“Asu kau, Arok!”
Kebo Ijo memaki-maki.
Tubuh kekarnya diseret menuju balai-balai yang terbuat dari bilah bambu. Kedua
tangannya berusaha berontak, tetapi lelaki muda yang sehari-hari menjadi pengawal
akuwu Tumapel itu tak mampu melepaskan diri dari ikatan. Senyum kemenangan
kulemparkan ke arahnya. Malam itu, setelah Tunggul Ametung terbunuh, Kebo Ijo
menjadi orang yang paling pantas untuk dicap sebagai pelaku.
Tujuh malam sebelum
kenekadanku menghabisi suami Ken Dedes, keris buatan Mpu Gandring berpindah ke tangan
Kebo Ijo. Dia takjub oleh senjata itu, ketika kami berdua sedang berjaga di
puri pakuwon.
“Ya Jagad Dewa Nata, sungguh luar biasa
pamor kerismu, Arok!”
“Kau boleh
meminjamnya, Kebo Ijo.”
“Benarkah?”
“Bawalah selama beberapa
hari. Kau juga boleh mengakui di depan seluruh prajurit dan punggawa
Tumapel bahwa keris ini adalah milikmu. Nanti, pada waktunya, aku akan
mengambilnya darimu.”
Dasar
kerbau dungu, batinku saat itu. Kebo Ijo dengan
pongahnya menenteng-nenteng keris Mpu Gandring kemanapun dia pergi. Bagai seekor celeng yang telah masuk
perangkap, dengan sekali pelintiran jari tangan, kau akan menjadi tumbal
rencana besarku, Kebo Ijo.
Tepat tujuh malam
setelah aku meminjamkan keris kepada Kebo Ijo, sebuah rencana besar telah
kumulai.
“Apakah kau sudah
siap, Kebo Ijo?”
“Asu!”
“Pejamkan matamu,
agar tidak silau dengan keris ini.”
“Hyang Manikmaya akan
mengutuk perbuatanmu, Arok!”
Suara Kebo Ijo
terdengar serak. Menyergap kekelaman malam berdarah di Tumapel. Suara yang
keluar dari lelaki muda yang kini semakin tak berdaya di atas balai-balai.
Suara yang membuat dadaku seperti tersengat bara api. Kudekatkan wajah ke telinganya.
“Buka matamu
lebar-lebar, Kebo Ijo. Hyang Manikmaya adalah penguasa semesta alam. Dia tiada
lain adalah Bathara Syiwa. Malam ini, dia menginginkan caru berupa darah dan dagingmu. Dengan kematianmu, maka Hyang
Manikmaya melalui sosok pengejawantahannya di arcapada akan memiliki kuasa besar atas tanah Jawa. Lihatlah, siapa
yang sekarang ada di hadapanmu!” bisikku, sembari menghunus keris Mpu Gandring.
“Jagad Dewa Bathara
... Hyang Manikmaya!”
Kebo Ibo
membelalakkan mata. Mendadak tubuhnya bergetar, seperti tidak percaya ketika
menatapku. Hanya sesaat, sekedipan mata berikutnya dia telah terpejam.
Kepalanya lantas menunduk. Disusul teriakan Lembu Wungu, lurah wiratamtama
Tumapel yang memerintahkan aku agar segera melakukan tugas untuk menghabisi
prajurit malang itu. Tanpa ragu-ragu, kuacungkan keris Mpu Gandring, lalu
menusukkannya ke dada Kebo Ijo! Terdengar dia menjerit kesakitan ketika bilahan
keris yang telanjang mengoyak dadanya! Darah meleleh keluar dari luka yang
menganga. Setelah itu, Kebo Ijo tidak bergerak lagi.
Upacara penghukuman
mati telah selesai. Aku berjalan meninggalkan halaman wandapa Tumapel.
Membiarkan orang-orang yang nampak sibuk menurunkan tubuh tak bernyawa Kebo Ijo
dari atas balai-balai.
-o0o-
Malam ini adalah
malam radithe jênar pada penghujung wuku Watugunung. Langit di atas candi Palah nampak gelap gulita. Tiada gemintang yang menampakkan cahanya walau hanya
sekerlip. Rembulan benar-benar telah memasuki titik akhir masa edarnya. Malam
yang dianjurkan kepada para kesatria untuk melakukan lelaku batin di pamujan.
Setelah bersuci di
petirtaan, kubiarkan Ken Dedes dan para cethi beserta prajurit Tumapel menunggu
di pesanggrahan yang tadi siang didirikan di wentar. Bayangan peristiwa demi peristiwa di pakuwon Tumapel
kembali berlintasan di benak, ketika aku mulai memasuki ruang pamujan candi
Palah.
Langkahku terhenti di sudut garbhagriha Palah.
Sejurus kemudian, aku segera mengambil duduk dalam sikap padmasana. Perlahan-lahan
mata ini terpejam, lalu telapak tangan membentuk amustikarana. Ruang pamujan terasa semakin hening, seiring hembusan
napas yang keluar masuk melalui hidung.
Dalam keheningan yang
melebur bersama warna alam semesta, aku merasa sedang diapit oleh dinding-dinding
yang terbuat dari kaca bênggala. Nampak
ada dua sosok bayangan di sana.
“Apa yang telah kau
lakukan, Arok?”
“Siapa kau?”
“Aku adalah Ken
Arok.”
“Tidak mungkin. Ken Arok
hanya ada satu. Dialah aku!”
“Engkau telah
dikuasai nafsu duniawi. Hatimu tertutup oleh cinta dan kekuasaan. Kau bunuh Mpu
Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo. Lalu, kini engkau mengais Ken Dedes dari
mendiang akuwu Tumapel.”
Sosok bayangan yang
mengaku bernama Ken Arok itu tersenyum. Matanya tiada berkedip menatapku.
Wajahnya nampak lebih bersih dibanding bayanganku kala berada di kaca benggala.
“Jangan dengarkan
ucapannya, Arok!”
Terdengar teriakan
dari arah lain. Aku semakin bingung dengan penglihatan yang ada di dua sisi
pamujan candi Palah. Sosok kedua yang baru saja berucap, juga tiada beda dengan
bayanganku kala berdiri di depan kaca benggala. Iya, mereka berdua adalah diriku.
“Kau ... siapa pula
engkau?”
“Aku adalah Ken
Arok!”
“Tidak ... tidak
mungkin!”
“Dewata telah
menggariskan bahwa takdirmu adalah menjadi penguasa atas bumi Jawa. Kematian
Mpu Gandring, Tunggul Ametung dan Kebo Ijo tidak bisa lepas dari takdirmu untuk
menggenggam kekuasaan itu sendiri. Jangan mundur, Arok!”
“Jangan dengarkan
ucapannya, Arok. Dia akan menjerumuskanmu ke dalam nafsu angkara!”
“Jangan hiraukan dia,
Arok. Teruskan ambisimu untuk menguasai Jawa Dwipa!”
Suara kedua sosok
bayangan itu terus bersahut-sahutan. Kututup dua telinga dengan telapak tangan. Hingga suara keluruk ayam hutan yang terdengar dari gunung Kampud akhirnya membuyarkan
tapa brataku.
Ketika aku membuka mata,
nampak cahaya kemerah-merahan telah menerobos masuk ke garbhagriha melalui
lekuk-lekuk pahatan candi Palah. Rupanya fajar telah hilang ditelan pagi. Perlahan
aku berdiri, lalu melangkah meninggalkan ruang pamujan. Lima puluh tombak
menuruni undakan garbhagriha, terlihat Ken Dedes, para cethi dan seluruh prajurit
Tumapel bergegas setengah berlari, menuju posisiku berdiri saat ini.
Empat cethi dan dua
puluh prajurit buru-buru duduk bersimpuh. Serempak mereka melakukan sembah
dada. Kuangkat telapak tangan kanan, tanda bahwa bhakti dan kesetiaan mereka
diterima.
Ken Dedes ikut
menghaturkan sembah, lalu mencium tanganku. Sejurus kemudian, wanita pemilik wahyu prajna paramitha itu kembali
bergelayut manja di lenganku. Sang bagaskara menyembul dari balik gunung
Kampud. Sepasang kupu-kupu kembali terbang, menari-nari di gerbang candi Palah.
-o0o-
Tumapel, 1144 Saka Warsa.
Kulempar sebuah
bumbungan berisi lembaran rontal yang
dikirim oleh Dandang Gendhis, penguasa Kadiri melalui seorang senopatinya,
Gubar Baleman.
