logo Persebaya - jaringnews.com |
Hari
minggu 8 Januari 2017 besok, pengurus baru Persatuan Sepakbola Seluruh
Indonesia (PSSI) untuk pertama kalinya akan melakukan kongres tahunan. Kota
Bandung menjadi tempat yang dipilih sebagai tuan rumah.
Tiga
agenda utama akan menjadi pembahasan organisasi yang kini dipimpin Jendral TNI
Edi Rahmayadi (Pangkostrad). Pertama adalah penentuan nasib tujuh klub yang
sedang bermasalah statusnya. Kedua, penetapan pelatih timnas. Terakhir,
penetapan tata kelola kompetisi musim 2017.
Agenda
paling menarik perhatian masyarakat Indonesia, termasuk saya, adalah yang
pertama. Bukan hanya karena tema ini akan menjadi kunci perjalanan sepakbola nasional
ke depan, tetapi juga salah satu klub favorit saya, Persebaya 1927, masuk dalam
daftar nama klub yang akan ditentukan nasibnya.
Selama
empat tahun sejak kehilangan eksistensinya, berbagai upaya Persebaya 1927 untuk
menuntut pengembalian haknya selalu nihil. Banyak yang menganggap pengurus PSSI
senantiasa berbuat zolim terhadap Bajul Ijo (julukan Persebaya).
Belajar
dari perjuangan yang tak kunjung berhasil tersebut, inilah lima point penting
yang seharusnya dilakukan Persebaya 1927 untuk mendapatkan kembali haknya:
Point pertama, menjadi tamu yang baik.
Mulai
jumat tadi malam, 6 Januari 2017, diperkirakan ribuan Bonek mulai tiba kota
Bandung. Menurut informasi dari berbagai media, arek-arek Bonek telah memasuki kota
Kembang melalui berbagai titik.
Jangan
lupa, selama berada di Bandung, arek-arek adalah tamu. Seorang tamu yang baik
adalah tamu yang bisa menempatkan diri dalam konteks menjaga perilaku dan sikap.
Sangat tidak etis jika seorang tamu kemudian melakukan tindakan yang tidak
sopan, kurang santun, dan tidak mengenal unggah-ungguh---tata
krama sehingga menyinggung perasaan tuan rumah. Meski mereka adalah saudara
sendiri. Dalam hal ini, mereka adalah masyarakat kota Bandung dan sekitarnya.
Meskipun hubungan antara Bonek dan Viking (suporter Persib Bandung) sangat harmonis,
sudah seperti saudara sendiri.
Bersikaplah
yang sopan. Hormati masyarakat kota Bandung sebagai pihak yang sedang kita sowani---kunjungi. Jangan meninggalkan
kesan bahwa kita adalah tamu yang tidak punya etika.
Point kedua, jangan rasis dan anarkis.
Tujuan
arek-arek Bonek ke Bandung adalah melanjutkan perjuangan menuntut hak Persebaya
1927 untuk bisa kembali berkompetisi di kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Jangan sampai perjuangan ini ternodai oleh aksi kurang simpati, yang justru akan
menjadi batu sandungan bagi Persebaya 1927 sendiri.
Setiap
kali saya blusukan kota Surabaya, hampir di setiap sudut gang di kota Buaya itu
bertebaran spanduk, poster dan baliho yang berisi tuntutan kepada PSSI agar hak
Persebaya 1927 dikembalikan. Sayangnya, tidak sedikit kalimat yang tercetak
bernuansa (maaf) hujatan, hinaan, bahkan menebar aroma permusuhan kepada induk
organisasi sepakbola Indonesia (PSSI).
Nah,
selama kita berjuang ke Bandung, janganlah menunjukkan spanduk dan poster yang kurang
bersahabat itu. Ingat, nasib beberapa klub dengan status bermasalah, salah
satunya adalah Persebaya 1927, akan menjadi pembahasan utama dalam kongres
tahunan PSSI.
Mustahil
mereka akan bersimpati, mengabulkan tuntutan arek-arek Bonek, jika yang diusung
adalah spanduk dan poster bernuansa hujatan dan menantang perang PSSI.
Setidaknya,
arek-arek Bonek harus bisa menahan diri untuk tidak berbuat rasis meski melalui
tulisan. Apalagi melakukan tindakan anarkis. Jangan!
Point ketiga, rangkul para voters.
Terlepas
dari kontroversi masih terdaftarnya nama Persebaya dalam pemilik hak suara di
kongres PSSI, meski besar kemungkinan posisi itu diberikan kepada kubu Pak Gede
(Surabaya Bhayangkara United FC), nasib Persebaya 1927 tetap berada di
keputusan para voters.
