Judul:
SABDA PALON (Geger Majapahit)
Penulis: Damar Shashangka
Penerbit: Dolpin
ISBN: 978-979-1701-09-9
Tebal: 458 Halaman
Rangkuman Isi Buku
Jatidiri
Sabda Palon dan Naya Genggong mulai terkuak perlahan-lahan di hadapan Bhre Kêrtabumi.
Meskipun demikian, dua sosok misterius itu masih diselimuti kabut tebal, samar
dan tersembunyi. Itu terjadi setelah Bhre Kêrtabhumi mendatangi beberapa
petilasan suci: Gunung Kawi, Dharmma Badhyut, Gunung Pawitra (Penanggungan
sekarang), dan Gunung Lawu. Di tempat-tempat itu dia melalukan tapa brata
sesuai perintah sosok niskala yang dipercayainya sebagai Resi Agastya, pamomong
Nusantara.
Dalam
perjalanan spiritualnya, Bhre Kêrtabumi mendapat petunjuk bahwa Sabda Palon dan
Naya Genggong sejatinya adalah bekas punggawa besar era Prabu Hayam Wuruk.
Keduanya ikut menghilang dari istana setelah pengunduran diri Patih Gajah Mada,
selepas tragedi Perang Bubat.
Sementara
itu, perkembangan Majapahit semakin tidak menentu setelah Raden Kêrtawijaya dinobatkan
sebagai raja menggantikan Rani Suhita yang telah mangkat. Takhta Tumapêl yang
semula dia duduki dilimpahkan kepada adiknya, Raden Kêrtarajasa. Perseteruan
diam-diam terjadi antara kakak-beradik itu. Kekacauan pun sengaja disebar di
mana-mana. Sebuah kabuyutan (desa kuno) bernama Tidhung Kalati yang ikut
wilayah kekuasaan Tumapêl dibumihanguskan
oleh pasukan tak dikenal.
Puncak
perseteruan antara Raden Kêrtawijaya dan Raden Kêrtarajasa adalah ketika
pemerintah pusat Majapahit mengeluarkan peraturan sepihak dengan menarik pajak tinggi
bagi saudagar-saudagar yang hendak berniaga dari dan ke Tumapêl. Protes Raden Kêrtarajasa
kepada Raden Kêrtawijaya dibalas dengan tantangan perang.
Pada
saat yang sama, Haji Gan Eng Cu, seorang Muslim Tionghoa, perwakilan Dinasti
Ming untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Lasêm dan Adipati Tuban Arya
Adikara wafat hampir bersamaan. Di wilayah yang lain, Sayyid Ali Rahmad (Bong
Swie Hoo, kelak dikenal sebagai Sunan Ampel) dan Sayyid Ali Murtadlo (Raden
Santri), pemuka agama Islam keraton Majapahit, mulai memperluas eksistensi agama
baru dengan memindahkan pesantren dari Banger (Pasuruan, Jawa Timur sekarang) ke
sebuah tempat dekat pelabuhan Ujung Galuh. Ngampeldenta (Ampel, Surabaya
sekarang).
Sementara
itu, istri Tumenggung Wilwatikta, menantu Adipati Arya Adikara juga melahirkan putra
yang kelak bakal menentukan wajah Islam di Nusantara. Raden Santikusuma, alias
Raden Syahid. Kelak dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Masih
dalam waktu yang sama, putra Raden Kêrtawijaya, Bhre Paguhan yang beristri lima
puluh lima wanita, terbunuh secara tragis saat berkunjung ke kota raja.
Pelakunya adalah Arya Bangah dan Arya Gajah Para, dua senopati kebanggaan Bhre Kêrtabumi.
Pemerintahan pusat Majapahit menganggap peristiwa ini sebagai tanda ditabuhnya
genderang perang oleh Tumapêl.
Perang
saudara antar sesama keturunan Raden Wijaya kembali pecah. Pasukan Majapahit
dan negeri-negeri bawahan terpecah menjadi dua kubu. Sebagian tetap setia
kepada Raden Kêrtawijaya, sebagian lagi membelot kepada Raden Kêrtarajasa.
Saling bunuh para ksatria Wilwatikta terjadi di sebuah tempat di dekat perbatasan
Majapahit dan Tumapêl.
Ketika
perang berlangsung, datanglah seorang raja Balidwipa bernama I Tedung yang kebetulan
sedang singgah di istana Majapahit. Bersama seratus pasukannya, dia mengibarkan
bendera warna putih, pertanda duka cita. Seketika kedua kubu yang berseteru
saling menjatuhkan senjata. Raden Kêrtawijaya, raja Majapahit wafat secara
mendadak di keraton. Perang saudara batal dan tidak dilanjutkan.
Ending
ini sekaligus mengakhiri pula perjalanan spiritual Bhre Kêrtabhumi bersama dua
abdi setianya, Sabda Palon dan Naya Genggong. Dalam penjelajahan mata batin di
berbagai petilasan dan pertapaan suci itulah beliau mendapatkan keyakinan bahwa
Resi Agastya yang senantiasa menemuinya dalam dimensi lain (ketika bertapa
brata) adalah sosok yang selama ini setia mendampinginya. Sabda Palon.
Satu
kalimat yang tidak pernah hilang dari benak Bhre Kêrtabhumi adalah ucapan Resi
Agastya bahwa dia melihat matahari sedang pudar sinarnya, tertutup awan hitam,
lalu muncul bulan dan bintang yang bersinar terang di atas langit Majapahit.
Bukan
sekedar ucapan biasa, sosok Resi Agastya yang dia percaya sebagai Sabda Palon
seolah-olah ingin mengatakan, “Surya (matahari) Majapahit akan sirna,
digantikan bulan dan bintang. Ajaran Budha dan Hindu akan tersingkir dari
Majapahit, digantikan agama baru. Islam! Perubahan itu akan dilakukan oleh
keturunan Bhre Kêrtabhumi sendiri, raja pamungkas Majapahit.”
*****
Sabda
Palon (Geger Majapahit) merupakan salah satu dari lima novel sejarah karya
Damar Shashangka yang menampilkan tokoh punakawan (abdi) raja-raja Majapahit.
Sabda Palon sendiri dan Naya Genggong.
Bagi
penganut aliran Kejawen, hingga sekarang
sosok misterius itu (apakah manusia atau jenis makhluk astral) dipercaya masih
hidup, atau menitis ke seseorang.
Salah
satu ramalan Sabda Palon adalah ketika dia meninggalkan Bhre Kêrtabhumi yang memutuskan
menjadi muallaf. Menurutnya, junjungannya akan hancur bersama Majapahit. Ditaklukkan
putranya sendiri dari istri selir seorang Tionghoa bernama Siu Ban Ci. Panembahan
Jimbun (Raden Pattah). Kelak, lima ratus tahun kemudian, Sabda Palon berjanji
akan muncul lagi ketika Nusantara sedang dilanda prahara banyak gunung berapi
meletus. Ditandai dengan maraknya tindak kejahatan oleh para pemangku negeri.
Jika
dihitung, lima ratus tahun sejak runtuhnya Majapahit (abad ke-16) adalah
sekarang ini. Abad ke-21.
0 komentar:
Posting Komentar