Senin, 17 Juli 2017

ASMARADAHANA AROK DEDES


Arca Ken Dedes - photo Majapahit art


Tunggul Ametung baru saja kubunuh. Ken Dedes yang menangisinya, kutinggalkan begitu saja. Heran, seharusnya wanita itu tertawa bahagia karena lelaki yang dulu merenggut kehormatannya telah meregang nyawa. Mungkin dia terlalu pengecut untuk mengakui itu. Atau bisa jadi, sebenarnya Ken Dedes tengah bersandiwara di depan punggawa dan prajurit Tumapel,1 kalau dia begitu kehilangan akuwu2 renta itu. Padahal aku yakin, dia lega melihat sebilah keris menancap di dada suaminya.

Petang tadi, ketika senjakala terdampar di punggung gunung Kampud,3 mataku terbelangak tidak percaya. Bisa-bisanya kepercayaan ini dihancurkan dengan sekejap mata. Hanya dengan sebuah rengkuhan pelan. Iya, rengkuhan pelan antara Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Mereka saling berpelukan sambil berucap tentang asmara. Padahal, setiap purnama tiba, aku dan dia melakukan perbuatan yang sama di taman kaputren Tumapel. Hati ini terbakar, seketika kuputuskan untuk mengakhiri sandiwara cinta Ken Dedes kepada suaminya.

“Arok... kau...?”

Ken Dedes tidak melanjutkan kata-katanya. Bibir indah yang pernah kucuri di sudut petirtaan puri prameswari itu telah disumpal oleh tapak tangannya sendiri. Jari telunjuk kutempelkan di depan bibir, isyarat agar Ken Dedes menahan suara. Di sampingnya, tubuh Tunggul Ametung nampak telah membujur kaku. Darah masih mengalir dari dada yang telanjang. Sebagian memercik ke dinding bilik yang terbuat dari gêbyok4 berukuran tebal.

Sejurus kemudian aku sadar, prajurit penjaga puri akuwu pasti akan segera berdatangan. Tunggul Ametung sempat mengerang kesakitan setelah keris buatan seorang Mpu dari Lulumbang,5 bapa Gandring, kuhunjamkan menembus jantungnya.

“Mulai malam ini, kau adalah milikku seutuhnya, nimas.”6

Kubisikkan sebuah kalimat ke telinga Ken Dedes, sebelum meninggalkan bilik yang menjadi saksi watak ahangkaraku malam itu. Beberapa damar masih menyisakan liukan-liukan api di serambi puri. Penerangan dari minyak jarak dan sabut kelapa itu tertempel pada dua pilar puri tempat tinggal sang akuwu. Dengan langkah cepat, aku mendekat, lalu memberi tiupan ke arah damar-damar itu. Seketika gelap menyergap.

Tumapel Gempar!

Ken Dedes menjerit sekeras-kerasnya. Tangisnya sontak mengundang kedatangan para punggawa dan prajurit Tumapel tengah malam itu.

“Kangjêng Tunggul Ametung dibunuh ... Kangjêng Tunggul Ametung dibunuh!”

“Kerahkan prajurit .. tutup semua jalan keluar pakuwon Tumapel!”

Berjarak seratus tombak, dari persembunyian di balik arca Dwarapala, aku bisa melihat Gagak Manahun dan Lembu Wungu, dua punggawa tinggi pakuwon Tumapel turun dari kuda, lalu berlari memasuki puri tempat tinggal Ken Dedes. Derap langkah puluhan prajurit terdengar menyebar ke berbagai sudut jalan keluar dari pakuwon.

-o0o-

Puntên dalêm sewu,7 kangmas.8 Keris ini adalah milik Kebo Ijo.”

“Kau pernah melihatnya, Arok?”

“Tentu saja, kangmas.”

“Kapan?”

“Kemarin siang di bale keprajuritan. Kebo Ijo sempat memamerkan senjata baru ini kepadaku. Seorang Mpu dari Lulumbang yang membuatnya.” Ucapku.

Bersama Lembu Wungu dan Gagak Manahun, kami memeriksa sebilah keris yang ditemukan bersama warangka9-nya di bilik Tunggul Ametung. Keris buatan Mpu Gandring yang kugunakan menghabisi nyawa sang akuwu renta itu.

“Tidak salah lagi, berarti penyusup yang membunuh Kangjêng Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo.”

“Siapa lagi kalau bukan dia?”

“Tangkap Kebo Ijo sekarang, Arok!”

Kasinggihan,10 kangmas Lembu Wungu. Akan kubawa Kebo Ijo ke paseban ini. Hidup atau mati!”

Kucabut keris Mpu Gandring dari warangka, lalu kuacungkan tinggi-tinggi. Lembu Wungu dan Gagak Manahun menyipitkan mata, silau oleh kilatan bagaskara yang memantul dari bilah keris.

Kembali kuhaturkan sembah dada kepada kedua punggawa tinggi Tumapel. Sembah palsu yang sesungguhnya menyembunyikan sebuah kemenangan besar bagi seorang pemuda bekas berandal sepertiku.

Kupacu kuda membelah jalanan pakuwon Tumapel, diiringi sepuluh pasukan berkuda. Kami menuju rumah Kebo Ijo, prajurit lugu yang seminggu ini dengan congkaknya memamerkan keris buatan Mpu Gandring yang kutitipkan kepadanya.