“Dandang Gendhis
mengangkat dirinya sebagai sesembahan orang-orang Syiwa dan Sogata. Dia juga
menginginkan Tumapel mengakui itu!”
Aku berhenti sejenak.
Kulirik satu per satu punggawa Tumapel yang berkumpul di wandapa siang itu. Semua
nampak menunduk, menunggu kata-kata yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Bagaimana menurutmu,
Kakang Lembu Wungu?”
Lurah Wiratamtama
Tumapel itu mengangkat sembah.
“Puntên dalêm sewu, Yayi. Menurut pandangan hamba, sinuwun Dandang
Gendhis di Kadiri tidak patut menginginkan dirinya untuk disembah dalam lelaku
batin pemuja Syiwa dan Sogata. Jika sesembahan yang dimaksud hanya sebagai
bhakti kawula kepada sang nata Daha, boleh-boleh saja. Tetapi jika melebihi
itu, tentu harus dilawan.”
“Dandang Gendhis juga
mengatakan bahwa dia hanya bisa dikalahkan oleh Bathara Syiwa. Lantas, apa
pendapatmu, paman Gagak Manahun?”
“Singgih, Yayi. Puntên dalêm sewu. Jika itu yang diucapkan sinuwun
nata di Daha, semoga Hyang Manikmaya, Sang Bathara Guru segera turun ke
arcapada untuk menghukumnya.”
Gubar Baleman, utusan
dari kotaraja Daha, Kadiri, membetulkan tempat duduknya. Nampak tangannya juga
menggeser letak keris dari belakang punggung ke samping pinggang. Senopati kebanggaan Dandang
Gendhis itu tentu sudah menangkap gelagat bahwa para punggawa Tumapel serempak
menentang isi rontal yang dibawanya.
“Paman Penggih!”
“Singgih, Kangjêng.”
“Tuliskan ucapanku
ini sebagai balasan atas rontal Dandang Gendhis!”
“Sendika, Kangjêng.”
Kawirajya
Tumapel itu dengan cekatan mengeluarkan selembar rontal kosong dari balik
buntalan kain. Sebatang kalam juga telah dipegang di tangan kanannya. Selain
memiliki guratan aksara yang indah, Mpu Penggih juga sudah berpengalaman menjadi juru tulis
pakuwon semenjak Tunggul Ametung masih hidup.
“Sinuwun Dandang Gendhis di Daha, mugi sarwa hayu. Selama masih
ada Ken Arok di bumi Tumapel, tak ada seorangpun yang berhak mengatur wilayah
bekas Jenggala ini. Apalagi menyuruhnya untuk tunduk. Jika sinuwun tetap
berkeinginan untuk disembah sebagai dewata, maka kucuran darah orang-orang
Kadiri yang menjadi tebusannya!”
Tangan Mpu Penggih
nampak gemetar menorehkan kalimat terakhir dari ucapanku.
“Tuliskan namaku
sebagai Ken Arok, sang titisan Hyang Manikmaya ya Sang Bathara Guru!”
“Singgih, Kangjêng.”
Selesai mengguratkan
aksara di atas rontal, Mpu Penggih buru-buru mengulurkan kepadaku. Beberapa
saat, kucermati kalimat demi kalimat yang telah ditulis sang kawirajya Tumapel
itu. Tidak butuh waktu lama, rontal kukembalikan kepadanya.
“Serahkan ini kepada
junjunganmu, Gubar Baleman!”
“Sendika.”
Utusan Daha hanya
menjawab sepatah kata, dengan cepat, tangannya menyambar gulungan rontal yang
telah dimasukkan ke dalam bumbungan bambu oleh Mpu Penggih. Senopati Kadiri itu
bahkan tidak menghaturkan sembah kepadaku. Dia langsung berdiri lalu
meninggalkan wandapa Tumapel.
“Berhenti kau,
senopati tidak tahu tata krama!”
Lurah wiratamtama
Lembu Wungu sontak berdiri dan nyaris mengejar Gubar Baleman. Buru-buru
kuangkat tangan kanan tinggi-tinggi sebagai larangan kepadanya.
“Biarkan saja, Kakang
Lembu Wungu. Dialah orang Daha pertama yang akan kupenggal kepalanya saat
Tumapel berhadapan dengan Kadiri nanti!”
“Singgih, Yayi.
Puntên dalêm sewu.”
Lembu Wungu melakukan sembah.
“Siapkan pasukan
Tumapel. Satu atau dua hari lagi, pasti Dandang Gendhis akan mengerahkan
pasukan Kadiri. Kita cegat mereka di Ganter. Ken Arok sendiri yang akan menumpahkan darah orang-orang Daha!”
Aku berdiri sambil mencabut keris Mpu Gandring dari warangkanya, lalu kuacungkan
tinggi-tinggi.
Seluruh orang yang
menghadap di wandapa Tumapel menghaturkan sembah. Tangan mereka gemetar
oleh sesumbarku.
(Heru
Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post
Catatan:
Asu = anjing, bahasa Jawa.
Jagad Dewa Nata = Tuhan pengatur
semesta
Caru = korban yang dijadikan persembahan
Caru = korban yang dijadikan persembahan
Arcapada = dunia
Radithe jênar = minggu pahing
Wuku Watugunung = perhitungan Wuku yang ke-30. Wuku adalah perhitungan hari Jawa, dimana satu
hari Wuku sama dengan tujuh hari Masehi. Ada tiga puluh hari Wuku, sehingga
memerlukan 210 hari Masehi untuk menyelesaikan siklus 30 hari Wuku.
Palah = nama asli dari candi Penataran. Berada di desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur sekarang.
Pamujan
= tempat beribadah/pemujaan, bahasa Jawa
Wentar
= halaman
Garbhagriha
= ruang utama pada bangunan candi
Amustikarana
= sikap saat tangan kanan mengepal dibungkus oleh tangan kiri yang
masing-masing ibu jarinya bertemu dan ujung-ujungnya mengarah ke atas yang
kemudian ditempatkan di depan hulu hati
Kaca
bênggala = cermin
Kampud = gunung Kelud, berada di 3 kabupaten; Kediri, Malang dan Blitar, Jawa Timur
Kampud = gunung Kelud, berada di 3 kabupaten; Kediri, Malang dan Blitar, Jawa Timur
Tumapel
= daerah Singosari, Malang, Jawa Timur sekarang
1144
Saka Warsa = sekitar tahun 1222 Masehi
Wahyu
prajna paramitha = anugerah Dewata kepada seorang wanita, berupa kecantikan
Daha = ibu kota Panjalu/Kadiri, sekitar daerah Kediri hingga Pare, Jawa Timur sekarang
Daha = ibu kota Panjalu/Kadiri, sekitar daerah Kediri hingga Pare, Jawa Timur sekarang
Punten
dalem sewu = mohon beribu maaf, bahasa Jawa
Yayi = Dik, Adinda, bahasa Jawa
Yayi = Dik, Adinda, bahasa Jawa
Singgih
= Iya, biasa dipendekkan Nggih, bahasa Jawa
Kawirajya
= juru tulis
Mugi
sarwa hayu = semoga selalu sejahtera, bahasa Jawa
Rontal
= daun tal (siwalan)
Ganter
= daerah Dusun Ganten, Desa Tulungrejo, Kecamatan Ngantang, Malang, Jawa Timur
sekarang
Ken Arok (Ken
Angrok) mengklaim dirinya sebagai titisan dari Bathara Syiwa atau Sang Hyang
Manikmaya. Dewata ini disebut juga dengan nama Sang
Mahadewa. Orang-orang di masanya, bahkan mempercayai bahwa pendiri
Singasari itu juga titisan dari Brahma dan Wisnu, sehingga keseluruhan ada tiga
dewa yang menyatu ke dalam tubuhnya. Ken Arok pun dianggap sebagai pengemban wahyu trimurti (anugerah dari tiga
dewa).
Kisah ini adalah interpretasi dari Sêrat
Pararaton (kitab raja-raja Tumapel Majapahit), terinspirasi dari gaya
tulisan Damar Shasangka, penulis serial novel sejarah: Sabda Palon. Juga
mengadopsi gaya menulis Kang Makinuddin Samin, penulis novel sejarah: Ahangkara,
Sengketa Kekuasaan dan Agama.
Mantap sungguh. Desa Ganter akan jadi saksi keperkasaan Sang Maha Dewa! Kadiri akan segera lumat!
BalasHapuswehehehe ...
Hapusmatur suwun sudah mampir, Kang.
ada kelanjutannya lagi kah mas?
BalasHapus