Pagi hari ini saya
baru saja tiba kembali di kota Delta Sidoarjo setelah selama tiga hari menghabiskan
libur panjang akhir pekan di kampung halaman, kota angin Anjuk Ladang (Nganjuk).
Diakhir liburan kemarin,
sengaja saya ngetrip tipis-tipis (meminjam
istilah anak-anak ABG kini). Tak harus
travelling jauh-jauh, cukup di tanah kelahiran sendiri. Saya penasaran dengan kawasan gunung Wilis yang belakangan ini mulai terkuak kebaradaan
tempat-tempat indah nan eksotik di pedalamannya.
Gunung berapi mati yang
terhampar luas di wilayah Nganjuk selatan ini (meliputi kecamatan Sawahan,
Ngetos, Loceret dan Wilangan) sebelumnya hanya dikenal dengan destinasi wisata
air terjun Sedudo, Singokromo dan Roro Kuning.
Namun setahun
terakhir, ada tiga tempat yang baru ditemukan penduduk, yang tak kalah memukau
dari nama-nama diatas yaitu air terjun Tetes Embun, air terjun
Watu Lumbung dan Embung Estumulyo.
Temuan-temuan baru inilah yang membuat saya penasaran untuk mengunjunginya.
Bersama jagoan saya dan
keponakan, saya berangkat menuju ke Sawahan (akses termudah berkendara menuju gunung Wilis) dengan bersepada motor. Jalur yang
saya tempuh selama perjalanan 30 menit dari pusat kota sempat membawa
pikiran ke memori masa lalu (dulu ketika
masih SMP dan SMA, saya aktiv ikut gerak jalan 45 km Nganjuk – Sawahan).
Sampai di desa
Margopatut, kami beristirahat sejenak karena takjub dengan hamparan pemandangan
bukit di seberang jalan. Ada tulisan GOA NDALEN di puncak bukit, menandakan bahwa
disana terdapat sebuah goa yang sudah dibuka untuk umum.
Perjalanan saya
lanjutkan lagi menuju puncak Wilis. Sampai di Sawahan, atas petunjuk beberapa
penduduk, saya disarankan agar membatalkan niat ke air terjun Tetes Embun dan
Watu Lumbung.
“Dalane wis ilang,
wis rumbuk maneh mas” ucap mereka.
“(Jalannya sudah hilang, sudah dipenuhi semak belukar
lagi mas)”
Jalur menuju kedua
air terjun di desa Dolo kecamatan Sawahan itu memang dibuat atas inisiativ warga setempat. Mereka
bergotong-royong membuka hutan beberapa bulan lalu, dengan tujuan membuat akses
sementara. Namun saat musim hujan seperti sekarang, apalagi kawasan Wilis dikenal
memiliki curah hujan sangat tinggi, menjadikan jalan setapak buatan warga itu
kembali ditumbuhi semak liar.
Tak putus asa, saya
pun melanjutkan perjalanan ke Embung Estumulyo. Jarak tempuh dari pusat
kecamatan Sawahan hanya sekitar 10 menit. Jika sahabat sekalian ingin ke Embung
Estumulyo, bisa menggunakan angkot jurusan Nganjuk-Sawahan. Dari terminal
Nganjuk turun di terminal Sawahan, lalu perjalanan bisa dilanjutkan naik ojek
yang banyak mangkal disana.
Jalur menuju Embung
Estumulyo lumayan menantang. Banyak tanjakan dan turunan curam, serat tikungan tajam
yang dapat memacu adrenalin. Beruntung kondisi aspal sangat representativ
untuk kendaraan bermotor.
Sepanjang jalur
menuju embung pun banyak rambu petunjuk sehingga memudahkan saya mencapai
tempat itu. Para penduduk yang ramah setiap berpapasan dengan saya pun menambah
semangat berlipat. Mereka dengan senang hati senantiasa akan siap memandu jika ada
pengunjung yang tidak tahu arah ke Embung Estumulyo.
Sampai di lolet
retribusi saya membayar Rp. 2000 (tarif dikenakan per kendaraan). Perjalanan masih
bisa dilanjutkan menggunakan sepeda motor, namun bagi pengunjung yang berkendaraan
mobil harus berhenti sampai di posko retribusi ini, dan dilanjutkan dengan ojek
motor.
Jalan yang saya lalui
selanjutnya justru makin menantang, lebar hanya satu meter dengan tingkat
tanjakan dan turunan yang lebih curam. Namun perasaan deg-degan itu lenyap
seketika saat saya mulai memasuki hutan cemara.
Kawasan hutan yang
sejuk dan bersih, dengan panorama indah di kanan kiri jalan membuat perasaan ingin berlama-lama disana.
Puncaknya adalah saat sampai di lokasi Embung Estumulyo. Mata saya benar-benar takjub dengan
pemandangan di hadapan saya.
“Ini miniaturnya
Ranukumbolo!” teriak saya kepada jagoan dan keponakan saya.
Embung Estumulyo
memang tak seluas danau Ranukumbolo di puncak Mahameru (gunung Semeru). Namun
kebaradaannya di puncak Wilis benar-benar tak kalah eksotik. Danau kecil dengan
pagar pepohonan cemara di tepiannya ini laksana telaga tempat
bidadari turun (seperti dalam legenda
Joko Tarub).
Di ujung pandangan
mata, tampak puncak tertinggi gunung Wilis mengintip di sela-sela hutan cemara.
Membuat perasaan semakin takjub. Benar-benar seperti "Surga di Puncak Wilis".
Di Embung estumulyo
pula hati saya bergetar, ternyata Allah begitu besar. Di sebuah
pedalaman hutan seperti ini pun tersimpan keindahan luar biasa, menunjukkan
betapa DIA ada dimana-mana.
#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhSatu
Subhanallah indah banget ;)
BalasHapusbetul mbak, saya sampai merinding & takjub sampai disana
Hapusak sedudo ae lom ngerti her, iki ono seng luweh apik, subhanallah
BalasHapusak sedudo ae lom ngerti her, iki ono seng luweh apik, subhanallah
BalasHapusYa Allah banyune bening banget. Pengin kungkum
HapusBagus sekali mas Heru... saya selalu suka bermain2 di sungai, air terjun, pengunungan...
BalasHapusLisa@lha awakmu iki wong Nganjuk kok malah rung ruh Sedudo.
BalasHapusMbk Wiwid@dilarang nyemplung mbake ... hehee
Mbk Vinny@saya juga ... semasa kecil suka mandi di sungai😊
Masya Allah, indahnya.^^
BalasHapusDi akhir tulisan pun masih sempat mengingat dan memuji kehebatan Allah.
Semoga setiap perjalanan membuat kita senantiasa ingat pada Sang Pencipta.^^
Mantab mas heru lanjutkan membuat artikel original dan bermanfaat buat orang lain seperti ini semoga sehat dan rejeki lancar mas salam dari suhu blogger indo
BalasHapus