8strack.com |
Seorang penulis, mulai
kelas akun media sosial, blog, web hingga profesional (baca: penulis yang telah
menelurkan banyak buku best seller)
tentu pernah mengalami kebuntuan ide, imajinasi dan semangat. Fase ini dikenal
sebagai Writer’s Block. Sebuah
kondisi ketika seorang penulis tidak bisa mengguratkan aksara demi aksara.
Ketika mengalami writer’s
block, biasanya mereka akan berhenti menulis. Bisa berlangsung seminggu,
sebulan, bahkan tahunan.
Apa penyebab writer’s block?
Ada dua faktor yang
mengakibatkan seorang penulis mengalami writer’s block, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah
penyebab yang datang dari dalam diri penulis itu sendiri. Rasa malas, kebiasaan
menunda eksekusi terhadap sebuah ide, juga sebuah kejadian di luar kepenulisan
(baca: masalah pribadi, keluarga, pekerjaan dalam kategori berat) yang menimpa kehidupan
penulis adalah beberapa contoh penyebab internal.
Sedangkan faktor
eksternal, adalah penyebab terjadinya writer’s block yang berasal dari publik. Karya
seorang penulis yang dianggap kontroversi, biasanya akan mendapatkan respon
negativ dari pembaca. Hujatan, cemoohan bahkan bully yang berlebihan, terkadang
bisa menjadikan seorang penulis akan berhenti menulis. Bisa sesaat, sedang,
atau bahkan berlangsung lama.
Untuk penyebab kedua
ini, saya mengambil contoh kasus seorang penulis profesional bernama Damar
Shasangka (Anton Maharani). Pengarang novel sejarah serial Sabda Palon ini
dalam sebuah diskusi sejarah di Magelang, Jawa Tengah, mendapat sanggahan (jika
tidak boleh disebut bully) dari banyak sejarawan karena keberaniannya
menampilkan seorang tokoh China bernama Nyo Lai Wa sebagai raja Majapahit di
masa-masa keruntuhannya. Tidak berhenti di situ, Damar Shasangka juga didebat
(jika tidak etis dikatakan dihujat) atas kenekadannya menuturkan ulang Serat
Darmogandul, sebuah karya sastra kuno penuh kontroversi.
Diakui atau tidak,
sejak kejadian itu, serial novel Sabda Palon yang sudah terbit hingga jilid
kelima, mendadak berhenti hampir dua tahun. Meskipun dalam berbagai forum,
Damar Shasangka berjanji akan melanjutkan novelnya, tetapi saya pribadi berpendapat
bahwa inilah fase writer’s block yang dialaminya karena disebabkan faktor
eksternal.
Lalu, apakah kita harus berlama-lama berkutat di dalam writer’s blcok?
Tentu saja tidak. Setebal
apapun tembok bernama writer’s block, kita harus bisa meruntuhkannya. Berat,
mungkin iya. Tetapi semakin lama kita berhenti menulis, maka semakin hilang
pula ketajaman kita dalam menangkap ide. Sudah pasti, kelihaian dalam
meng-eksekusinya ke dalam tulisan, kian pudar.
Bagaimana cara menjebol tembok bernama writer’s block?
Banyak cara untuk
melawan writer’s block. Setiap penulis memiliki trik yang berbeda-beda. Dalam
kasus Sabda Palon dan Serat Darmogandul, Damar Shasangka mencoba mengalahkan
fase itu dengan cara meredam gejolak publik pemerhati sejarah memakai karya “aman”.
Setelah break cukup lama, kera ngalam
(baca: arek Malang; anak Malang Jawa Timur) itu menulis tema lain, yaitu Runtuhnya
Giri Kedhaton. Menurut pandangan saya, cara yang digunakan Damar sangat
berhasil. Setelah itu, berturut-turut lahir kembali karyanya seperti
Katuturanira Ken Angrok dan Serat Nawaruci.
Saya sendiri,
pembelajar menulis, pernah atau bahkan sering mengalami writer’s block. Untuk
keluar dari kubangan itu, saya mengambil cara yang berbeda dengan orang.
Apa yang saya lakukan untuk meruntuhkan writer’s block?
Blusukan ke situs-situs
sejarah.
Setelah sekian bulan belajar
menulis, lambat laun saya mulai menemukan kenyamanan (mentor di One Day One
Post, uncle Achmad Ikhtiar, menyebutnya sebagai gaya menulis) ketika menulis
tema sejarah dan wayang. Sudah pasti, untuk menajamkan hasil tulisan, saya
harus mendatangi tempat-tempat yang ada kaitannya dengan sejarah dan wayang.
Nah, ketika mengalami
writer’s block, saya biasa meruntuhkannya dengan sowan ke petilasan, candi,
sendang atau apapun yang bisa memberikan ide dan memecah kebuntuan saya dalam
melanjutkan aktivitas menulis.
Beberpa situs yang
pernah saya kunjungi diantaranya Candi Lor, Candi Ngetos, Petilasan Gajah Mada,
Situs Totok Kerot, Petilasan Sri Aji Jayabaya, Sendang Tirta Kamandanu, Candi
Tegowangi, Candi Surawana, Sendang Made, Petilasan Dewi Kili Suci, Petilasan
Gunung Ratu, Candi Penataran, Candi Brahu, Candi Wringin Lawang, Candi Bajang
Ratu, Candi Tikus, Candi Kedaton, Candi Menak Jinggo, Makam Putri Campa,
Panggung Sumpah Palapa, Pendopo Agung Majapahit.
Blusukan ke situs-situs sejarah, cara saya melawan writer's block |
Di tempat-tempat yang terkadang menurut kebanyakan orang
dikatakan wingit, sakral dan ghaib (saya menyebutnya
sebagai energi niskala dari peninggalan luhur moyang kita) itu, saya bercengkerama
dengan embah embah----kakek----penjaga
situs. Biasanya kami suka ngobrol ngalor
ngidul (obrolan santai dengan tema tidak tentu arah), sambil minum kopi dan
rokokan (menghisap rokok).
Ngobrol dengan Mbah Sadi, juru kunci petilasan Dewi Kili Suci, salah satu cara saya mencari ide baru untuk melawan writer's block |
Dari obrolan ringan
dengan para juru kunci tempat-tempat bersejarah itulah, saya mendapatkan ide dan
informasi yang terkadang tidak pernah saya dapatkan dari buku-buku rujukan.
Semangat menulis tumbuh kembali. Writer’s block pun pelan-pelan bisa saya
runtuhkan.
( Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Keren artikelmu Kang...
BalasHapustulisan asal-asalan ini, mbakyu
HapusSaya merasa tulisan-tulisan Mas Heru selalu gagah. Semangatnya luar biasa.
BalasHapusTips unik berikutnya yang saya dapatkan adalah silaturahim. Okay, Makasih banyak Mas Heru.
Aishhh ...
HapusMbk Na jauh lebih hebat.