Kamis, 27 Juli 2017

MERUNTUHKAN TEMBOK BERNAMA WRITER’S BLOCK


8strack.com


Seorang penulis, mulai kelas akun media sosial, blog, web hingga profesional (baca: penulis yang telah menelurkan banyak buku best seller) tentu pernah mengalami kebuntuan ide, imajinasi dan semangat. Fase ini dikenal sebagai Writer’s Block. Sebuah kondisi ketika seorang penulis tidak bisa mengguratkan aksara demi aksara.

Ketika mengalami writer’s block, biasanya mereka akan berhenti menulis. Bisa berlangsung seminggu, sebulan, bahkan tahunan.

Apa penyebab writer’s block?

Ada dua faktor yang mengakibatkan seorang penulis mengalami writer’s block, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal adalah penyebab yang datang dari dalam diri penulis itu sendiri. Rasa malas, kebiasaan menunda eksekusi terhadap sebuah ide, juga sebuah kejadian di luar kepenulisan (baca: masalah pribadi, keluarga, pekerjaan dalam kategori berat) yang menimpa kehidupan penulis adalah beberapa contoh penyebab internal.

Sedangkan faktor eksternal, adalah penyebab terjadinya writer’s block yang berasal dari publik. Karya seorang penulis yang dianggap kontroversi, biasanya akan mendapatkan respon negativ dari pembaca. Hujatan, cemoohan bahkan bully yang berlebihan, terkadang bisa menjadikan seorang penulis akan berhenti menulis. Bisa sesaat, sedang, atau bahkan berlangsung lama.

Untuk penyebab kedua ini, saya mengambil contoh kasus seorang penulis profesional bernama Damar Shasangka (Anton Maharani). Pengarang novel sejarah serial Sabda Palon ini dalam sebuah diskusi sejarah di Magelang, Jawa Tengah, mendapat sanggahan (jika tidak boleh disebut bully) dari banyak sejarawan karena keberaniannya menampilkan seorang tokoh China bernama Nyo Lai Wa sebagai raja Majapahit di masa-masa keruntuhannya. Tidak berhenti di situ, Damar Shasangka juga didebat (jika tidak etis dikatakan dihujat) atas kenekadannya menuturkan ulang Serat Darmogandul, sebuah karya sastra kuno penuh kontroversi.

Diakui atau tidak, sejak kejadian itu, serial novel Sabda Palon yang sudah terbit hingga jilid kelima, mendadak berhenti hampir dua tahun. Meskipun dalam berbagai forum, Damar Shasangka berjanji akan melanjutkan novelnya, tetapi saya pribadi berpendapat bahwa inilah fase writer’s block yang dialaminya karena disebabkan faktor eksternal.

Lalu, apakah kita harus berlama-lama berkutat di dalam writer’s blcok?

Tentu saja tidak. Setebal apapun tembok bernama writer’s block, kita harus bisa meruntuhkannya. Berat, mungkin iya. Tetapi semakin lama kita berhenti menulis, maka semakin hilang pula ketajaman kita dalam menangkap ide. Sudah pasti, kelihaian dalam meng-eksekusinya ke dalam tulisan, kian pudar.

Bagaimana cara menjebol tembok bernama writer’s block?

Banyak cara untuk melawan writer’s block. Setiap penulis memiliki trik yang berbeda-beda. Dalam kasus Sabda Palon dan Serat Darmogandul, Damar Shasangka mencoba mengalahkan fase itu dengan cara meredam gejolak publik pemerhati sejarah memakai karya “aman”. Setelah break cukup lama, kera ngalam (baca: arek Malang; anak Malang Jawa Timur) itu menulis tema lain, yaitu Runtuhnya Giri Kedhaton. Menurut pandangan saya, cara yang digunakan Damar sangat berhasil. Setelah itu, berturut-turut lahir kembali karyanya seperti Katuturanira Ken Angrok dan Serat Nawaruci.

Saya sendiri, pembelajar menulis, pernah atau bahkan sering mengalami writer’s block. Untuk keluar dari kubangan itu, saya mengambil cara yang berbeda dengan orang.

Apa yang saya lakukan untuk meruntuhkan writer’s block?

Blusukan ke situs-situs sejarah.

Setelah sekian bulan belajar menulis, lambat laun saya mulai menemukan kenyamanan (mentor di One Day One Post, uncle Achmad Ikhtiar, menyebutnya sebagai gaya menulis) ketika menulis tema sejarah dan wayang. Sudah pasti, untuk menajamkan hasil tulisan, saya harus mendatangi tempat-tempat yang ada kaitannya dengan sejarah dan wayang.

Nah, ketika mengalami writer’s block, saya biasa meruntuhkannya dengan sowan ke petilasan, candi, sendang atau apapun yang bisa memberikan ide dan memecah kebuntuan saya dalam melanjutkan aktivitas menulis.

Beberpa situs yang pernah saya kunjungi diantaranya Candi Lor, Candi Ngetos, Petilasan Gajah Mada, Situs Totok Kerot, Petilasan Sri Aji Jayabaya, Sendang Tirta Kamandanu, Candi Tegowangi, Candi Surawana, Sendang Made, Petilasan Dewi Kili Suci, Petilasan Gunung Ratu, Candi Penataran, Candi Brahu, Candi Wringin Lawang, Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Kedaton, Candi Menak Jinggo, Makam Putri Campa, Panggung Sumpah Palapa, Pendopo Agung Majapahit.

Blusukan ke situs-situs sejarah, cara saya melawan writer's block


Di tempat-tempat  yang terkadang menurut kebanyakan orang dikatakan wingit, sakral dan ghaib (saya menyebutnya sebagai energi niskala dari peninggalan luhur moyang kita) itu, saya bercengkerama dengan embah embah----kakek----penjaga situs. Biasanya kami suka ngobrol ngalor ngidul (obrolan santai dengan tema tidak tentu arah), sambil minum kopi dan rokokan (menghisap rokok).

Ngobrol dengan Mbah Sadi, juru kunci petilasan Dewi Kili Suci, salah satu cara saya mencari ide baru untuk melawan writer's block

Dari obrolan ringan dengan para juru kunci tempat-tempat bersejarah itulah, saya mendapatkan ide dan informasi yang terkadang tidak pernah saya dapatkan dari buku-buku rujukan. Semangat menulis tumbuh kembali. Writer’s block pun pelan-pelan bisa saya runtuhkan.

( Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

4 komentar:

  1. Saya merasa tulisan-tulisan Mas Heru selalu gagah. Semangatnya luar biasa.

    Tips unik berikutnya yang saya dapatkan adalah silaturahim. Okay, Makasih banyak Mas Heru.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *