Jumat, 07 Juli 2017

GATOTKACA KRAMA YUDA






Di tengah kegelapan yang mencekat mata, beberapa batang kayu Atiwa-tiwa jasad guru Druna masih menyisakan api. Meski remang, pemandangan pekat nan gulita bisa sedikit tertangkap oleh penglihatan manusia. Sesekali, nyala api meliuk-liuk, tatkala hembusan angin menerpa pesanggrahan Bulupitu. Malam itu, angin hanya bertiup lembut. Membuat nyala perapian tampak tegak ke atas. Menjadikan bayangan yang ditimbulkannya lebih tenang. Ada tujuh bayang-bayang tubuh manusia di sana. Berdiri berkeliling, mengitari api Patra Yajna guru Druna.

Tujuh bayan-bayang itu adalah tubuh Duryudana, Sangkuni, Karna Basusena, Salyapati, Aswatama, Kartamarma dan Resi Krepa. Merekalah punggawa Kurawa yang masih tersisa di hari keempat belas sejak pecahnya pertumpahan darah sesama wangsa Baratha. Perang Baratha Yudha.

“Pengecut!”

Terdengar suara makian, menyergap kesunyian malam. Suara yang keluar dari mulut sosok lelaki bertubuh tinggi besar. Suara yang sontak membuat enam orang lainnya bertanya-tanya, apa maksud si empunya. Sejenak, Bulupitu kembali dibalut beku. Kebekuan yang menggambarkan kesedihan hati tujuh orang yang masih berdiri mengitari abu jasad guru Druna.

Di penghujung senjakala tadi, ketika sang bagaskara nyaris tersungkur di kaki ufuk barat, senopati Kurawa di hari ketiga belas Baratha Yudha, guru Druna, terpenggal kepalanya oleh wiratamtama Pandawa. Drestadyumna tuntas melampiaskan dendam kematian saudara-saudaranya kepada guru Druna.

“Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari kalian!”

Duryudana melanjutkan umpatannya.

“Besarkan hatimu, anak prabu.”

Salyapati, mertua Duryudana, mencoba menenangkan kegalauan sang menantu.

“Kalian telah kehilangan nyali untuk memimpin sisa pasukan Kurawa, hingga seorang guru Druna harus turun sendiri ke Kuru Setra!”

"Guru Druna sendiri yang bersikukuh maju ke palagan, anak prabu."

"Pergilah kalian semua dari perang ini. Aku tidak membutuhkan lagi pengecut-pengecut. Besok pagi, Duryudana yang akan maju ke Kuru Setra menjadi senopati!"

Semua yang berdiri di sekeliling api Atiwa-tiwa memerah mukanya. Umpatan Duryudana terasa membakar wajah, bagai panas api yang baru saja menyempurnakan guru Druna menuju alam keabadian.

"Tidak perlu menunggu besok pagi, rayi prabu. Malam ini juga, aku akan menghabisi seluruh Pandawa. Tanpa sisa!"

Karna Basusena berkata lantang, sembari mengangkat sembah.

Sang adipati dari Awangga itu langsung memacu kudanya meninggalkan Bulupitu. Ratusan bangsa danawa Awangga berjumpalitan mengikuti sang putra sulung Kunti. Diikuti ratusan prajurit Astina.

Malam kian gulita. Arak-arakan pasukan pimpinan Karna Basusena terus bergerak.  Adab perang yang melarang mengangkat senjata setelah surya tenggelam, tak mereka hiraukan. Jiwa mereka sudah terlanjur tersulut amarah dan dendam kematian guru Druna. Dibumbuhi umpatan dan makian Duryudana.

-o0o-

Keheningan di Randuwatang pecah oleh suara derap kaki kuda yang menerobos masuk pesanggrahan tempat beristirahat pasukan Pandawa.

“Musuh datang ... musuh datang!” Teriak prajurit penjaga pesanggrahan, disusul jerit kesakitan dari mulut mereka, ketika ratusan anak panah melesat entah darimana.

Sontak para prajurit yang sedang melepas penat setelah bertarung habis-habisan di Kuru Setra, berlompatan dari peraduan. Namun, belum sempat mereka meraih senjata dan bersiap melawan, ratusan tombak kembali menghujani tubuh mereka.

Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa juga melompat dari peraduan. Tak mau berlama-lama, kelimanya menyambar senjata masing-masing.

“Sungguh, perang di malam hari akan dikutuk para Dewa.”

Sri Bathara Kresna telah berdiri di hadapan para Pandawa.

