Arca Ken Dedes - photo Majapahit art |
Tunggul Ametung baru
saja kubunuh. Ken Dedes yang menangisinya, kutinggalkan begitu saja. Heran,
seharusnya wanita itu tertawa bahagia karena lelaki yang
dulu merenggut kehormatannya telah meregang nyawa. Mungkin dia terlalu pengecut untuk mengakui itu.
Atau bisa jadi, sebenarnya Ken Dedes tengah bersandiwara di depan punggawa dan
prajurit Tumapel,1 kalau
dia begitu kehilangan akuwu2
renta itu. Padahal aku yakin, dia lega melihat sebilah keris menancap di dada
suaminya.
Petang tadi, ketika
senjakala terdampar di punggung gunung Kampud,3
mataku terbelangak tidak percaya. Bisa-bisanya kepercayaan ini dihancurkan
dengan sekejap mata. Hanya dengan sebuah rengkuhan pelan. Iya, rengkuhan pelan
antara Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Mereka saling berpelukan sambil berucap
tentang asmara. Padahal, setiap purnama tiba, aku dan dia melakukan perbuatan
yang sama di taman kaputren Tumapel. Hati ini terbakar, seketika kuputuskan untuk
mengakhiri sandiwara cinta Ken Dedes kepada suaminya.
“Arok... kau...?”
Ken Dedes tidak
melanjutkan kata-katanya. Bibir indah yang pernah kucuri di sudut petirtaan
puri prameswari itu telah disumpal oleh tapak tangannya sendiri. Jari telunjuk
kutempelkan di depan bibir, isyarat agar Ken Dedes menahan suara. Di
sampingnya, tubuh Tunggul Ametung nampak telah membujur kaku. Darah masih mengalir
dari dada yang telanjang. Sebagian memercik ke dinding bilik yang terbuat
dari gêbyok4
berukuran tebal.
Sejurus kemudian aku
sadar, prajurit penjaga puri akuwu pasti akan segera berdatangan. Tunggul
Ametung sempat mengerang kesakitan setelah keris buatan seorang Mpu dari Lulumbang,5 bapa Gandring,
kuhunjamkan menembus jantungnya.
“Mulai malam ini, kau
adalah milikku seutuhnya, nimas.”6
Kubisikkan sebuah
kalimat ke telinga Ken Dedes, sebelum meninggalkan bilik yang menjadi saksi
watak ahangkaraku malam itu. Beberapa damar masih menyisakan liukan-liukan api
di serambi puri. Penerangan dari minyak jarak dan sabut kelapa itu tertempel
pada dua pilar puri tempat tinggal sang akuwu. Dengan langkah cepat, aku
mendekat, lalu memberi tiupan ke arah damar-damar itu. Seketika gelap
menyergap.
Tumapel Gempar!
Ken Dedes menjerit
sekeras-kerasnya. Tangisnya sontak mengundang kedatangan para punggawa dan
prajurit Tumapel tengah malam itu.
“Kangjêng Tunggul
Ametung dibunuh ... Kangjêng Tunggul Ametung dibunuh!”
“Kerahkan prajurit ..
tutup semua jalan keluar pakuwon Tumapel!”
Berjarak seratus
tombak, dari persembunyian di balik arca Dwarapala, aku bisa melihat Gagak
Manahun dan Lembu Wungu, dua punggawa tinggi pakuwon Tumapel turun dari kuda,
lalu berlari memasuki puri tempat tinggal Ken Dedes. Derap langkah puluhan
prajurit terdengar menyebar ke berbagai sudut jalan keluar dari pakuwon.
-o0o-
“Puntên dalêm sewu,7 kangmas.8
Keris ini adalah milik Kebo Ijo.”
“Kau pernah
melihatnya, Arok?”
“Tentu saja,
kangmas.”
“Kapan?”
“Kemarin siang di
bale keprajuritan. Kebo Ijo sempat memamerkan senjata baru ini kepadaku.
Seorang Mpu dari Lulumbang yang membuatnya.” Ucapku.
Bersama Lembu Wungu
dan Gagak Manahun, kami memeriksa sebilah keris yang ditemukan bersama warangka9-nya di bilik
Tunggul Ametung. Keris buatan Mpu Gandring yang kugunakan menghabisi nyawa sang
akuwu renta itu.
“Tidak salah lagi,
berarti penyusup yang membunuh Kangjêng Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo.”
“Siapa lagi kalau
bukan dia?”
“Tangkap Kebo Ijo
sekarang, Arok!”
“Kasinggihan,10 kangmas Lembu Wungu. Akan kubawa
Kebo Ijo ke paseban ini. Hidup atau mati!”
Kucabut keris Mpu
Gandring dari warangka, lalu kuacungkan tinggi-tinggi. Lembu Wungu dan Gagak
Manahun menyipitkan mata, silau oleh kilatan bagaskara yang memantul dari bilah
keris.
Kembali kuhaturkan
sembah dada kepada kedua punggawa tinggi Tumapel. Sembah palsu yang
sesungguhnya menyembunyikan sebuah kemenangan besar bagi seorang pemuda bekas
berandal sepertiku.
Kupacu kuda membelah
jalanan pakuwon Tumapel, diiringi sepuluh pasukan berkuda. Kami menuju rumah
Kebo Ijo, prajurit lugu yang seminggu ini dengan congkaknya memamerkan keris
buatan Mpu Gandring yang kutitipkan kepadanya.
