Rabu, 05 Oktober 2016

MENGENAL SOSOK PANDAWA, TOKOH PROTAGONIS DALAM PERANG BHARATAYUDA (Bagian 3)



image google


1.    PUNTADEWA

Kahyangan Suralaya,
Sang Hyang Manikmaya sedang berkumpul dengan Bathara Narada dan Bathara Darma di Kahyangan Suralaya. Mereka mendengar doa dari Prabu Pandudewanata.

“Kakang Narada, turunlah ke Arcapada. Ajak Bathara Darma untuk menolong Pandudewanata. Bantulah istrinya yang sedang berjuang melahirkan jabang bayi!” perintah Bathara Guru.

Prokencong prokencong, pakpakpong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong … sendika dhawuh, Adi Guru!” jawab Bathara Narada.

Melesatlah dua Dewa itu dari Kahyangan Suralaya. Menembus tujuh lapis langit. Menuju Arcapada, istana Astina. Hendak mengabulkan doa dari Prabu Pandudewanata.

Para kerabat Astina seketika menghaturkan sembah dan hormat, menyambut kehadiran dua utusan Kahyangan Jonggring Saloka. Bathara Narada dan Bathara Darma.

Prokencong prokencong, pakpakpong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong … Adi Bathara Darma, menyusuplah ke ubun-ubun Kunti. Keluarkan jabang bayi itu!” saran Bethara Narada.

“Baiklah, kakang Narada.” Jawab Bathara Darma. Sesaat Dewa Kesabaran itu menghilang. Masuk ke ubun-ubun Dewi Kunti.

Pecah tangis seorang jabang bayi laki-laki.

Tanpa terlihat proses persalinannya, si jabang bayi telah berada dalam gendongan Bathara Darma. Saat membacakan mantra Ajian Kunta Ciptaning Tunggal, Dewi Kunti memang menginginkan Dewa Kesabaran itu yang datang.

Prokencong prokencong, pakpak pong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong …  Kuberi nama bayi ini Puntadewa. Kelak dia akan menjadi kesatria yang jujur, sabar dan berhati mulia!” Sabda Bathara Narada.

“Terima kasih, pukulun.” Ucap Prabu Pandudewanata kepada dua Dewa yang menolong istrinya.

“Kami pamit, Pandu.” Jawab Bathara Darma.

Melesat lagi dua Dewa itu menuju Kahyangan Jonggring Saloka. Meninggalkan orang-orang di Astina yang sedang merayakan kebahagiaan atas kelahiran putra pertama Prabu Pandudewanata. Puntadewa.

*****

Terasa belum lama Astina diliputi suasana sukacita atas persalinan Dewi Kunti. Baru saja Dewata menganugerahi mereka dengan seorang putra mahkota. Calon pewaris tahta Prabu Pandudewanata.

Kebahagiaan itu terhenti sesaat.

Para prjaurit Astina melaporkan bahwa di alun-alun telah datang sepasukan besar bangsa raksasa dari negeri Garbasumandha. Dipimpin langsung oleh rajanya. Prabu Yaksadarma.

“Biar kuselesaikan pasukan bangsa makhluk jelek itu!” sesumbar Harya Ugrasena. Adik Prabu Basudewa yang masih singgah di Astina.

Saudara Dewi Kunti itu segera bergegas menuju alun-alun. Tidak tega iparnya bertarung sendirian, Prabu Pandudewanata menyusul Harya Ugrasena. Dua saudara ipar itu menghadang pasukan Garbasumandha.

“Hei Pandu, jangan merasa sok menjadi lelaki sendiri. Hutang kepala bayar kepala!” tantang Prabu Yaksadarma, ketika berhadap-hadapan dengan Prabu Pandudewanata.

“Sejengkalpun aku tak akan mundur, Yaksadarma!” jawab raja Astina.

Terjadi adu kadigdayan antara dua raja dari bangsa yang berbeda.

Prabu Yaksadarma, raja negeri Garbasumandha yang berwujud raksasa melawan Prabu Pandudewanata, raja negeri Astina yang berwujud kesatria gagah perkasa. Keduanya sama-sama pemimpin yang memiliki kadigdayan linuwih.

Tak jauh dari tempat pertarungan dua raja itu, Harya Ugrasena juga terlibat adu kesaktian dengan Ditya Garbacaraka. Dendam kesatria Mandura belum sirna atas kelicikan punggawa negeri Garbasumandha saat menyusup di taman kaputren dan menculik Dewi Maerah.

“Kali ini kau tak akan bisa lolos, makhluk jelek!” seru Harya Ugrasena.

Adik ipar Prabu Pandudewanata itu langsung menggeber senjata tombaknya. Berkelebatan menerjang Garbacaraka. Sedikitpun lawannya tidak diberi kesempatan untuk menata kuda-kuda dan membalas serangan.

Sebuah terjangan dari Harya Ugrasena mengantarkan mata tombaknya menusuk jantung Garbacaraka. Roboh bersimbah darah.

Ditya Garbacaraka tewas di alun-alun Astina!

Pada detik yang sama, Prabu Pandudewanata berhasil menyambar kepala Prabu Yaksadarma dengan pusakanya, tombak Kyai Karawelang. Menebaskan sekuat tenaga, hingga putus leher sang raja raksasa.

Sama seperti patihnya Kaladruwendra, Prabu Yaksadarma juga meregang nyawa dengan kepala terlepas dari batang leher.

Semburat para prajurit Garbasumandha berlarian menyelamatkan diri. Mereka kocar-kacir meninggalkan Astina.

*****

Hari berganti minggu, bulan bergulir menjadi tahun. Puntadewa tumbuh menjadi sosok kesatria muda yang berbudi pekerti luhur. Ia memiliki watak jujur, sabar, tenang, adil dan tidak pernah mau berkelahi, meski harga diri dan kehormatannya di injak-injak.

Para Dewa pun menjulukinya sebagai Sang Ajatasatru, yang berarti tidak memiliki musuh, tidak mau berkelahi. Orang-orang juga menyebutnya sebagai Samiaji, Darmaputra, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Kantakapura, Yudhistira (sukma Prabu Yudhistira, raja bangsa jin dari hutan Amarta yang dikalahkan Puntadewa menitis ke raga Puntadewa).

Puntadewa juga mendapatkan wahyu dari Dewa berupa pusaka Jamus Kalimasada, Payung Tunggul Naga, Keris Kyai Kopek, Sumping Prabang Ayun, Sangsangan Kalung Robyong. Serta Tombak Kyai Karawelang warisan ayahnya, Prabu Pandudewanata.

Dalam keadaan terdesak dan terancam, jika Kalung Robyong yang menyatu di kulit lehernya ia sentuh, maka Puntadewa akan berubah wujud menjadi Brahala Sewu. Sosok raksasa menakutkan yang hanya bisa diredam amarahnya oleh titisan Bethara Wisnu.

Jamus Kalimasada merupakan sebuah kitab. Dalam perang Bharatayuda, Puntadewa membacakan  isi pusaka ini dan berubah wujud menjadi anak panah berbentuk tombak yang menewaskan senopati Kurawa, Prabu Salya.

Ketika mengembara ke berbagai negeri tetangga karena menjalani hukuman pengasingan akibat tipu daya Patih Sengkuni, Puntadewa berhasil memenangi sayembara di negeri Pancala. Ia berhak mendapatkan Dewi Drupadi yang kemudian diperistrinya.

Dari pernikahannya dengan Dewi Drupadi, Puntadewa mendapatkan satu orang putera bernama Pangeran Pancawala.

Hubungan Puntadewa dengan Syiar Islam Kanjeng Sunan Kalijaga
Salah satu ulama besar di tanah Jawa yang sangat tersohor dalam kisah sembilan wali (Walisongo) adalah Sunan Kalijaga.

Beliau juga dikenal sebagai seorang Dalang yang melakukan syiar Islam melalui media pagelaran wayang kulit. Kanjeng Sunan tahu bahwa masyarakat Jawa ketika itu sangat menyukai seni yang menggunakan alat peraga berbahan kulit sapi.

Perlahan-lahan Kanjeng Sunan Kalijaga menggubah beberapa pakem (alur cerita) wayang kulit dari versi aslinya asal Jambudipa (India). Melogikakan dengan ajaran agama yang masih baru bagi orang-orang Jawa.

Kesatria tertua Pandawa, Puntadewa merupakan pengejawantahan dari rukun Islam yang pertama. Syahadat.

Puntadewa memiliki pusaka sakti berupa Jamus Kalimasada yang berarti adalah Jimat (siji sing dirumat – pertama yang harus dipegang, diucapkan) yaitu Kalimasada. Kalimat Syahadat.

“Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullah

 Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

~ BERSAMBUNG ~

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya tentang Kisah Puntadewa [ Disini ] dan [ Disini ]

Catatan :
Arcapada = bumi, dunia
Prokencong prokencong, pakpakpong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong = kalimat latah yang sering diucapkan Bethara Narada.
sendika dhawuh = siap laksanakan
pukulun = panggilan kepada Dewa

Bathara Narada - image google
 
Puntadewa - Foto Dokumen Pribadi

14 komentar:

  1. kunta itu artinya senjata ya?

    BalasHapus
  2. enak yaa klo lahiran ala dewi kunti

    BalasHapus
  3. Owh gitu ya.. padahal sebenernya cerita aslinya asal India itu nggak gitu ya mas??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul.
      Itulah kejelian Kanjeng Sunan untuk mengambil hati orang Jawa.

      Hapus
  4. Mungkin karena cara syiar agama yg dilakukn saat itu mlalui media wayang dg cerita itu mkanya sampai saat ni msh bnyk ajran yg sbnarnya bkn berasal dr agma islam . Jd kdg msh ad pngaruh hinduna gt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejarah Jawa memang tak bisa lepas dr Hindu, dan Kanjeng Sunan Kalijaga memahami itu.

      Hapus
  5. Balasan
    1. Iya Aa,
      ada yg menyebutnya Jambudipa, Jambudwipa

      Hapus
  6. Mas Heru imajinatif bangettt, unsur budaya dan seninya kuattt :)

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *