Raden Lesmana Mandrakumara muntah
darah!
Seberkas cahaya melesat keluar melalui
mulutnya. Serta merta membawa sisa-sisa makanan dari dalam lambung. Bercampur
cairan kental berwarna merah. Tubuh Lesmana roboh di dekat sebatang pohon randu
alas.
Putra Mahkota Astina itu baru saja
turun dari puncak gunung Ganggang Warayang, ditemani Begawan Durna dan Patih
Harya Sangkuni. Setelah tujuh hari tujuh malam lamanya bertapa brata di sana,
ambisi dia untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat, anugerah Sang Hyang Jagat Nata
untuk para calon pemimpin negeri terkabul.
Belum jauh mereka meninggalkan
pertapaan, seorang lelaki tua renta yang berjalan sambil memanggul sekantong barang
usang lewat. “Wooey, berhenti kamu!” teriak Lesmana. Yang dipanggil tidak
menoleh sedikitpun. Merasa ada rakyat jelata yang melecehkan dirinya
sebagai putra mahkota Astina, dengan tidak membungkuk hormat, dia langsung
mengejar.
Lesmana menendang lelaki bertubuh
ringkih hingga terjungkal. Tidak berhenti sampai di situ, datang pula Patih Harya Sangkuni ikut melayangkan pukulan bertubi-tubi.
Tanpa merintih sedikitpun, sosok
lelaki tua mendadak berubah menjadi seberkas cahaya, melesat masuk ke
tubuh Lesmana, lalu keluar lagi melalui mulut.
Begawan Durna yang melihat kejadian
itu sadar, Wahyu Cakraningrat yang di dapat Lesmana telah hilang. Lelaki
tua bertubuh ringkih tadi adalah perwujudan dari sang wahyu.
*****
Sementara di puncak gunung Ganggang
Warayang sisi yang lain, Raden Setya Boma, pangeran negeri Dwarawati masih
khusyu’ dalam tapa bratanya.
“Putraku, keinginanmu untuk menjadi
pemimpin negeri telah terwujud. Buka matamu sekarang. Ingat Setya Boma, jangan tergoda
sedikitpun ... jangan tergoda sedikitpun ... jangan tergoda sedikitpun!”
Terdengar suara Dewi Jembawati, ibundanya, dari dimensi lain yang nyaring masuk
ke telinga batin Setya Boma.
Ketika membuka mata, Setya Boma yakin bahwa
dirinya telah mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Dia pun langsung bergegas turun
dari puncak gunung Ganggang Warayang. Pulang ke Dwarawati.
“Hahaha ... sekarang akulah calon
pemimpin negeri pilihan Dewata!” teriak Setya Boma lantang.
Belum jauh langkahnya meninggalkan
tempat bertapa brata tadi, lewat seorang perempuan cantik jelita sembari menuntun
lelaki renta bertubuh ringkih.
“Sembah bhakti kami untukmu, Raden
Setya Boma, calon pemimpin kami,” ucap gadis berkulit kuning langsat dengan
mata bulat. Rambutnya berkibas-kibas diterpa angin.
Seketika putra mahkota Dwarawati
terkesima menatapnya. Kecantikan gadis itu sungguh memikat hatinya. “Dengan
senang hati kuterima sembahmu, dan memang sudah sepatutnya calon pemimpin harus
disembah rakyatnya.” Ucap Setya Boma.
“Kami berdua sengaja menemuimu untuk
mengajukan diri sebagai abdi,” lelaki tua bertubuh ringkih berucap seraya
bersembah dada.
Setya Boma menggelengkan kepala. Dia
tidak mau mengabulkan permohonan si lelaki tua. Hanya si gadis jelita yang dia
terima sebagai abdi, “Engkau akan kumuliakan di istanaku, gadis cantik,”
ucapnya. “Sedangkan engkau bapa tua, tubuhmu sudah renta, tak mungkin sanggup
bekerja untukku. Pulanglah, kembali ke rumahmu!” pungkasnya.
“Baiklah, aku pulang!”
“Aku juga ikut pulang, bapa!”
Dalam sekejap, lenyap tubuh
lelaki tua dan gadis jelita dari hadapan Setya Boma. Dia mencari-cari ke
sekeliling, tetapi tak terlihat sedikitpun jejak keduanya.
“Setya Boma, aku tidak akan menempati
tubuh pemimpin yang suka menghujat. Engkau tidak pantas mengemban Wahyu Cakraningrat!”
terdengar suara tanpa rupa yang membuat Setya Boma menyesal. Ternyata dua sosok
yang ditemuinya tadi adalah perwujudan dari wahyu yang dia buru selama ini.
*****
Raden Angkawijaya tak bergerak
sedikitpun. Dia duduk bersila di atas sebongkah batu lempeng, di sisi lain
puncak gunung Ganggang Warayang.
“Raden Angkawijaya, sudah saatnya lelaku---menjalani tirakat (puasa, mengheningkan) --- ini raden akhiri. Ijinkan aku
menyatu dalam tubuhmu sekarang,” terdengar suara lirih yang berbisik ke telinga
batin Raden Angkawijaya.
Putra Arjuna dan Dewi Sembadra itu
masih belum membuka mata. Ketika sebuah sinar melesat dari cakrawala, lalu
masuk ke tubuhnya, dia baru merasakan sebuah rasa hangat menjalar ke wajahnya.
Seketika, Raden Angkawijaya membuka
mata.
Melihat kejadian itu, segera datang
Kiai Lurah Semar Badranaya, Bagong, Gareng dan Petruk yang telah menunggui tujuh
hari tujuh malam selama Raden Angkawijaya bertapa brata. Mereka bersuka cita,
melihat wajah bendara-nya (majikannya) mengeluarkan sinar terang.
“Wahyu Cakraningrat telah menyatu ke
dalam tubuh ndara Abimanyu,” ucap Kiai Semar. Abimanyu adalah panggilan
akrab Raden Angkawijaya.
Dikawal punakawan, Raden
Angkawijaya turun dari puncak gunung Ganggang Warayang. Mereka menuju ke
Amarta, untuk mengabarkan berita gembira itu kepada Pandawa.
Perebutan Wahyu Cakraningrat oleh
ketiga ksatria, Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Setya Boma dan Raden Angkawijaya
berakhir dengan kemenangan sang putra Arjuna.
*****
Kisah turunnya Wahyu Cakraningrat di atas
adalah refleksi dari Pilkada DKI Jakarta saat ini.
Ada tiga kandidat yang sedang berebut tampuk
pimpinan tertinggi. Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahana Purnama dan
Anis Baswedan. Kursi DKI Jakarta 1 ibarat Wahyu Cakraningrat. Wilayah ibu kota
itu bagai puncak gunung Ganggang Warayang, tempat ketiga ksatria menempa diri.
Raden Lesmana Mandrakumara gagal
karena bertindak arogan terhadap seorang rakyat jelata. Pun demikian dengan Raden
Setya Boma, anugerah yang sudah di depan mata lepas gara-gara tidak bisa
menjaga sikap dan ucapan. Raden Angkawijaya pun mulus memenangkan perebuatan
wahyu.
Dalam
kisah pewayangan, untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidaklah mudah. Banyak syarat
yang harus bisa dipenuhi agar dia bisa manjing---menyatu
atau sejiwa dengan ksatria terpilih.
Adapun
syarat yang harus dipenuhi adalah: bisa memberi teladan yang baik kepada rakyat
(handayani), berpegang teguh pada kejujuran, mampu memberikan rasa tenteram
kepada rakyat, mampu memberi rasa kasih sayang pada rakyat, mempunyai perilaku
amanah, mampu menjaga persatuan dan kesatuan rakyat tanpa memandang latar
belakang suku, agama, ras dan budaya.
Kita
lihat, siapa diantara ketiga kontestan Pilkada DKI 2017 yang akan menjadi
Lesmana Mandarakumara, Setya Boma dan Angkawijaya.
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Bagus, mas... Suka..
BalasHapusSiapapun yang menang, semoga bisa membawa Jakarta lebih baik..
Kita tonton saja... Duduk manis dan diam.. hehhee
Aamiin.
BalasHapusDuduk manis, tapi tetap menulis.
Yang penting obyektif dan tidak provokatif Bang ... hahaha