Minggu, 09 Juli 2017

KRT HIROSROJO, ADIPATI PACE PENENTANG VOC



Sepeninggal Sultan Agung Anyakrakusuma, ketika tahta Mataram diduduki Amangkurat I, gejolak ketidakpuasan terjadi dimana-mana. Hal ini dipicu oleh kebijakan raja yang memerintah dengan keras, berseberangan dengan ulama, dan menjalin persekutuan dengan VOC.

Puncak dari mosi tidak percaya itu adalah terjadinya pemberontakan kadipaten-kadipaten Brang Wetan (Madura, Surabaya, Pasuruan, Balitar, Japan, Kediri, Pace, Godean, Berbek, Purabaya/Madiun) yang digerakkan oleh Raden Trunajaya. Adipati Madura ini menyerang besar-besaran ke keraton Mataram hingga Amangkurat I mengungsi di Tegal, meminta perlindungan VOC, disertai putra mahkota Adipati Anom. 

Kekosongan keraton dimanfaatkan putra Amangkurat I yang lain, yaitu Pangeran Puger untuk memproklamirkan diri sebagai penguasa baru. Dia bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa (Pakubuwana I).

Dalam pengungsian, Amangkurat I meninggal. Status tahta diberikan kepada putranya, Adipati Anom yang kemudian bergelar Amangkurat II. 

Terjadi perang saudara antara Pakubuwana I dan Amangkurat II. 

Amangkurat II menyingkir ke Wanakerta (Kartasura). Berkat persekutuan dengan VOC, dia berhasil mengalahkan adiknya, Pakubuwana I. Bahkan, gabungan pasukannya dengan VOC juga memburu Trunajaya yang bermarkas di Kediri.

Ketika itu, kadipaten Pace dipimpin seorang adipati yang tidak pernah surut menentang VOC, Kangjêng Raden Tumênggung Hirosrojo. Pace senantiasa menjadi wilayah yang loyal kepada Trunajaya dalam memerangi penjajah. Bahkan berlanjut hingga masa perjuangan Untung Suropati.

Kangjêng Raden Tumênggung Hirosrojo membawa Pace menjadi kadipaten yang diperhitungkan oleh pasukan gabungan VOC - Amangkurat II. Ia menjadi benteng pertahanan terakhir sebelum Trunajaya di lereng gunung Kelud, Kediri ditumpas.

Setelah masa Palihan Nagari, Kangjêng Raden Tumênggung Hirosrojo mangkat. Jasadnya ditolak penduduk Pace Wetan karena intimidasi VOC. Akhirnya, adipati yang semasa hidupnya konsisten berjuang menentang penjajah itu dikebumikan di Pace Kulon.

Mitologi masyarakat setempat menyebutkan bahwa akibat peristiwa itu, orang-orang desa Pace Wetan terkena sabda bahwa selama tujuh keturunan tidak akan diterima menjadi abdi pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil).

Konon, sabda itu baru putus beberapa dasawarsa ini, setelah generasi ketujuh Pace Wetan lahir.

Kini, orang-orang menyebut makam Kangjêng Raden Tumênggung Hirosrojo sebagai Pasarean Sentono Kacek.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

Foto: 
Koleksi pribadi

Lokasi: 
Sentono Kacek. Desa Pace Kulon, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Sumber: 
Babad Tanah Jawi
Wawancara dengan Mbah Pace, juru kunci Sentono Kacek.

5 komentar:

  1. Mantap bedah sejarahnya. Dulu disekolah kurang dikenalkan hingga detil mengenai sejarah. Tapi berkat tulisan-tulisannya cak Heru, saya mendapatkan yang lebih. Terumakasih Cak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejarah di sekolah memang sangat minim paparannya.
      Terima kasih sudah mampir.

      Hapus
  2. senang banget rasanya baca sejarah yang tidak tertulis dibuku sejarah pelajaran ini mas, masih banyak pahlawan yang dimasa voc tidak tertulis dibuku sejarah. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, mas Fajar. Saya yakin di antara para pahlawan itu, sampai saat ini banyak yang belum terkuak perjuangannya, karena minimnya tulisan.

      Hapus
    2. masih belum terkuak mas, dan hanya menjadi rahasia bisu sejarah :(

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *