Judul
Buku: Ahangkara, Sengketa Kekuasaan dan Agama
Penulis:
Makinuddin Samin
Penerbit: Javanica
Ukuran: 14×21 cm.
Jumlah Halaman: 500 halaman.soft cover.
ISBN: 978-602-6799-13-5
Genre: Novel Sejarah
Berat: 500 gram
Ukuran: 14×21 cm.
Jumlah Halaman: 500 halaman.soft cover.
ISBN: 978-602-6799-13-5
Genre: Novel Sejarah
Berat: 500 gram
sumber gambar: kaurama.co.id |
Serat
Pararaton, kitab para raja menyebutkan bahwa Sirna Ilang Kerta Ning Bhumi (1400 Saka) menjadi penutup dari kisah
Majapahit. Berbagai Babad menyebutkan bahwa raja terakhir kerajaan bercorak
Syiwa Buddha di Brang Wetan ini, Brawijaya
V (besar kemungkinan adalah Raden Alit/Kertabhumi) menjadi penguasa pamungkas
di Trowulan. Majapahit jatuh oleh serangan Panembahan Fattah (Raden Patah),
adipati Demak yang tak lain adalah putra Kertabhumi sendiri.
Kisah
ini banyak mendapat bantahan dari para pemerhati sejarah, terutama kalangan
Islam. Ada misi untuk mendiskreditkan agama tertentu. Demak yang merupakan kekhalifahan
kedua di tanah Jawa setelah Giri Kedhaton yang gagal, disudutkan dengan
membentuk persepsi publik bahwa ajaran Islam pada masa itu disebarkan dengan berdarah-darah.
Cerita yang merujuk pada berbagai Babad itu pun disangsikan keabsahan kisahnya.
Ada misi penguasa, yaitu pemerintah kolonial Belanda untuk mengaburkan sejarah.
Faktanya,
pada tahun 1400 Saka (1478 M) Majapahit di Trowulan memang jatuh. Penyebabnya
ada dua kemungkinan: serbuan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang menjadi
penguasa Daha, atau memang benar-benar digempur oleh laskar Demak.
Kang
Makinuddin Samin, penulis novel Ahangkara, santri asal Tuban, mencoba
memaparkan jatuhnya Majapahit dari sudut pandang lain. Saya menyebutnya sebagai
kearifan dalam menyikapi kontroversi sejarah. Seolah ingin mengakomodir dua
pendapat yang berbeda, novelis berlatar belakang pendidikan pesantren ini
menghadirkan kisah yang memukau saya: Demaklah yang menyapu bersih Majapahit beserta
kadipaten-kadipaten yang menjadi loyalisnya, bukan di masa pemerintahan
Panembahan Fattah, tetapi di era Panembahan Trenggana. Dan, Majapahit yang
dihancurkan pasukan pimpinan Kangjeng Sunan Kudus ini bukanlah Trowulan, tetapi
Daha.
Membaca
Ahangkara, kita akan terpukau dengan terobosan Kang Makinuddin Samin yang
belum saya temui pada novel sejenis, yaitu mengangkat sisik melik pasukan sandibhaya
(teliksandi/intelijen) seperti Dugda dan Ki Garga. Keberadaan sebuah candi
misterius di Ambulu, Tuban, juga menjadi segmen yang tidak boleh
dikesampingkan. Bagian inilah yang kembali mengetuk rasa penasaran saya. Pada
Pararaton dan Nagarakertagama, banyak disebutkan nama-nama candi beserta
tempatnya, sebagai pendharmaan raja dan kerabat. Uniknya, candi-candi itu
banyak yang belum ditemukan kebaradaannya hingga sekarang. Nah, candi Ambulu yang
ada dalam novel Ahangkara, bisa jadi adalah salah satu yang belum ditemukan itu.
Keberanian
lain Kang Makinuddin Samin adalah menampilkan dua wajah islam sudah ada sejak
era Demak. Ki Ngabdul Basyier, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, adalah tokoh-tokoh
yang berbeda cara dalam mendakwahkan islam.
Terlepas
dari genre Kang Makinuddin Samin yang berkutat dalam zona sejarah bernapas
religius, novel Ahangkara tetap wajib untuk dikoleksi para pecinta kisah romance.
Iya, ada epik perjalanan asmara Ayu Arinjani yang akan mencabik-cabik perasaan
kita.
Sidoarjo,
15 Juli 2017
(Heru Sang Mahadewa)
Member
of One Day One Post
Wow...ulasan tentang sejarah memang selalu menarik diikuti.
BalasHapusPengen baca jadinya. Hadeh...
BalasHapusMau baca Heru... Sejarah selalu punya data tarik tersendiri untuk ditelusuri.
BalasHapus