Jika
lima puluh persen lebih satu suara voters nanti menghendaki Persebaya 1927 kembali
ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia, terwujudlah apa yang selama
bertahun-tahun ini diperjuangkan arek-arek Surabaya.
Sebaliknya,
jika dukungan kepada Persebaya 1927 hanya separuh atau bahkan kurang dari total
pemilik hak suara dalam kongres ini, maka bisa dipastikan bahwa untuk kesekian
kalinya arek-arek Surabaya akan kecewa lagi. Harus menunggu kongres tahun
selanjutnya.
Maka,
menjadi suatu keharusan bagi Persebaya 1927 untuk bisa merangkul para voters.
Suka atau tidak suka, merekalah yang kali ini akan besar andilnya dalam
mengambil keputusan terhadap nasib klub-klub yang statusnya bermasalah (jika
tidak mau disebut terzolimi).
Point keempat, butuh diplomat ulung.
Sebuah
perjuangan yang hanya mengandalkan kekuatan (pengerahan massa, suporter) tanpa
ditopang upaya diplomasi, sama saja
dengan omong kosong. Begitu pula sebaliknya, upaya diplomasi tanpa dukungan
suporter pun akan mustahil tercapai.
Kongres
Luar Biasa PSSI dua bulan silam menjadi pelajaran berharga, upaya Persebaya
1927 untuk menuntut haknya pupus karena tidak adanya upaya diplomasi jauh hari
sebelumnya. Alhasil, ketika kongres berlangsung, tuntutan arek-arek Surabaya tidak
dibahas sedikitpun.
Saat
ini, Persebaya 1927 butuh sosok diplomat ulung. Figur yang memiliki kemampuan
untuk melakukan lobi-lobi kepada voters, pengurus, anggota exco, Ketum PSSI,
atau bahkan pemerintah.
Melalui
orang yang dianggap capable dalam hal
negosiasi inilah, perjuangan melalui jalur perundingan akan turut mempercepat
tercapainya misi perjuangan arek-arek Surabaya.
Point kelima, bersihkan kepengurusan klub
dari orang-orang berlatar belakang politik.
Sejarah
mencatat, Persebaya di masa silam pernah menorehkan catatan prestasi dengan
tinta emas ketika dipimpin oleh sosok yang bersih dari unsur partai politik.
Almarhum
Cak Narto Sumoprawiro dan Pak Purnomo Kasidi (keduanya Walikota Surabaya di
masanya) adalah orang-orang yang berhasil membawa Persebaya ke jalur prestasi.
Beliau-beliau merupakan figur yang berasal dari pemerintah. Bukan kader sebuah
organisasi massa dan partai politik.
Sekedar
flashback ke peristiwa beberapa tahun
silam, badai yang menerpa Persebaya 1927 hingga berbuntut lepasnya hak
keikutsertaan di kompetisi tertinggi sepakbola nasional adalah ketika klub
kebanggaan warga Surabaya ini dipegang oleh Pak Saleh Ismail Mukadar.
Tanpa
bermaksud mengecilkan peran Pak Saleh Ismail Mukadar, seorang figur yang
memiliki konsep dan pemikiran bagus dalam memajukan Persebaya 1927, tampilnya
beliau yang memiliki latar belakang politik akhirnya memancing serangan dari
rival-rival politiknya juga.
Iya,
begitulah politik. Terkadang lebih mengedepankan arogansi, mengutamakan
kepentingan kelompoknya, ketimbang menjunjung tinggi sportivitas dan semangat fair play.
Ada
ataupun tidak ada kongres tahunan PSSI, sudah saatnya Persebaya 1927 kini
dikelola dan dipimpin oleh figur yang bersih dari organisasi massa dan partai
politik.
Saya
yakin, masih banyak sosok ber-dedikasi
tinggi dengan kemampuan mumpuni di kota Surabaya, yang bisa melakukan reformasi
total manajemen klub. Mulai dari solusi terhadap sulitnya mendapatkan pasokan
dana (sponsorship), hingga tata
kelola sistem perekrutan pengurus, pelatih dan pemain yang tepat. Bahkan juga fungsi
koordinasi (menjaga stabilitas hubungan) dengan klub lain, PSSI serta
pemerintah.
Begitulah
lima point penting yang seharusnya dilakukan oleh Persebaya 1927. Mungkin
sedikit terlambat, tapi masih lebih baik, ketimbang tidak dievaluasi sama
sekali.
Selamat
berjuang arek-arek Bonek.
Salam
satu nyali ... wani!
(Heru
Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost
0 komentar:
Posting Komentar