“Mintalah ampun atas dosa-dosa kepada bapa dan biyungmu, Kebo Ijo. Sebentar lagi kau akan menjadi tumbal ahangkara Ken Arok berikutnya.” Bisik hati kecilku.

-o0o-

Siang itu adalah penghujung Suklapaksa11 pada mangsa Srawana.12 Gunung Kampud yang berdiri megah, nampak menjulang tinggi ke cakrawala yang cerah. Tiada segumpal awan pun nampak di atas sana. Gunung yang menjadi batas wilayah kekuasaan Tumapel dan Kadhiri itu dahulu menjadi tempat pelarianku, setiap kali membikin keonaran.

Sepuluh ribu tombak ke arah barat daya Kampud, sebuah tempat pemujaan kepada Hyang Acalapat13 menjadi tujuan perjalananku hari itu. Kereta pakuwon Tumapel yang ditarik empat ekor kuda putih, kutumpangi bersama Ken Dedes. Tak butuh waktu lama dari Tumapel untuk mencapai bangunan suci bernama candi Palah.14

Petirtaan yang ada di belakang candi adalah tempat yang pertama kuhampiri, lalu bersuci di sana. Ken Dedes duduk pada sebuah batu berukir di sudut petirtaan. Dua orang cêthi15 bersimpuh di belakangnya. Sepuluh prajurit Tumapel menjaga kereta dan kuda-kuda kami di depan gapura, tak jauh dari dua arca Dwarapala.

“Tinggalkan kami berdua.”

Ken Dedes menoleh kepada dua cêthi yang diajaknya dari Tumapel. Dia mengibaskan tangan sembari menunjuk ke arah gapura candi. Sepertinya, janda Tunggul Ametung yang baru satu mangsa kupinang itu tak ingin pembicaraan kami berdua didengar orang lain.

“Kasinggihan, gusti ayu.”

Dua cêthi menghaturkan sembah, mereka berjalan jongkok mundur tiga langkah, lalu berdiri dan membalikkan badan.

Kini, di belakang bangunan suci pemujaan sang Girindra yang dulu didirikan oleh eyang Bathara Syrengga, penguasa Panjalu, hanya ada aku dan Ken Dedes. Kuraih jemari wanita pemilik wahyu prajna paramitha. Seketika, pipinya kembali merona. Masih seperti warna pipi yang pertama kali kulihat di taman kaputren Tumapel dulu.

“Dari dulu, kecantikanmu tak pernah luntur sedikitpun, nimas.”

“Ah, kangmas. Kenapa aku tak sanggup mendengar ucapanmu?”

“Sungguh, Dewata telah mengirimkan nimas kepadaku, untuk menaklukkan tanah Jawa ini.”

Ken Dedes menyandarkan kepala ke dadaku. Genggaman pada lentik jemarinya pun kian kueratkan. Angin mangsa Srawana dari gunung Kampud menerpa rambut yang belum sempat kugelung sehabis bersuci di petirtaan. Sebagian helainya menerpa pipi Ken Dedes. Pada hembusan berikutnya, rambut panjangnya ganti menerpa wajahku. Memantik nyala api yang kian membara dalam dada.

Aku dan Ken Dedes menatap ke arah gunung Kampud. Sepasang kupu-kupu terbang menari di atas candi Palah.

Tumapel, 1144 Saka.16
(Sri Rajasa Sang Amurwabhumi)17

-o0o-
Catatan:
1) Tumapel = nama tempat, Singosari, Malang, Jawa Timur sekarang; 2) akuwu = petinggi setingkat bupati; 3) Kampud = gunung Kelud, berada di 3 kabupaten di Jawa Timur yaitu Kediri, Blitar, Malang; 4) gebyok = papan berukir yang digunakan sebagai dinding/sekat ruangan; 5) Lulumbang = nama tempat. Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, Jawa Timur sekarang; 6) nimas = adinda; 7) Punten dalem sewu = mohon maaf sebesar-besarnya; 8) kangmas = kakak; 9) warangka = sarung tempat senjata; 10) Kasinggihan = Iya. Biasa dipendekkan Singgih atau Nggih; 11) Suklapaksa = paruh pertama dalam siklus bulan Jawa kuno, setiap bulan dibagi menjadi dua paruh yang masing-masing terdiri 15 hari; 12) mangsa Srawana = bulan pertama pada perhitungan kalender Jawa kuno, sekitar 12 Juli – 11 Agustus; 13) Hyang Acalapat = perwujudan Bathara Syiwa sebagai raja gunung/Girindra; 14) Palah = nama asli candi Penataran, berada di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur; 15) cethi = wanita yang bekerja sebagai pelayan di kedhaton;16) 1144 Saka = 1222 Masehi; 17) Sri Rajasa Sang Amurwabhumi = gelar kebesaran raja Ken Arok.


Asmaradahana atau Asmaradana adalah salah satu jenis tembang Jawa macapat. Berasal dari kata asmara yang artinya cinta dan dahana yang berarti api. Asmaradahana didefinisikan sebagai tembang yang digunakan untuk mengungkapkan hati yang sedang dilanda gelora api cinta.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *