bundarsatu.com |
Masih
tersisa sesak di dada, ketika Timnas PSSI dibantai 0-10 oleh Bahrain dalam
Kualifikasi AFC Cup dua tahun silam. Sepanjang sejarah, itulah kekalahan
terbesar sekaligus paling memalukan yang pernah dialami Indonesia.
Buah
dari perpecahan di induk organisasi sepakbola tanah air ketika itu. Adanya
dualisme penyelenggara kompetisi (Indonesia
Primer Leageu yang digulirkan PSSI, dan Indonesia Super League
produk dari KPSI) bukan hanya berimbas pada jebloknya kekuatan
skuad Merah Putih, namun juga meninggalkan luka yang amat perih bagi seluruh
insan sejati sepakbola (baca = insan
yang bukan sekedar suporter penggembira)
Ironisnya,
kala itu PSSI yang dianggap organisasi syah di mata FIFA justru ditinggalkan
mayoritas anggotanya di kasta tertinggi kompetisi, lalu menyeberang ke KPSI
yang notabene adalah sempalan PSSI. Imbasnya, klub-klub di KPSI
menolak pemainya dipanggil PSSI untuk berlaga di Kualifikasi AFC Cup. Padahal,
para pemain terbaik negeri ada di KPSI.
Nuansa
politik sangat kental. Berawal dari kepemimpinan PSSI oleh Nurdin Halid,
seorang petinggi “Partai Beringin” yang
tak kunjung menghasilkan satu gelar pun untuk Timnas Garuda, membuat Menpora
Andi A. Mallarangeng (The Golden Boy of “Partai Bintang Mercy Biru”)
mulai usil untuk melengserkan rival politiknya itu.
Digulirkanlah
kongres settingan Menpora di Malang untuk menandingi kongres PSSI demisioner-nya
Nurdin Halid. Inilah yang menjadi cikal bakal terpecahnya PSSI. Terbentuknya
KPSI sebagai tandingan PSSI ketika itu seolah menasbihkan bahwa Politisasi di
Indonesia sudah merambah, mengakar dan beranak pinak di segala segmen kehidupan
bangsa.
Jalan
yang terjal dan berliku liku harus kita tempuh untuk Islah. Berbagai
upaya oleh FIFA dan AFC akhirnya membuat para pecinta sepakbola Indonesia
terharu. Djohar Arifin (Ketum PSSI) dan La Nyalla Mattaliti (Ketum KPSI)
berjabat tangan dan berangkulan, sekaligus mengakhiri dualisme Induk Organisasi
Sepakbola Indonesia.
Babak
baru sepakbola Indonesia telah dimulai. Hanya berselang kurang dari setahun
berakhirnya masa kelam sepakbola tanah air, Timnas Garuda Jaya U-19 mengobati
rasa sakit seluruh rakyat Indonesia, yang sebelumnya sudah rindu akan gelar
selama penantian 22 tahun. Indonesia berhasil menjadi juara AFF Cup U-19!!!
Tetapi,
seolah tidak berkaca dengan perjalanan sejarah bangsa, kini nasib sepakbola
kita kembali di ujung tanduk. Politik is politik, tetap kotor, bengis,
licik, curang dan terkadang tidak kenal prinsip mengutamakan kepentingan rakyat
(baca = pecinta sepakbola ), apalagi
kepentingan bangsa.
Saat
Pak Jokowi memutuskan memilih Cak Imam Nahrowi (Sekjen Partai Kebangkitan
Bangsa) sebagai Menpora beberapa bulan silam, saya sudah pasrah. Pos
Kementerian Olah Raga terkesan senantiasa menjadi jatah bagi parpol pendukung
Presiden terpilih.
Kini,
Tim 9 telah terbentuk oleh Menpora untuk mengevaluasi, mengaudit (jika
tidak mau disebut intervensi ) dan membedah berbagai persoalan yang ada
di PSSI. Mulai dari pemasukan dana, anggaran belanja hingga pertanggung jawaban
terhadap prestasi Timnas PSSI.
Tim
yang diisi oleh para professional olah raga, mantan anggota Polri, mantan
pemain, dan pengamat sepakbola ini seolah tak gentar dengan Psy War PSSI
bahwa Menpora hanya mencari sensasi dan hendak membunuh-dirikan Sepakbola
Indonesia dengan intervensi-nya. Seperti yang kita ketahui, regulasi FIFA
melarang pemerintah melakukan intervensi kepada induk organisasi
sepakbola sebuah negara. Sanksinya adalah Banned ke Timnas.
Tindakan
Menpora membentuk Tim 9 di-cap sebagai provokasi dan menghembuskan suasana
inkondusif yang justru akan memecah belah lagi sepakbola Indonesia
yang sudah susah payah di Islah-kan oleh FIFA dan AFC.
Seolah
menyiapkan tameng, hariini terbentuk pula Komite Ad Hoc PSSI. Tak mau
kalah dengan Tim 9 bentukan Menpora, Komite Ad Hoc PSSI juga diisi oleh para
professional olah raga, mantan anggota Polri, mantan pemain, dan pengamat
sepakbola.
Mendadak
rasa sesak yang dulu pernah saya rasakan beberapa tahun silam kembali menghimpit
dada saya. Kengerian apalagi yang akan mencabik-cabik sepakbola kita?
Beginilah
kalau Olahraga sudah dikotori oleh politik. Semangat Fair Play akan
tertutup oleh sebuah kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
Semoga
ini hanya kekhawatiran saya.
Ah
Indonesiaku ... tanah airku ...tumpah darahku.
Surabaya,
06 Januari 2015
(Heru
Sang Mahadewa)
#SepakbolaIndonesiaMenangis
Mumet aku nek mbahas ngenekkan
BalasHapus