Ketika
masih duduk di bangku SMP, saya pernah mendapatkan kiriman sebuah buku dari
kakak yang tinggal di Jogja. Ketika itu saya memang memesan agar dibelikan
sebuah buku (tanpa menentukan genre &
pengarangnya).
Saya
sempat heran begitu membuka dan membaca judul buku itu. Tampak sebuah gambar Catut (alat untuk mencabut paku) mendominasi sampul hitam dengan judul “Slilit Sang Kiai” karangan Emha Ainun
Najib (Cak Nun). Budayawan asal kota santri Jombang.
Slilit
Sang Kiai sendiri sebenarnya kumpulan kolom yang pernah ditulis Cak Nun di
berbagai media massa. Judul tersebut diambil dari esai pertama pada buku yang
membahas tentang slilit.
Slilit
sebenarnya bukanlah hal penting untuk didiskusikan. Keberadaannya pun seolah
terpinggirkan karena satu-satunya produk yang berhubungan dengan slilit bahkan
dinamakan Tusuk Gigi, padahal yang ditusuk slilitnya, bukan gigi.
Justru
karena slilit pula, seorang kiai terhambat masuk ke surga. Kok bisa?
Suatu
hari, seorang Kiai yang alim dan soleh diundang tetangganya untuk kenduri (selamatan). Sudah menjadi tradisi setelah berdo’a maka sang tuan
rumah bersedekah dengan menjamu makan para tamunya. Termasuk Sang Kiai ikut
menikmati jamuan makan malam itu.
Setelah
selesai jamuan, Sang Kiai pun pulang. Dalam perjalanan pulang beliau merasa ada
slilit yang mengganjal di sela-sela giginya (Slilit
: sedikit sisa makanan, biasanya daging). Kebetulan di pinggir jalan
terdapat pagar terbuat dari kayu bambu yang sudah lapuk. Sang Kiai mengambil
sedikit kayu dari pagar itu dan menjadikannya sebagai tusuk gigi.
Selesai
sudah masalah slilit Sang Kiai.
Beberapa
tahun setelah kejadian itu Sang Kiai meninggal dunia karena sudah uzur. Salah
seorang santrinya bermimpi bertemu Sang Kiai.
Di
alam sana Sang Kiai memperoleh banyak kebaikan karena amal baiknya semasa hidup
di dunia. Tetapi ada satu hal yang mengganjal yang dapat menghalangi seluruh
kebaikan Sang Kiai. Serta menghambat jalan masuk ke surga.
Sepotong
kayu kecil yang dijadikan Sang Kiai untuk mengambil slilit itu bukanlah kayu
miliknya. Inilah yang menjadi penghalang seluruh amal baik Sang Kiai. Beliau
tidak sempat meminta ijin kepada si pemilik pagar. Sehingga sama dengan pencuri.
Sang
Kiai lalu meminta kepada santrinya untuk menemui pemilik kayu pagar itu dan
memohon keikhlasannya. Agar dimuluskan jalan Sang Kiai masuk ke surga.
********
Gaya
tulisan dari Kiai Mbeling (sebutan Cak Nun) kental dengan dialek khas Jawa Timur. Sehingga bagi
saya (yang kebetulan bertetangga kota
dengan Cak Nun) mudah mencernanya sebagai pembaca pemula. Semisal dalam esai
berjudul “Bu Tono dan Pak Tini”,
atau pada esai “Yang Berteriak Tinggal
Serak".
Meski
tidak menyisipkan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, dan terkesan sedikit nakal
gaya bahasanya (tipikal Arek Jatim / anak Jawa
Timur), tetapi tulisan-tulisan Cak Nun tetap mengusung pesan dakwah.
Kumpulan
kolom dari arek Jombang ini pula yang
mengspirasi saya bahwa menulis itu tidak selamanya harus memakai
kalimat puitis. Buktinya kolumnis
yang sempat nyantri di Ponpes Tebu Ireng Jombang itu selalu sokor
jeplak (asal ngomong) dalam
menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan. Sedikit mengesampingkan EYD, tapi misi
dakwahnya tetap sampai ke pembaca.
#ODOP
#BukuTerbaikYangPernahSayaBaca
#posting_hari_keduabelas
Menarik... bacanya enak... ngalir.. baru tahu apa itu slilit... kirain selulit..hehe...
BalasHapusHahaha ..
BalasHapusApalagi kl gigi kita ada yg berlubang, pasti sibuk nuntasin problem Slilit setiap habis makan 😊
Siip. Saya juga senang baca buku-bukunya Cak Nun mas. Yang paling saya suka judulnya "Kagum pada Orang Indonesia".
BalasHapusSaya jg termasuk penggemar Cak Nun, bahasa dakwahnya bisa merangkul berbagai kalangan
BalasHapusSaya jg termasuk penggemar Cak Nun, bahasa dakwahnya bisa merangkul berbagai kalangan
BalasHapusBahasa Cak Nun ceplas ceplos apa adanya.
BalasHapusSaya pernah datang di pengajian Cak Nun di Jogja mulai pukul 21.00 hingga 03.00 dini hari dukuk "nglesot" di dekatnya. Saya sampai tdk beranjak blasss. Takut kehilangan info penting dari Cak Nun..
saya juga penggemar cak nun..
BalasHapusmbak Juni ponpesnya caknun di jogja opo yo?
mantaaaabbb Her...nyilih aku bukune
BalasHapusmantaaaabbb Her...nyilih aku bukune
BalasHapus