“Tinggalkan semua atribut komando milikmu!”
tutur Sersan Adi.
“Segala keperluan penyamaranmu sudah
disiapkan, sekarang istirahatlah dulu.”
lanjut dia serasa membantu mengeluarkan semua barang-barangku yang
tadinya kubawa dari Surabaya.
Hari itu kusempatkan beristirahat di kontrakan
Sersan Adi, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh Timur. Kami saling bercerita
tentang pengalaman di kesatuan masing-masing. Dari pembicaraan dengan Sersan
Adi, kutahu kalau dia pernah menjadi bawahan Letnan Kusno di kesatuan yang
lama. Kali ini dia ditugaskan menjadi tim penjemputku di Deli.
“Ingat, mulai malam ini kamu bukan lagi
anggota pasukan kita.” sambil tersenyum dia kembali mengingatkan misi ini.
“Terima kasih, semoga Allah meridhoi
perjuangan ini, dan memberikan keselamatan kepada kawan-kawan kita yang lebih
dulu ada disana.” kujabat tangannya di akhir pembicaraan.
**************
Sampai di Langsa hari masih tengah malam. Suasana
sepi dan lengang menyelimuti ibu kota Aceh Timur itu. Hanya ada satu warung
yang masih buka.
Dari sebuah kedai kopi yang aku singgahi, sesekali
kulihat iring-iringan truk patroli dari pasukan Brimob melintasi jalan. Memecah
kesunyian malam, membangunkan Langsa yang sudah menjadi kota mati.
“Ayo bang, jadi menumpang ke Juleu Rayeu?”
tanya seorang bapak yang duduk bersebelahan denganku di kedai kopi.
“Iya uwak, saya jadi menumpang.”
“Tapi hanya sampai di pasar Idie Rayeu,
muatan sayurku harus bongkar disana.” jelas si bapak.
“Dari Idie Rayeu, kalau abang mau melanjutkan
ke Juleu Rayeu sudah dekat, tinggal dua kiloan.”
“Iya uwak, terima kasih” sahutku lantas naik
ke mobil pick up tua yang mengangkut sayur ke pasar Idie Rayeu.
Sepanjang perjalanan, berkali-kali mobil yang
kami tumpangi dihadang patroli pasukan republik (Gerakan Aceh Mereka menyebut TNI dan Brimob Polri sebagai Pasukan
Republik).
Setiap melintasi barikade patroli, muatan mobil
diperiksa, kami berdua juga digeledah. Beruntung bapak tadi tidak menunjukkan
gelagat mencurigakan. Sepertinya sudah terbiasa melalui jalanan ini. Beruntung
pula tak ada satu pun anggota pasukan patroli yang curiga dengan keberadaanku
di mobil itu.
**************
“Kamu kiriman republik ya? kamu penyusup!” bentak salah satu dari dua orang
yang menghadangku.
Meski tidak berseragam tentara GAM, tetapi intuisiku mengatakan bahwa aku
sedang berhadapan dengan anggota pasukan separatis. Senjata AK 47 tampak
tertenteng di balik sarung yang melingkari pundak mereka.
“Tidak bang, aku perantau dari jawa. Aku keponakan Uwak Sirun, pekerja
kebun di kampung Afdiling satu.” sanggahku dengan tetap menjaga mimik
kepolosan.
Jantungku berdebar, nyaliku sempat menciut juga. Wajah seram keduanya
menunjukkan rasa belum puas dengan jawabanku.
“Kamu tahu situasi lagi genting, pasukan republik mengepung dimana-mana,
salah salah kamu bisa jadi korban tembak!” bentak dia lagi, lalu seorang temannya
menggeledah saku celana, baju, dan membongkar seluruh barang bawaan di dalam
ranselku.
Samar-samar terdengar suara rentetan tembakan
dari kejauhan. Ah, pasti di kampung seberang sana terjadi lagi baku tembak antara
TNI dengan GAM pikirku.
Kulihat beberapa orang dengan wajah panik bergegas mempercepat langkahnya,
keluar dari halaman sebuah mushola. Tepat berada di seberang jalan tempatku
berdiri.
Matahari belum tampak, pekatnya kabut masih menyelimuti sisa gelap semalam
di kampung Juleu Rayeu.
