjadi pamomong bagi para kesatria Pandawa disana.

Sementara Prabu Sri Rama mengajak Leksmana dan bangsa kera kembali ke Pancawati dan Ayodya. Mereka lalu hidup makmur lagi di negeri itu.

*****

Waktu terus bergulir, ketika berusia lanjut, Sri Rama memutuskan turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada putra Mahkota, Pangeran Lawa yang akhirnya menggantikan kedudukan sebagai raja Ayodya. Ia bergelar Prabu Badlawa.

Sri Rama bersama adiknya Leksmana memilih bertapa brata di Kutarunggu. Ia menjadi pertapa yang mengajarkan filsafat “Hastabrata”. Yaitu delapan prinsip yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Kelak, ajaran Hastabrata ini akan menjadi perebutan para kesatria. Mereka menyebutnya sebagai Wahyu Makutharama.

Baca cerita selengkapnya tentang Wahyu Makutharama [ Disini ]

Ketika sudah semakin lanjut usianya, Sri Rama meninggal di pertapaan Kutarunggu. Berita duka ini membuat gempar rakyatnya dari bangsa kera. Sugriwa dan seluruh rakyatnya menyusul ke padepokan itu. Lalu mereka memilih bela pati (bunuh diri) untuk menyusul ke alam keabadian.

Semua bangsa kera tewas, kecuali Anoman dan Kapi Jembawan yang terlambat tiba di Kutarunggu.

Anoman akhirnya memutuskan menjadi pertapa di Kendalisada. Sedangkan Kapi Jembawan menjadi pertapa di padepokan Gandamadana.

Leksmana tetap melanjutkan tapa bratanya di Kutarunggu hingga tutup usia.

*****

Kisah Semar Sang Pamomong yang juga dikenal dengan lakon Semar Boyong ini menjadi pertanda berakhirnya jaman Ramayana sekaligus dimulainya jaman Bharatayuda.


( Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

Semar - image google


10 komentar:

  1. rama nggak nikah lagi setelah sinta meninggal?

    BalasHapus
  2. Tulisan Mas Heru selalu menarik utk dibaca.

    BalasHapus
  3. Ahhh pelan2 ngerti juga tentang perwayangan, tinggal nunggu Mas heru ngeDalang ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wow ... tantangan yang impossible bagi saya .. hahaha

      Hapus
  4. ayo manggung mas Heru.. bkin lebih nyata wayangnya.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan ya?
      Ah, saya manggung lewat tulisan saja mas Ran =D
      hahaha

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *