prodlog.ru |
Kota Angin, 1992.
Sebungkus
es lilin seketika jatuh dari tanganku. Padahal, minuman seharga seratus
perak itu baru saja tersesap separuh. Lima menit yang lalu, begitu lonceng istirahat berbunyi, puluhan murid harus berdesak impitan di warung Pak Ran, pemilik kantin sekolah, untuk mendapatkannya.
Anang
Krisna, teman karibku yang beda kelas menjadi penyebabnya, “Modar kowè---mampus kamu, puisi yang ada
di bukumu ketahuan Pak Satiyo,” kelakarnya.
“Ciye-ciyeeeee
... ternyata itu gebetanmu ya,” timpal Arofik.
“Jangan
bercanda kamu, Nang,” ujarku mencoba memastikan. Mendadak minuman rasa kacang
hijau yang belum lama kusesap terasa hambar. Bahkan, berubah menjadi pahit di
mulut. Sepotong rondo royal---jajanan
tape goreng yang masih utuh sontak kubuang pula.
“Barusan,
Pak Satiyo membacakan puisi itu di depan kelasku tadi.”
“Enggak
mungkin!”
“Sik-sik---sebentar ... ngombè dhisik bén padhang---minum dulu
biar tenang pikiranmu.”
“Asu!---umpatan khas anak-anak Jawa
seusia kami di SMP dulu---Ini pasti gara-gara Tri Suwarno!” Umpatku. Ya, tadi
pagi-pagi sekali dia meminjam buku tugas Tata Buku. Tujuannya
jelas, ingin mencontek pekerjaan rumah.
Tanpa
mengembalikan lebih dulu kepadaku, bocah bertubuh gendut itu langsung
mengumpulkan kepada Pak Satiyo, guru yang mengajar mata pelajaran Tata Buku di kelas
satu SMP kami. Dahulu, urutan jenjang kelas masih terputus antara Sekolah Dasar
dengan Sekolah Lanjutan.
*****
Hujan
masih kerap mengguyur kota Nganjuk di bulan Agustus. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,
tahun ini musim penghujan tak kunjung juga berganti kemarau. Anomali cuaca, kata guru-guru kami.
Siang
itu, mendadak gerimis turun tanpa didahului mendung. Setengah jam kemudian, air seperti tumpah
dari atas langit. Sangat deras, bercampur dengan kencangnya tiupan angin muson tenggara
yang selalu menghempas kota Nganjuk setiap bulan Juni hingga Oktober.
Menyebabkan sebagian perciknya masuk kelas, menerobos melalui lubang ventilasi. Sebagian membentuk butiran kecil di udara, seperti embun, lalu membasahi
bangku-bangku tempat kami mengais ilmu.
Tampak beberapa teman menggigil. Sepertinya, udara dingin mendekap mereka. Tetapi, tidak bagiku. Justru ruangan kelas terasa panas sekali. Butiran-butiran keringat
bahkan terasa mengalir di dahi dan pelipis. Sebentar lagi, Pak Satiyo pasti akan
memasuki ruang kelas.
“Selamat
siang, anak-anak!”
“Selamat
siang, Pak!”
Aku
tersentak! Tidak ikut menjawab sapaan guru pengajar Tata Buku itu. Pak Satiyo menebarkan
pandangan ke seluruh sudut kelas. Ketika matanya tertuju kepadaku, dada terasa
seperti terkena lesatan panah Pasoepati. Mungkin beginilah rasanya saat
Adipati Karna menerima hunjaman pusaka milik ksatria penengah Pandawa.
Kejadian
itu berlangsung hanya sekian detik. Pak Satiyo langsung duduk di kursinya. Sebuah
buku yang sangat kuhapal warna dan bentuknya, mendadak beliau keluarkan dari tumpukan
buku yang lain.
“Heru,
maju ke depan!” ucap Pak Satiyo. Wajahnya yang mahal senyuman,
terlihat memerah. Selain guru yang dikenal bertipikal keras dan disiplin,
beliau juga ditakuti karena menjabat Wakasek bidang kesiswaan.
Aku
tidak menjawab. Pun dengan teman-teman sekelas. Seisi ruangan hening. Semua bengong, antara takut dan mencoba
menebak-nebak ada apa gerangan?
Dengan
langkah lunglai dan perasaan acak-acakan, aku berjalan ke depan kelas. Berdiri
tepat di hadapan papan tulis.
“Kesini
kamu, baca puisi ini!” perintah Pak satiyo.
Oh
My God!!!
Apa
yang kutakutkan dari tadi terjadi juga. Kaki seperti menancap dan terpatri pada
ubin kelas. Jangankan untuk melangkah ke arah Pak Satiyo, sekedar bergerak pun
tak mampu.
“Ayo
kemari!!! Baca puisi ini!!!” Pak Satiyo mempertegas ucapan sebelumnya.
Tangan beliau mengulurkan sebuah buku yang telah terbuka pada salah satu
halaman.
Tak
ada sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Muka ini terasa memanas. Jika
dipandang dari seisi kelas, mungkin sudah berwarna merah darah! Malu dan takut
berpadu rasa di sana.
“Asu tênan kowè Tri!!!---brengsek benar kamu Tri!!!”
umpatku dalam hati. Di bangkunya, Tri Suwarno terlihat cengengesan
menahan tawa.
“Kamu
tidak mau membacanya?” Untuk kesekian kalinya, Pak Satiyo mencoba mengulangi
perintahnya. Aku tetap diam seribu bahasa. Ketakukan dan rasa malu sudah
berada dalam titik puncak. Butiran bening terasa mengumpul di pelupuk mata.
“Baiklah,
biar saya yang men-deklamasi-kan
puisimu ini,” pungkas beliau. Untuk kali pertama, aku bisa melihat senyuman
yang tersungging dari bibir Pak Satiyo. Meski hanya tipis.
Grrrrrrrrrrrrrrr!
Teman-teman
sekelas tertawa bersama. Aku hanya menunduk, sekuat tenaga menahan butir-butir netra agar tidak mengalir jatuh. Malu sekali tentunya, jika itu
sampai terjadi.
Gang Manggis yang jelita
Terbaring manja di pinggiran kota
Menebar pesona bagi sang kelana
Di kala kota terdekap senja
....................
Begadung, Agustus 1992
Teruntuk temanku, anak gang manggis
“Hahahaha
.... hahahaha ... grrrrrrrrrrr!!!” Suara tawa bergemuruh kembali, terdengar membahana
di ruangan kelas. Seorang gadis kecil berambut panjang tampak menangis sesenggukan
di bangkunya.
Hari
itu, sebelum pulang sekolah, Pak Pri, guru Fisika yang juga wali kelas 1E,
memanggilku ke ruang BP. Disana sudah menunggu Pak Satiyo. Tampak pula Pak
Marqos, guru Bimbingan dan Penyuluhan.
Tanpa
menyuruh aku duduk, Pak Satiyo mengulurkan sebuah buku, dimana pada salah satu
halamannya terdapat puisi pendek yang semalam tercipta, “Ini bukumu, teruslah belajar
menulis yang baik dan benar,” ucap beliau.
“Iya
... pak ... terima ... kasih,” jawabku terbata-bata, serta merta berlari kembali ke kelas,
mengambil tas sekolah, kemudian menyusul teman-teman yang telah
berhamburan ke parkiran sepeda.
Hujan
di bulan agustus kembali mengguyur sekolah kami. Kulepas sepasang sepatu usang,
kaos kaki dan tas kumal, lalu ketiganya masuk ke kantong plastik warna hitam
yang selalu diselipkan simbah---nenek
setiap aku pamit berangkat ke sekolah.
Keesokan
harinya, cakrawala di kota Nganjuk cerah sekali. Garéng pong---jenis hewan serangga yang suka hinggap di ranting pohon, suaranya nyaring saat musim hujan---berkicau tiada henti dari rerimbunan bambu di belakang kelas. Hujan tak lagi turun, mungkin sudah habis ditumpahkan sehari semalam kemarin.
Pak Bambang, guru matematika yang juga pembimbing Majalah Dinding
Sekolah, memanggil aku, lalu menunjuk sebagai tim redaksi.
TAMAT
(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost
Catatan :
Anang
Krisna, saat ini menjadi seorang perwira pertama TNI AL, bertugas di Lantamal
Tanjung Perak Surabaya. Dalam beberapa kesempatan, kami masih sering ketemuan dan
bercengkerama.
Arofik,
kini menjabat sebagai Kepala Dusun di tempat tinggalnya, desa Selorejo,
kecamatan Bagor, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Setiap ada acara kumpul-kumpul teman
alumni, kami senantiasa bertemu.
Tri
Suwarno, biang keladi dari kejadian memalukan itu, sekarang menjadi seorang
sopir truk. Beeberapa kali juga masih sering menghubungiku lewat sosial
media.
Gadis
kecil berambut panjang yang ada dalam cerita di atas, sekarang bekerja di
sebuah Apotik di Nganjuk. Sebulan yang lalu, kami pernah bertemu. Dia sudah
dikarunia dua orang anak sekarang.
Pak
Satiyo, sekarang telah memasuki masa purna. Ketika lebaran Idul Fitri kemarin,
beliau menghadiri acara reuni SMP yang kami selenggarakan. Aku sempat beramah
tamah, tetapi tidak berani mengungkit kejadian memalukan penuh kenangan dahulu.
Gang
Manggis adalah nama sebuah gang kecil di pinggiran kota Nganjuk, Jawa Timur. Sayangnya,
kini telah berganti nama menjadi Jl. Gatot Subroto II.
Puisi aslinya aku sudah lupa. Kembali kutulis ulang penggalannya dengan tidak mengubah isi sajak legendaris itu.
Foto: Pak Satiyo berdiri di tengah-tengah
Mantap tenan mas Heru..
BalasHapusMatur suwun Pak Parto
BalasHapuskerennnn dech...
BalasHapusSuwun Cak
HapusKeren
BalasHapusHehehe ... suwun mbkyu
HapusHahahaha... Cie.. Cieee
BalasHapusOjok banter-banter Lis ...
HapusWkwkwk
ohw...so sweet sekaliiii, mas Heru
BalasHapusMakasih mbk Raida ...
HapusMemalukan kisah ini ... hhhhhh
Kelanjutannya gimana tuh Mas? Penasaran :D
BalasHapusJadian!
HapusHahaha 😂😂😂
Eaaaaa.... Aseeekkk aseeekkk... 😂😂😂
HapusJangan2 muridnya mbk Sas ada juga yg begitu??
HapusHahaha
Wow... apik tenan ceritanya..
BalasHapushehehe ... suwun mbakyu Indri =D
HapusAsyikkk...Pak Heru, bikin aku senyum2 then ketawa ngakak di pagi hari di kursi kerja tercinta wkwkwk...great!!! be continued
BalasHapusHahaha =D
Hapusmalu-maluin :p
Puisinya manis bangeeeetttttt! padahal aku bacanya sambil makan kripik fetucili sama makaroni mercon ... #PedesManisEnak
BalasHapusAduhhh ...
Hapusitu puisi masih culun bangetttt dulu =D
Keren Mas Heru. Wah, siap-siap nih nyiapin bikin tantangan juga. Duh,....
BalasHapusHahaha ... memalukan kejadian ini, mbk Denik.
Hapus