“Jangan sering keluar malam begini, salah-salah kamu akan menjadi sasaran pasukan
republik!” imbuh pria bertubuh tegap lalu meninggalkanku.
“Iya bang, terima kasih.” sahutku pelan.
Kulangkahkan kaki ke halaman Mushola,
sekalian aku berniat hendak menjalankan Sholat Subuh. Di serambi Mushola tampak
duduk seorang anak usia belasan tahun.
Aneh, bocah itu tidak panik mendengar suara
rentetan tembakan dari kampung seberang. Sementara orang-orang sudah
berhamburan bergegas meninggalkan Mushola.
“Assalamu’alaikum ..” kucoba menyapa bocah
kecil itu.
“Wa’alaikum Salam Warohmatullohi Wabarokatuh.“
jawabnya polos.
“Permisi, mau numpang wudhu dan Sholat Subuh.”
“Silahkan, mari kuantar ke pancuran.” terdengar
santun dan ramah sekali, lalu menemaniku ke pancuran di samping Mushola.
Selesai menunaikan Sholat Subuh, aku kembali
menghampiri bocah tadi. Dia belum beranjak juga dari serambi Mushola .
“Perkenalkan namaku Ado, perantau dari Jawa.” ku ulurkan tangan kepadanya.
“Aku keponakan Uwak Sirun di kampung Afdiling
Satu, aku mau ke rumahnya.”
“Namaku Ishak Daud, rumahku diujung jalan itu
bang!” balasnya seraya menunjuk kearah ujung jalan.
Aku tersenyum, pekatnya kabut yang masih
menyelimuti kampung ini tentu saja membuatku tak bisa melihat arah yang
ditunjuk Ishak Daud.
“Ishak sendirian? gak pulang? kan sudah
selesai Sholat Subuh tadi?” tanyaku, mencoba mengakrabkan diri kepadanya.
“Nanti saja bang, aku ingin melihat pasukan
republik masuk ke kampung ini!” jawab bocah itu dengan lantang.
Aku terkejut mendengarnya, tapi segera kucoba
menenangkan diri agar bocah ini tidak berpikiran aneh kepadaku, apalagi sampai
curiga.
“Oh begitu, Ishak tidak takut dengan pasukan republik?”
kembali aku bertanya.
“Kenapa harus takut? Ishak tidak bersalah, mamak
bilang dulu ayah Ishak meninggal saat baku tembak dengan pasukan republik,
sekarang Ishak ingin melihat seperti apa pasukan republik itu?” suaranya
terdengar jauh lebih polos lagi.
“Ishak ingin ketemu mereka, Ishak ingin
bertanya kenapa mereka membunuh ayahku? kenapa harus ada perang dan saling
melukai?”
Aku terdiam, ternyata dampak dari konflik
berkepanjangan ini tak sesempit yang kubayangkan. Percakapan dengan Ishak Daud
membuatku mulai berpikir ke sisi lain yang lebih luas.
Bukan sekedar dari ambisi putra-putra Aceh
yang ingin melepaskan diri dari pangkuan Negara Kesatuan RI. Bukan pula dari
sisi pasukan TNI yang bertekad mempertahankan keutuhan Ibu Pertiwi. Hatiku kini
mulai terusik sisi kemanusiaan.
Kutepuk pundak Ishak Daud, lalu kuusap rambut
ikalnya. Belum sempat aku ucapkan satu kalimat untuk membesarkan hatinya, tiba-tiba
terdengar teriakan dari ujung jalan.
“Semua bersembunyi! jangan ada yang keluar
rumah!” lelaki yang tadi menghadangku kini berlarian sambil memberi peringatan
kepada penduduk kampung.
“Pasukan republik datang! semua bersembunyi!”
teriak lelaki satunya.
Sementara dari kejauhan sayup-sayup kudengar
suara mobil menderu-deru. Suara yang kuhapal betul, berasal dari kendaraan truk
militer pengangkut pasukan.
Hanya dalam hitungan sekian menit, iring-iringan
kendaran itu tiba di ujung jalan kampung Juleu Rayeu. Ratusan orang berseragam
militer lengkap dengan senjata dan amunisi
berhamburan turun dari truk.
