Pandawa - image google |
4-5.
NAKULA - SADEWA
Bilik Kedaton Astina,
jelang kelahiran Nakula-Sadewa.
“Sepertinya umurku hanya sampai disini.” ucap Prabu
Pandudewanata yang terbaring dengan kaki bersimbah darah.
Luka akibat tusukan Keris Kalanadah cukup parah. Pusaka
yang terbuat dari taring Bathara Kala
itu mengandung racun yang mematikan. Tidak salah jika Prabu Tremboko begitu
besar sesumbarnya untuk mengalahkan sang guru.
Kedua istri Prabu Pandudewanata, Ratu Dewi Kunti dan Dewi
Madrim hanya bisa menangis disamping tubuh raja Astina. Ketiga anaknya,
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna pun demikian.
Kyai Lurah Semar Badranaya yang ada di dalam bilik istana
akhirnya ikut andil bicara,”Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Ndara Kusumaratu Kunti, gusti
Ratu Madrim bersabarlah, memohon petunjuk yang terbaik terhadap garis takdir
Dewata ini. Apa yang pernah diucapkan gusti Prabu Pandudewanata saat menghadap
Bathara Guru tentu akan tetap ditagih.” tuturnya.
Maksud dari Kyai Lurah Semar Badranaya adalah
mengingatkan bahwa ketika menemui Bathara Guru di Kahyangan, Prabu
Pandudewanata pernah bersumpah rela diberi umur pendek dan dimasukkan ke
neraka, asal permintaannya meminjam Lembu Andini dikabulkan.
Mendengar itu, Dewi Madrim menangis histeris,”Duh kakang
Badranaya, kumohon tolonglah suamiku, mohonkan ampun kepada Bathara Guru.”
Pintanya sambil menangis sesenggukan.
Prabu Pandudewanata yang semakin terkapar oleh racun
Keris Kalanadah mengusap kepala istri selirnya,”Adinda Madrim, garis kematianku
sudah ditakdirkan jauh hari sejak aku belum lahir. Jika jalan menuju alam
sunyaruri itu harus kutempuh melalui peristiwa ini, itu tak lepas dari kehendak
Dewata. Tabahkan hatimu, jaga anak kita yang masih berada di rahimmu.” ucapnya.
*****
Kahyangan
Jonggringsaloka, jelang kelahiran Nakula – Sadewa.
“Bathara Yamadipati, jemput sukma Pandudewanata
sekarang!” perintah Bathara Guru.
“Masukkan ke dalam dasar Nerakaloka. Kawah Candradimuka!”
lanjutnya.
“Sebentar, pukulun!” Bathara Kamajaya memotong ucapan
sang Mahadewa.
“Pandudewanata memang bersalah, telah melakukan perbuatan
memalukan saat membawa Lembu Andini, sapi Kahyangan. Tetapi hendaknya kita
tidak melupakan jasanya ketika menjadi jago para Dewata mengalahkan Prabu Nagapaya
yang hendak mengobrak-abrik Kahyangan.” jelas Bathara Kamajaya.
“Ini bukan masalah balas jasa, Kamajaya. Tetapi soal
sabda atas ucapan Pandudewanata sendiri. Juga kutukan Resi Kindama yang telah
dikabulkan para Dewa ketika itu.” jelas Bathara Guru.
“Ini titahku! Temanilah Bathara Yamadipati turun ke
Arcapada. Ajak pula Bathara Aswan dan Bathara Aswin untuk membantu janin yang
ada dikandungan Dewi Madrim. Keluarkan bayi itu sebelum sukma Pandudewanata
pergi!” lanjutnya.
“Sendika dhawuh,
pukulun!” jawab Bathara Kamajaya dan Bathara Yamadipati serempak.
Hari itu, Dewa Pencabut Nyawa (Yamadipati), Dewa Asmara
(Kamajaya), Dewa Penyembuh/Tabib Kahyangan (Aswan dan Aswin) melesat turun ke
Arcapada. Menembus tujuh lapis langit. Mereka mendarat di istana Astina. Tempat
Prabu Pandudewanata sedang dikerumuni istri dan anak-anaknya.
*****
Kedaton Astina,
kelahiran Nakula – Sadewa.
“Berbaringlah, kami akan mengeluarkan jabang bayimu, Dewi
Madrim!” ucap Bathara Aswan yang ditemani Bathara Aswin.
“Terima kasih, pukulun.”
sembah Dewi Madrim.
Dengan kedigdayaan Dewa, benih dari Prabu Pandudewanata
yang dulu disempurnakan dua Dewa Kembar itu dikeluarkan tanpa melalui
persalinan. Lahirlah jabang laki-laki yang kembar pula.
Tangisnya membahana ke seluruh penjuru istana Astina.
Prabu Pandudewata yang masih terbaring tak berdaya segera meminta kedua putra
kembarnya yang baru lahir itu didekatkan kepadanya,”Pukulun Bathara Aswan dan Bathara Aswin, aku ingin menimang
putra-putraku.” ucapnya.
Dengan penuh haru karena mengetahui ajalnya sudah tiba
(Bathara Yamadipati berdiri menunggu di dalam bilik itu juga), Prabu
Pandudewanata menciumi bayi kembarnya. Ia juga memberi nama keduanya Pinten dan
Tingsen.
“Pandudewanata, telah tiba waktunya aku menjemput
sukmamu!” ucap Bathara Yamadipati yang berjalan mendekat ke arah tubuh raja
Astina.
“Silahkan, pukulun.
Aku sudah siap.” jawab Prabu Pandudewanata. Dalam hitungan sekejap, ia telah
menghembuskan napas terakhirnya. Matanya terpejam dengan bibir tersenyum. Kedua
tangannya masih memeluk tubuh dua bayi kembarnya. Pinten dan Tingsen.
Melambai-lambai tangan sang raja Astina, seolah-olah
pamit kepada istri dan anak-anaknya, ketika ia terbang bersama Bathara Yamadipati,
Bathara Kamajaya, Bathara Aswan dan Bathara Aswin.
Pecah tangis Dewi Kunti, Dewi Madrim dan ketiga putra
Pandu. Yudhistira, Bimasena dan Arjuna. Melihat pemandangan yang memilukan itu.
“Ini semua salahku …. !” jerit Dewi Madrim.
“Andai aku tidak mengidam Lembu Andini, pasti kakanda
Prabu Pandu tidak meninggalkan kita!” suara tangisnya semakin terdengar
histeris.
“Biarlah aku menemani sukma Prabu Pandudewanata di Nerakaloka!”
tutupnya. Tanpa diduga siapa pun yang ada di tempat itu, tiba-tiba Dewi Madrim
mencabut sebuah keris yang terselip di pinggang sang suami, lalu menancapkan ke
jantungnya.
Dewi Madrim roboh bersimbah darah, ikut menghembuskan
napas terakhir. Meninggalkan dua bayi kembar yang baru dilahirkannya. Pergi ke
alam sunyaruri untuk selama-lamanya. Ia
mengejar sukma Prabu Pandudewanata yang terbang bersama empat Dewa.
Menuju gunung Jamurdipa. Pintu gerbang Nerakaloka.
Kawah Candradimuka!
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Baca cerita sebelumnya [ Disini ]
Catatan
:
Pukulun =
panggilan kepada Dewa
Sendika dhawuh =
siap laksanakan
Alam Sunyaruri = alam keabadian, setelah
kematian
Lole-lole, mbegegeg
ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Kyai Lurah Semar Badranaya - image google |
Two thumbs up deh buatTulisan mas heru ttg pewayangan.
BalasHapusTwo thumbs up deh buatTulisan mas heru ttg pewayangan.
BalasHapusTerima kasih mbk Rika
BalasHapusHaduh si dewiiii.... kisah cinta tang memilukan... melebihi romeo n juliet ini mas.
BalasHapus