“Cak, sepakbola kita
hanya tinggal nama” ucapku kepada seorang bapak pemilik warung kopi yang biasa
mangkal di pintu gerbang utara stadion Gelora Delta Sidoarjo.
Hari itu saya baru
saja menghadiri undangan teman alumni sekolah kumpul-kumpul di alun-alun kota
Sidoarjo. Saya sengaja mampir ke bangunan megah yang menjadi kandang Tim Nasional
Indonesia U19 itu. Hanya kesunyian yang ada disana.
“Iyo cak, emboh jane karepe
wong duwuran iki piye?” jawab si bapak penjual kopi.
“(Iya mas, entah sebenarnya apa maunya para elit di atas
sana)”
“Arek-arek parkiran
karo kaosan yo melu buyar, wis ora enek sing diarepne dodolan tok kene, jare
bal-balan Indonesia saiki soyo ruwet, ora duwe mesakne karo wong cilik” lanjut
si bapak.
“(Anak-anak yang usaha parkir dan jualan kaos juga ikut
bubar, sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan jualan disini, katanya sih
sepakbola Indonesia semakin ruwet, tidak punya rasa belas kasihan dengan nasib
rakyat kecil)”
Kalimat dari penjual
kopi menggelitik pikiran dan mengingatkan saya kembali kepada carut marutnya
system tata kelola sepakbola negeri ini (meminjam
istilah pembantu Presiden di bidang olahraga, Menpora Imam Nahrowi).
Juga mengingatkan saya
kepada Garuda Muda U19. Tim medioker yang sempat mencuri hati masyarakat Indonesia,
karena prestasinya yang luar biasa dan diluar dugaan melejit menjadi juara
Piala AFF 2013. Sekaligus mengakhiri puasa gelar sepakbola Indonesia selama 22
tahun ketika itu.
Sambil menikmati
sepotong Ote-Ote (jajanan goreng khas
Jawa Timur yang terbuat dari tepung terigu dan irisan daun kol) saya
berjalan kearah salah satu dinding stadion di dekat warung kopi, tampak masih berserakan
sobekan tiket yang telah usang, bertuliskan pertandingan grand final Indonesia
versus Vietnam tiga tahun silam.
Ketika itu, setiap
kali tim nasional bertanding di Gelora Delta, saya bersama pecinta sepakbola
Sidoarjo dan sekitarnya selalu tumplek blek memenuhi tribun stadion. Memberikan
dukungan tim kebanggaan negeri kita. Antusiasme kami ketika itu menggambarkan
betapa rakyat Indonesia sudah bermimpi dan merindukan gelar bagi tim nasional
Merah Putih.
Mimpi yang menjadi
kenyataan! tim nasional U19 tampil menggila dan mengobati dahaga gelar bagi
Indonesia. Tampil sebagai nomor satu di ASEAN.
*********
Saya nyalakan sebatang rokok. Dengan perasaan
pilu saya arahkan pandangan ke sekeliling stadion. Astaga! gelap dan hening
sekali. Bukankah ini kandang tim nasional Indonesia U19 dulu? bukankah ini tempat
Garuda Muda berjuang mati-matian menggapai
level tertinggi di Asia Tenggara?
Beginilah kalau aroma politik sudah masuk ke
olahraga. Konflik tiada ujung pangkal di persepakbolaan nasional benar-benar
telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan. Bukan hanya para pemain yang
kehilangan mata pencaharian. Para tukang parkir dan pedagang kostum tim
sepakbola yang selama ini bertebaran di depan stadion Gelora Delta pun satu per
satu menutup lapak mereka. Mungkin hal serupa juga terjadi di stadion-stadion
di kota lain.
Berbagai upaya islah yang diprakarsai Wakil
Presiden Jusuf Kalla bersama Pak Agum Gumelar (Ketua Tim Ad Hoc FIFA) untuk mencari solusi mengurai benang kusut
sepakbola negeri ini pun nihil hasilnya.
Bahkan instruksi Presiden Pak Jokowi seminggu
silam agar Menpora Imam Nahrowi segera mengaktivkan kembali sepakbola Indonesia
(mencabut SK Pembekuan PSSI oleh Menpora yang
berakibat Indonesia di banned FIFA) pun terkesan seperti angin lalu. Entah
sampai kapan konflik ini akan menidurkan sepakbola kita.
Saya akhirnya memutuskan pulang setelah
membayar secangkir kopi dan dua potong Ote-Ote kepada si bapak pemilik warung kopi.
Saya pacu sepeda motor meninggalkan kesunyian Gelora Delta.
Sampai di kontrakan, saya buru-buru mengambil
flashdisk lalu menyalakan laptop. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak ke
dada. Ada kerinduan yang harus saya obati dengan membuka-buka lagi flashdisk.
Di sebuah folder yang saya namai “Dahaga Kita Terobati” satu per satu saya
cermati lagi foto kenangan ketika saya menjadi saksi hidup kembalinya gelar
juara bagi Indonesia, di stadion Gelora Delta Sidoarjo.
Ada puluhan gambar kenangan di flashdisk itu yang
kelak akan saya jadikan cerita kepada anak cucu. Kenangan ketika kami harus berebut
antri tiket sejak Subuh, di injak-injak pengantri lain, di bentak aparat, berdesak-desakan
di pintu masuk, hingga bernyanyi sepanjang pertandingan, lalu menggemakan
Takbir dan menangis histeris tatkala stadion itu meneguhkan Indonesia sebagai
juara baru di ASEAN.
Kenangan tentang euforia di Gelora Delta dan
Indonesia yang jaya sakti.
#ODOP
#posting_hari_ketiga
**********************
jawaban tantangan menulis dengan menggunakan kata : kopi, flashdisk, presiden
Suka dengan gaya tulisan mas Heru. Btw ote-ote mungkin kalo di jakarta namanya ba'wan ya?
BalasHapusterima kasih, setahu saya kalau Bakwan itu terbuat dari jagung, kalau Ote-Ote dari tepung terigu ... hehe, tapi gk tahu di jakarta itu ada Ote-ote apa gak :)
BalasHapusbaguuuus top deh Her
BalasHapusbaguuuus top deh Her
BalasHapusThnks ... amatiran Lis, hehee
HapusIni mah bukan tulisan amatiran lagi,
BalasHapusIni mah bukan tulisan amatiran lagi,
BalasHapusMakasih mbk ... msh taraf belajar ini
Hapuskalo pakde indro bilang.. kompor gas...
BalasHapusHahahaa .. suwun cak Junaidi.
HapusMsh jauh dari kompor ini 😀😊😂
Mantab bang Heru alur ceritanya, enak dan luwes gayanya :D
BalasHapusSalam Tran Ran
makasih mas Sitampan Tampan (fotonya tampan beneran loh) ...
Hapusbtw masih amatiran ini tulisan saya, masih harus bnyk belajar, mohon saran & kritiknya mase.