“Kurawa sudah menggunakan segala cara dalam Baratha Yudha ini, kaka prabu.”

Puntadewa mengangkat sembah.

“Perbuatan yang melanggar adab perang, tidak boleh dilawan dengan kejahatan serupa, rayi Puntadewa.”

“Lantas, apakah mereka harus dibiarkan menghabisi kita malam ini?”

Wrekudara menyela penuturan Sri Bathara Kresna.

“Tentu saja tidak, rayi Wrekudara. Baratha Yudha adalah perang kalian dengan Kurawa. Jika malam ini musuh telah melanggar adab perang, janganlah kalian melawannya. Itu sama saja dengan membawa diri kalian ke dalam kutukan Dewata. Biarlah kesatria di luar perang ini yang menghadapi Kurawa.”

Tersenyum Sri Bathara Kresna, menuturkan alasan kenapa Pandawa harus menahan diri.

“Lalu, siapa kesatria yang harus melawan mereka, kaka prabu?”

“Rayi Wrekudara, panggil kemari putramu Gatotkaca dari Pringgodani. Menghadapi musuh di gelap gulita seperti sekarang, dialah kesatria yang paling mumpuni. Gatotkaca juga tidak pernah turun ke Kuru Setra sejak hari pertama Baratha Yudha. Jika dia yang menghadapi Kurawa malam ini, maka kalian tidak dianggap melanggar adab perang.”

“Baiklah, kupanggil Gatotkaca sekarang!”

Wrekudara, sang kesatria panenggak Pandawa meninggalkan pesanggrahan, lalu menyelinap ke belakang tenda. Sejurus kemudian, dia telah mengambil posisi bersila dalam sikap padmasana. Matanya terpejam, kedua ibu jari menyatu dengan telunjuk, membentuk sebuah lingkaran. Napasnya diatur naik turun dengan sempurna, batinnya segera menyatu dengan keheningan. Terbang ke cakrawala, lalu menyentuh batin sang putra yang berada jauh di Pringgodani. Raden Gatotkaca.

"Ada apa memanggilku, rama?"

Gatotkaca seketika melayangkan pertanyaan, begitu masuk ke pesanggrahan Randuwatang.

"Tugasmu adalah menghadapi Kurawa yang malam ini telah lupa diri. Mereka melanggar adab perang dengan menyerang pesanggrahan Bulupitu, saat matahari telah tenggelam, ngger Gatotkaca."

Suara Sri Bathara Kresna terdengar bergetar. Ada sesosok Dewata yang mengangkat sembah kepadanya. Sosok yang tidak bisa terlihat oleh siapa pun, kecuali dia. Dewata itu terus mengikuti langkah Gatotkaca yang baru saja datang dari Pringgodani.

"Aku pamit, uwa. Aku berperang dulu, rama."

Gatotkaca menghaturkan sembah kepada Sri Bathara Kresna, Wrekudara dan para Pandawa. Kutang Antakusuma telah dia kenakan. Sekejap kemudian, kesatria yang di dalam tubuhnya tertanam warangka pusaka Kunta Wijayandanu itu, terbang ke atas langit malam.

Sri Bathara Kresna memejamkan matanya. Tidak kuasa menyaksikan kejadian itu.

Porak poranda pasukan Kurawa oleh kelebatan bayangan yang menyambar dari cakrawala. Gerakannya seperi seekor burung elang yang menukik tajam, mencengkeram dan mematuk kepala musuh-musuhnya. Tunggang langgang mereka berlari meninggalkan Bulupitu, hingga kocar-kacir di Kuru Setra, padang tempat berperang sesungguhnya.

"Gatotkaca? Bagai kuthuk marani sunduk, kau. Malam ini Kunta Wijayandanu akan bertemu dengan warangkanya," gumam Karna Basusena, melihat prajuritnya roboh satu per satu.

“Ajalmu telah tiba, bocah Pringgodani!

Suara Karna Basusena terdengar menggema di kegelapan Kuru Setra. Melihat uwaknya bukanlah lawan tanding sembarangan, Gatotkaca segera menyelinap di antara mendung.

Karna Basusena terus mendongakkan kepala. Matanya tidak berkedip memandang gugusan awan hitam yang menggelayut di atas Kuru Setra. Penglihatannya mampu menangkap kelebatan seberkas cahaya yang sedang menyembunyikan tubuh.