“Itu mereka datang bang.” dengan penuh keluguan
Ishak Daud berbisik kepadaku.
Belum sempat aku menjawab, seketika terdengar
rentetan tembakan membai buta dari pasukan TNI. Serangan mereka arahkan ke
setiap rerimbunan pohon karet yang banyak tumbuh di kampung itu.
Segera kutarik tubuh Ishak Daud, ku bungkam
mulut mungil bocah itu.
“Tenang dulu, nanti abang jelaskan semua ini!" bisikku seraya kuseret dia menjauh, lalu kupaksa bertiarap dibalik pancuran
yang terletak disamping Mushola.
“Dengarkan abang, ini bukan waktunya Ishak
untuk menemui mereka!” aku kembali berbisik sambil mendekap tubuhnya agar dia
merasa terlindungi.
Tangan kananku masih membungkam mulutnya. Aku
khawatir dia mengeluarkan suara yang dapat memancing amarah pasukan TNI.
Baku tembak pun terjadi beberapa saat, dari
balik rerimbunan pohon karet sesekali juga terdengar letusan senapan, pertanda
pasukan GAM juga membalas tembakan.
Perlawanan GAM hanya berlangsung sesaat. Tak
lama setelah itu sudah tidak terdengar lagi suara tembakan
balasan. Entah mereka meninggal oleh sergapan pasukan TNI atau berlari ke
tengah hutan karet.
Iring-iringan kendaraan militer pun
meninggalkan kampung itu. Suasana kembali sunyi. Sontak Ishak Daud berontak
dari dekapanku, lalu berlari kearah ujung jalan.
“Mamak … mamak!” teriaknya memanggil-manggil
ibunya.
Aku ikut berlari mengejar Ishak Daud. Sampai
di halaman sebuah rumah aku terperanga. Tepat didepan pintu tampak tergelatak
tubuh seorang wanita dengan pakaian khas wanita Aceh. Terlihat darah segar
membasahi punggung wanita itu.
“Mamaaaaakkkk! mamak kenapa?” teriak Ishak
Daud menghampiri tubuh itu. Diguncang-guncangkan tubuh ibunya, diam tak
bergerak.
“Bangun mamak! kenapa mamak tidur disini?”
dia guncangkan tubuh ibunya lebih keras dengan harapan ibunya terbangun.
“Kenapa mamak diam? jawab mak!” tangisnya
mulai pecah, teriakan dan jeritannya terdengar histeris.
Dia peluk tubuh ibunya yang membujur kaku. Dibalikkan,
lalu diciuminya berkali-kali ibunya yang terpejam. Darah yang keluar dari tubuh
ibunya kini sudah membasahi tangan dan lengan Ishak Daud.
Aku terdiam kaku, tak kuasa menyaksikan
pemandangan yang ada di depan mata.
“Ya Allah, jika ini adalah kehendakmu,
berikan aku kekuatan untuk melihat semua ini” bisikku dalam hati.
Aku kuatkan langkah menghampiri Ishak Daud. Kupeluk
tubuh bocah kecil itu. Beberapa saat aku ikut larut dalam tangisnya.
Meski menjadi bagian dari misi penumpasan
Gerakan Separatis di Aceh, tetapi dalam hati terdalam aku berharap konflik ini segera
bisa diselesaikan dengan jalan diplomasi. Bukan dengan pertumpahan darah seperti ini.
Bagaimanapun juga perang tetaplah kejam, tak mengenal belas kasihan. Perang selalu mencabik-cabik nilai kemanusiaan.
(cerita
ini saya dedikasikan untuk ribuan anak bangsa yang gugur selama terjadi konflik
di Aceh, baik dari TNI, Polri, GAM maupun rakyat sipil)
#ODOP
#posting_hari_kesebelas
kereeeennn mas heru..^_^ waiting for the part 3..
BalasHapusTerima kasih mbk Sasmitha,
HapusDitunggu ya part 3'nya
Hanyut dalam ceritanya, keren habis...
BalasHapusHanyut dalam ceritanya, keren habis...
BalasHapusHehehe, biasa aj mbake
HapusBtw terima kasih mbk Juni