“Mintalah
ampun atas dosa-dosa kepada bapa dan biyungmu, Kebo Ijo. Sebentar lagi kau akan
menjadi tumbal ahangkara Ken Arok berikutnya.”
Bisik hati kecilku.
-o0o-
Siang itu adalah
penghujung Suklapaksa11
pada mangsa Srawana.12 Gunung Kampud yang berdiri megah, nampak menjulang
tinggi ke cakrawala yang cerah. Tiada segumpal awan pun nampak di atas sana.
Gunung yang menjadi batas wilayah kekuasaan Tumapel dan Kadhiri itu dahulu
menjadi tempat pelarianku, setiap kali membikin keonaran.
Sepuluh ribu tombak
ke arah barat daya Kampud, sebuah tempat pemujaan kepada Hyang Acalapat13 menjadi tujuan perjalananku hari itu.
Kereta pakuwon Tumapel yang ditarik empat ekor kuda putih, kutumpangi bersama
Ken Dedes. Tak butuh waktu lama dari Tumapel untuk mencapai bangunan suci
bernama candi Palah.14
Petirtaan yang ada di
belakang candi adalah tempat yang pertama kuhampiri, lalu bersuci di sana. Ken
Dedes duduk pada sebuah batu berukir di sudut petirtaan. Dua orang cêthi15 bersimpuh di
belakangnya. Sepuluh prajurit Tumapel menjaga kereta dan kuda-kuda kami di
depan gapura, tak jauh dari dua arca Dwarapala.
“Tinggalkan kami
berdua.”
Ken Dedes menoleh
kepada dua cêthi yang diajaknya dari Tumapel. Dia mengibaskan tangan sembari
menunjuk ke arah gapura candi. Sepertinya, janda Tunggul Ametung yang baru satu
mangsa kupinang itu tak ingin pembicaraan kami berdua didengar orang lain.
“Kasinggihan, gusti
ayu.”
Dua cêthi
menghaturkan sembah, mereka berjalan jongkok mundur tiga langkah, lalu berdiri
dan membalikkan badan.
Kini, di belakang bangunan
suci pemujaan sang Girindra yang dulu didirikan oleh eyang Bathara Syrengga,
penguasa Panjalu, hanya ada aku dan Ken Dedes. Kuraih jemari wanita pemilik
wahyu prajna paramitha. Seketika, pipinya kembali merona. Masih seperti warna
pipi yang pertama kali kulihat di taman kaputren Tumapel dulu.
“Dari dulu,
kecantikanmu tak pernah luntur sedikitpun, nimas.”
“Ah, kangmas. Kenapa
aku tak sanggup mendengar ucapanmu?”
“Sungguh, Dewata
telah mengirimkan nimas kepadaku, untuk menaklukkan tanah Jawa ini.”
Ken Dedes menyandarkan
kepala ke dadaku. Genggaman pada lentik jemarinya pun kian kueratkan. Angin
mangsa Srawana dari gunung Kampud menerpa rambut yang belum sempat kugelung
sehabis bersuci di petirtaan. Sebagian helainya menerpa pipi Ken Dedes. Pada
hembusan berikutnya, rambut panjangnya ganti menerpa wajahku. Memantik nyala
api yang kian membara dalam dada.
Aku dan Ken Dedes
menatap ke arah gunung Kampud.
Sepasang kupu-kupu
terbang menari di atas candi Palah.
Tumapel,
1144 Saka.16
(Sri
Rajasa Sang Amurwabhumi)17
-o0o-
Catatan:
1) Tumapel = nama tempat, Singosari,
Malang, Jawa Timur sekarang; 2) akuwu = petinggi setingkat bupati; 3) Kampud =
gunung Kelud, berada di 3 kabupaten di Jawa Timur yaitu Kediri, Blitar, Malang;
4) gebyok = papan berukir yang digunakan sebagai dinding/sekat ruangan; 5)
Lulumbang = nama tempat. Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar,
Jawa Timur sekarang; 6) nimas = adinda; 7) Punten dalem sewu = mohon maaf
sebesar-besarnya; 8) kangmas = kakak; 9) warangka = sarung tempat senjata; 10)
Kasinggihan = Iya. Biasa dipendekkan Singgih atau
Nggih; 11) Suklapaksa = paruh pertama
dalam siklus bulan Jawa kuno, setiap bulan dibagi menjadi dua paruh yang
masing-masing terdiri 15 hari; 12) mangsa Srawana = bulan pertama pada
perhitungan kalender Jawa kuno, sekitar 12 Juli – 11 Agustus; 13) Hyang
Acalapat = perwujudan Bathara Syiwa sebagai raja gunung/Girindra; 14) Palah =
nama asli candi Penataran, berada di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur; 15) cethi = wanita yang bekerja sebagai pelayan
di kedhaton;16) 1144 Saka = 1222 Masehi; 17) Sri Rajasa Sang Amurwabhumi =
gelar kebesaran raja Ken Arok.
Asmaradahana
atau Asmaradana adalah salah satu
jenis tembang Jawa macapat. Berasal dari kata asmara yang artinya cinta dan dahana
yang berarti api. Asmaradahana didefinisikan sebagai tembang yang digunakan
untuk mengungkapkan hati yang sedang dilanda gelora api cinta.
0 komentar:
Posting Komentar