Pelan-pelan, tangannya mencabut anak panah Kunta Wijayandanu. Dia bentangkan busur lebar-lebar. Mata senjata yang dulu diperoleh dengan merebut dari tangan bathara Narada itu, kini telah menghadap ke atas cakrawala. Dalam sekejap, ia melesat bagai meteor.

Kuru Setra seketika terang benderang!

Lesatan Kunta Wijayandanu memercikkan bara api yang membakar setiap lapisan angin yang dilaluinya. Nyalanya bagai bintang berekor yang menyilaukan mata penglihatnya.

Dari arah lain, melesat pula setitik sinar yang mengejar laju Kunta Wijayandanu. Sinar yang perlahan membentuk bayangan sesosok makhluk danawa. Sukma Kala Bendana, adik Dewi Arimbi, paman dari Gatotkaca, menerobos Sela Matangkep.

Kunta Wijayandanu berhasik diraih dengan kedua tangan Kala Bendana. Namun, kekuatan pusaka Dewata itu tak mampu ditahannya. Tubuhnya ikut melesat menerobos gugusan awan hitam.

"Paman Kala Bendana?"

Terkejut Gatotkaca, ketika dia melihat Kala Bendana terhuyung-huyung menahan sebuah benda di punggungnya.

"Ii ... ii ... iya, Tot. Ii ... ii ... ini pamanmu."

Terbata-bata suara Kala Bendana. Dia tak kuasa menahan haru, bisa bertemu lagi dengan keponakannya. Begitu sayangnya Kala Bendana kepada Gatotkaca, hingga ketika kematiannya tiba, dia bersumpah tidak akan menuju alam keabadian, sebelum menggendong sukma sang keponakan. Dia rela menunggu bertahun-tahun di Sela Matangkep.

"Ada apa paman menemuiku?"

"Tot ... aku tidak tega, Tot"

"Duh, paman. Katakan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Tot ... hari ini Dewata memberitahuku, bahwa Kunta Wijayandanu yang sedang kutahan dengan punggung ini, akan membunuhmu, Tot."

"Jika Dewata telah menggariskan akhir hidupku seperti itu, aku siap, paman. Aku rela mati sebagai tumbal perang saudara ini."

"Melihat engkau sakit saja, aku tidak tega, Tot. Apalagi kalau sampai engkau mati. Aku benar-benar tidak tega, Tot."

Kala Bendana menangis sesenggukan. Bahunya terguncang-guncang seiring isakan yang semakin menjadi-jadi. Tanpa sadar, Kunta Wijayandanu terlepas dari punggung yang sejak tadi menahannya. Pusaka yang dilepaskan Karna Basusena itu seketika melesat kencang.

Pecah dada Gatotkaca oleh hunjaman Kunta Wijayandanu.

"Gatottttttttttkacaaaaaaa ... !!!"

Menjerit sekeras-kerasnya Kala Bendana, melihat sang keponakan berjuang melawan maut.

"Paman Kala Bendana, aku ingin mati bersama musuhku. Lemparkan tubuhku ke bawah, tepat ke Uwa Karna," pinta Gatotkaca.

Dengan air mata yang berderaian, Kala Bendana membopong tubuh Gatotkaca. Dilemparkannya sekuat tenaga ke bawah, tepat ke arah Karna Basusena di Kuru Setra. Namun, sebelum jatuh menimpa, sang Adipati Awangga telah melompat dan menjauh dari keretanya.

Tubuh Gatotkaca menghempas kereta Karna Basusena hingga hancur berkeping-keping. Delapan kuda penarik dan kusirnya ikut tewas dengan tubuh hancur pula.

Sukma Kala Bendana menggendong sukma Gatotkaca. Melayang-layang di atas langit malam Kuru Setra, menuju alam keabadian.






TANCEP KAYON


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Atiwa-tiwa = upacara kematian.
Patra yajna = pembakaran jasad.
Ngger = Nak.
Padmasana = posisi duduk bersila seperti bunga teratai.
Kuthuk marani sunduk = Ikan menghampiri tusuknya. Peribahasa jawa.
Sela Matangkep = gerbang akherat.

4 komentar:

  1. Luar biasa mas Heru menulis kisah ini. Mengingatkan saya ketika masih kecil dulu nonton wayang kulit serial lakon Barata Yudha. Mendebarkan.

    BalasHapus
  2. Kok saya merinding bacanya, yaa?
    Salut dengan Mas Heru. 👏👏👏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya banyak belajar diksi dari tulisan sampean juga, mbak Na.
      Matur suwun.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *