Minggu, 23 Juli 2017

AIRLANGGA JUMÊNÊNG NATA



Anjuk Ladang, 928 Saka Warsa.

Bulan separuh pada Mangsa Kaso telah naik satu tombak di atas cakrawala. Sinarnya yang redup, tidak sebenderang ketika purnama tujuh malam silam. Namun, ia masih enggan berhenti membelai dedaunan cemara. Pohon yang konon terkena kutukan Sang Hyang Jagad Nata akibat bersekongkol dengan iblis untuk mencelakai moyang manusia, sehingga diusir dari Swargaloka itu banyak tumbuh mengelilingi Jaya Stambha. Sebatang pohon Kepuh tumbuh menjulang tinggi, berdiri diantara puluhan batang cemara.

(Cut)
.....

Ken Bayan beranjak dari tempatnya bersandar. Sekitar sepuluh tombak melangkah, dia sampai di undakan kapisan Jaya Stambha. Angin malam kembali menggampar pepohonan. Sebagian menerpa rambutnya yang dibiarkan terurai sebahu. Sejenak dia berhenti, menatap sebentar ke arah sepasang lingga dan yoni yang mengapit pintu masuk bangunan suci peninggalan Mpu Sindok. Lalu, dia kembali menaiki undakan demi undakan menuju Garbhagriha.

Sampai di undakan pungkasan, Ken Bayan melakukan sembah dada ke hadapan bangunan suci yang seluruh bagiannya terbuat dari batu bata merah. Dengan perasaan berdebar, dia kembali melangkah memasuki Garbhagriha. Lalu, dia membakar kemenyan. Seketika, asap mengepul memenuhi seisi ruangan, disertai aroma wangi astanggi. Sebagian kepulan dupanya menerobos ke luar Jaya Stambha. Mengundang kehadiran makhluk-makhluk dari dimensi lain.

(Cut)
.....

Malam berjalan semakin jauh. Kabut tebal kembali menutupi penglihatan batin Ken Bayan. Kini, dia sudah sedikit bisa menangkap segala pawisik niskala yang diterimanya selama dua malam. Ribuan pasukan yang datang dari Brang Lor ternyata adalah prajurit Sriwijaya. Sementara empat penunggang kuda yang mengintai pergerakan mereka adalah para senopati Medang Kamulan. Dua diantaranya bernama Mpu Danghil dan Brapa Baruk. Pemimpin mereka bernama Rakryan I Hino Mpu Sindok.

Ken Bayan mengatur napasnya yang mulai naik turun tak beraturan. Dia mencoba masuk lebih dalam lagi ke dimensi niskala. Mata batinnya masih penasaran untuk mengikuti gejolak peristiwa demi peristiwa yang terhampar di tirai niskala.

Pasukan Sriwijaya bergerak ke arah barat menuju lembah gunung Wilis. Ribuan pasukan bersenjata lengkap dengan Dwaja Bagaskara benar-benar akan menyerbu Rakryan I Hino Mpu Sindok beserta sisa prajurit Mataram yang ikut menyingkir dari kotaraja bersamanya.

Kedatangan pasukan Sriwjaya dihadang oleh pasukan kuda Mataram yang berjumlah sekitar dua ratus prajurit saat mendekati Margo Anung. Para kesatria Mataram sudah menanti di sana untuk memberikan perlawanan. Mpu Danghil menjelma bak Dewa Kematian. Dengan sebuah tombak panjang, kudanya menari-nari di antara pasukan Sriwijaya. Bunyi denting senjata disertai jeritan manusia yang meregang nyawa mengiringi  setiap gerakan pemangku kabuyutan Margo Anung itu. Satu per satu prajurit kuda Sriwijaya tumbang.

“Garudha Wyuha ... garudha wyuha ... garudha wyuha!” Teriak senopati pasukan kuda Sriwijaya.

Sontak, pasukan kuda dari tanah Swarna Dwipa itu langsung membentuk gelar tempur menyerupai burung garuda. Senopati prajurit berada di posisi paruh burung, sementara ratusan prajuritnya menyebar di bagian sayap dan ekor. Gerakan mereka seperti kepakan sayap burung raksasa disertai patukan paruh yang mengerikan. Tak sedikit prajurit Margo Anung yang roboh berkalang tanah.

“Wukir Jaladri ... wukir jaladri ... wukir jaladri!” 

Mpu Danghil tak kalah lantang berteriak. Serentak, pasukan Margo Anung membentuk gelar tempur  menyerupai sebuah gunung.

Cukup lama gelar tempur wukir jaladri membendung gelombang serangan pasukan kuda Sriwijaya yang dilapisi pasukan berjalan kaki di belakangnya. Namun, karena kalah dalam jumlah, Mpu Danghil beserta prajurit-prajurit Margo Anung pun terdesak hingga keluar kabuyutan.

“Kinepung wakul binaya mangap ... kinepung wakul binaya mangap ... kinepung wakul binaya mangap!” teriak Mpu Danghil. Dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dari Margo Anung.

Prajurit Margo Anung di barisan paling belakang merangsek maju. Sementara barisan lainnya bergerak mundur dengan menjaga jarak sekitar seratus tombak dari pasukan yang telah menggantikan posisi mereka. Kini, mereka telah terbagi dalam dua pasukan kecil. Lalu, secara bergantian dua kelompok itu saling melindungi saat salah satu menjauh dari kabuyutan.

Margo Anung berhasil diduduki Sriwijaya. Sorak kemenangan mengiringi iring-iringan pasukan yang terus bergerak ke arah selatan, menuju lembah gunung Wilis. Sekitar lima puluh prajurit tetap berada di Margo Anung. Mereka mengumpulkan mayat-mayat kawannya dan membawa kembali ke pesanggrahan di Bandar Alim untuk dibakar.

Ribuan pasukan kuda dan prajurit berjalan kaki Sriwijaya sampai di kaki gunung Wilis saat matahari tepat di atas kepala. Kedatangan mereka sudah ditunggu oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh Mpu Sindok. Perang langsung pecah.

Gelar tempur wukir jaladri masih digunakan pasukan Mataram dengan ditopang sisa-sisa prajurit yang telah bertempur di Margo Anung. Mpu Sindok dan Mpu Danghil mengamuk seperti banteng ketaton. Tombak di tangan keduanya membabat habis setiap berjumpa dengan prajurit Sriwijaya yang mendekatinya. Tak terhitung berapa banyak yang meregang nyawa di tangan dua kesatria Mataram itu.

Strategi wukir jaladri cukup membuat Sriwijaya terpancing amarahnya. Panglima perang mereka memacu kudanya ke tengah barisan pasukan kuda.

“Samudera rob ... samudera rob ... samudera rob!” Teriaknya sambil mengacungkan pedang di tangan kanannya tinggi-tinggi.

Seketika ratusan pasukan kuda segera memutar posisi, mencari kawan untuk membentuk gelar tempur yang diperintahkan panglima perang mereka. Hal yang sama juga dilakukan barisan pasukan berjalan kaki Sriwijaya. Mereka menghentikan serangan sesaat, lalu berlari mencari kawan untuk ikut bergabung dengan gelar tempur Samudera Rob.

Belum sempat gelar tempur andalan Sriwijaya itu terbentuk, Mpu Sindok sudah bergerak lebih cepat.

“Gelatik neba ... gelatik neba ... gelatik neba!” Perintah Mpu Sindok.

Sontak ratusan pasukan kuda Mataram berhamburan ke barisan pasukan berjalan kaki Sriwjaya yang lengah sesaat ketika membentuk gelar tempur Samudera Rob. Serangan seperti kawanan burung gelatik yang terbang mencuri butiran padi menguning itu membuat pasukan Sriwjaya kelabakan. Jeritan kesakitan mewarnai porak porandanya gelar tempur mereka.

Mpu Sindok memutar kudanya, lalu memacu mendekati kuda Mpu Danghil. 

“Paman Mpu Danghil, inilah saatnya kita pancing mereka untuk bergeser ke ladang pembantaian. Perintahkan semua pasukan Mataram mundur!” bisik Mpu Sindok.

“Sendika dhawuh, kanjeng.” Jawab Mpu Danghil.

Bekas senopati Mataram yang kini menjadi pemangku kabuyutan Margo Anung itu langsung memacu kudan ke tengah pasukannya. Tangannya di angkat tinggi-tinggi lalu dikibaskan ke arah utara palagan.

“Mundur ... kita mundur ... kita mundur!” teriak Mpu Danghil.

Pemandangan itu membuat panglima perang Sriwjaya besar kepala. Saat pasukan yang dipimpinnya mulai porak poranda oleh gelar tempur Gelatik Neba, justru Mpu Sindok dan sisa-sisa pasukan Mataram lari dari palagan.

“Kejar ... kejar mereka!” Perintah sang panglima perang. Raut wajahnya menunjukkan ambisi untuk segera mengakhiri perlawanan Mpu Sindok.

Sekitar dua ribu tombak pasukan Sriwijaya mengejar pasukan Mataram, terdengarlah gegap gempita sorak pasukan pendem yang membahana dari balik lebatnya hutan Kepuh.

“Mereka datang ... habisi orang-orang Melayu!” Teriak Brapa Baruk yang menjadi senopati pasukan pendem.

Belum sempat pasukan Sriwijaya mencari asal suara, tiba-tiba muncul ribuan pasukan tak dikenal dari balik persembunyian. Teriakan dan kehadiran mereka sontak membakar semangat pasukan Mataram yang bergerak mundur. Kini, jumlah prajurit kedua kubu yang berperang sudah berimbang.

Saat itulah, Mpu Sindok memacu kudanya di barisan paling depan. Dia menghunus keris. Lalu mengacungkan tinggi-tinggi ke cakrawala.

“Para kesatria Mataram, inilah saatnya kita menyambut Sriwjaya dengan banjir darah mereka sendiri!”Bergidik seluruh pasukan Mataram mendengarnya.

“Wahai orang Melayu, aku Rakryan I Hino Mpu Sindok bersumpah ... kalian akan menyesal telah menginjakkan kaki lagi di bumi Jawa Dwipa!” 
Sabda dari Mpu Sindok terdengar lantang hingga menggetarkan kabuyutan Gejag. Ribuan pasukan Mataram seperti mendapatkan kekuatan berlipat. Mereka mengamuk dan menghabisi setiap prajurit Sriwijaya yang terlihat.

Diluar dugaan pasukan Sriwijaya maupun Mataram, tiba-tiba dari segala penjuru datang bergelombang ratusan lelaki tua dan muda bersenjata ala kadarnya. Mereka membawa parang, golok, celurit dan ikut bergabung ke medan perang.

“Kami datang untuk kanjeng Mpu Sindok!” teriak para penduduk. Dengan membabi buta, mereka ikut menyerang pasukan Sriwijaya.

Tanah di kabuyutan Gejag seketika menjadi merah oleh tumpahan darah pasukan Sriwijaya. Bumi Jawa Dwipa telah menjadi neraka orang-orang Swarna Dwipa.
............

(Kutipan "Purwaka" novel Airlangga Jumênêng Nata - Pertumpahan Darah Para Penguasa Tanah Jawa)

Heru Sang Mahadewa
Member of One Day One Post

#AirlanggaJumênèngNata
#ProjectNovelODOP
#ODOP

Catatan:
Cerita ini terinspirasi dari keberadaan Candi Lor yang kini nyaris runtuh di tanah kelahiran saya.

Anjuk Ladang : daerah Nganjuk, Jawa Timur sekarang
928 Saka Warsa : sekitar 1006 Masehi
Mangsa Kaso : periode kedua dalam perhitungan zodiak Jawa, sekitar Juli - Agustus
Sang Hyang Jagad Nata : Tuhan pengatur alam semesta
Jaya Stambha : candi, tugu kemenangan
Pohon Kepuh : dalam bahasa ilmiah disebut sterculia foetida
Gharbagriha : ruang utama pada bangunan candi
Dwaja Bagaskara : bendera berlambang matahari
Kabuyutan : desa kuno
Margo Anung : daerah Ganung Kidul, Nganjuk, Jawa Timur sekarang
Garuda Wyuha : gelar tempur dengan formasi seperti burung garuda
Wukir Jaladri : gelar tempur dengan strategi bertahan seperti gunung
Kinepung Wakul Binaya Mangap : gelar tempur dengan strategi mundur teratur
Samudera Rob : gelar tempur dengan strategi menyerang besar-besaran bagai gelombang laut pasang
Gelathik Neba : gelar tempur dengan formasi seperti burung gelathik yang berhamburan merusak tanaman padi.
Gejag : daerah Gejagan, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur sekarang

2 komentar:

  1. Ya ampuunn...nyaris habis baru ngeh, saya bacanya pake suara O, ala2 narator pentas drama legenda2😀

    BalasHapus
  2. Matur suwun, mbk Hikmah Ali.
    Ini emang ngasal nulis ... heheee

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *