Senin, 28 Maret 2016

EMBUNG ESTUMULYO, SURGA DI PUNCAK WILIS




 

Pagi hari ini saya baru saja tiba kembali di kota Delta Sidoarjo setelah selama tiga hari menghabiskan libur panjang akhir pekan di kampung halaman, kota angin Anjuk Ladang (Nganjuk).

Diakhir liburan kemarin, sengaja saya ngetrip tipis-tipis (meminjam istilah anak-anak ABG kini). Tak harus travelling jauh-jauh, cukup di tanah kelahiran sendiri. Saya penasaran dengan kawasan gunung Wilis yang belakangan ini mulai terkuak kebaradaan tempat-tempat indah nan eksotik di pedalamannya.

Gunung berapi mati yang terhampar luas di wilayah Nganjuk selatan ini (meliputi kecamatan Sawahan, Ngetos, Loceret dan Wilangan) sebelumnya hanya dikenal dengan destinasi wisata air terjun Sedudo, Singokromo dan Roro Kuning.

Namun setahun terakhir, ada tiga tempat yang baru ditemukan penduduk, yang tak kalah memukau dari nama-nama diatas yaitu air terjun Tetes Embun, air terjun Watu Lumbung dan Embung Estumulyo. Temuan-temuan baru inilah yang membuat saya penasaran untuk mengunjunginya.

Bersama jagoan saya dan keponakan, saya berangkat menuju ke Sawahan (akses termudah berkendara menuju gunung Wilis) dengan bersepada motor. Jalur yang saya tempuh selama perjalanan 30 menit dari pusat kota sempat membawa pikiran ke memori masa lalu (dulu ketika masih SMP dan SMA, saya aktiv ikut gerak jalan 45 km Nganjuk – Sawahan).

Sampai di desa Margopatut, kami beristirahat sejenak karena takjub dengan hamparan pemandangan bukit di seberang jalan. Ada tulisan GOA NDALEN di puncak bukit, menandakan bahwa disana terdapat sebuah goa yang sudah dibuka untuk umum.


Perjalanan saya lanjutkan lagi menuju puncak Wilis. Sampai di Sawahan, atas petunjuk beberapa penduduk, saya disarankan agar membatalkan niat ke air terjun Tetes Embun dan Watu Lumbung.

“Dalane wis ilang, wis rumbuk maneh mas” ucap mereka.
“(Jalannya sudah hilang, sudah dipenuhi semak belukar lagi mas)”

Jalur menuju kedua air terjun di desa Dolo kecamatan Sawahan itu memang dibuat atas inisiativ warga setempat. Mereka bergotong-royong membuka hutan beberapa bulan lalu, dengan tujuan membuat akses sementara. Namun saat musim hujan seperti sekarang, apalagi kawasan Wilis dikenal memiliki curah hujan sangat tinggi, menjadikan jalan setapak buatan warga itu kembali ditumbuhi semak liar.

Tak putus asa, saya pun melanjutkan perjalanan ke Embung Estumulyo. Jarak tempuh dari pusat kecamatan Sawahan hanya sekitar 10 menit. Jika sahabat sekalian ingin ke Embung Estumulyo, bisa menggunakan angkot jurusan Nganjuk-Sawahan. Dari terminal Nganjuk turun di terminal Sawahan, lalu perjalanan bisa dilanjutkan naik ojek yang banyak mangkal disana.

Jalur menuju Embung Estumulyo lumayan menantang. Banyak tanjakan dan turunan curam, serat tikungan tajam yang dapat memacu adrenalin. Beruntung kondisi aspal sangat representativ untuk kendaraan bermotor.

Sepanjang jalur menuju embung pun banyak rambu petunjuk sehingga memudahkan saya mencapai tempat itu. Para penduduk yang ramah setiap berpapasan dengan saya pun menambah semangat berlipat. Mereka dengan senang hati senantiasa akan siap memandu jika ada pengunjung yang tidak tahu arah ke Embung Estumulyo.

Sampai di lolet retribusi saya membayar Rp. 2000 (tarif dikenakan per kendaraan). Perjalanan masih bisa dilanjutkan menggunakan sepeda motor, namun bagi pengunjung yang berkendaraan mobil harus berhenti sampai di posko retribusi ini, dan dilanjutkan dengan ojek motor.

Jalan yang saya lalui selanjutnya justru makin menantang, lebar hanya satu meter dengan tingkat tanjakan dan turunan yang lebih curam. Namun perasaan deg-degan itu lenyap seketika saat saya mulai memasuki hutan cemara.

Kawasan hutan yang sejuk dan bersih, dengan panorama indah di kanan kiri jalan membuat perasaan ingin berlama-lama disana.


Puncaknya adalah saat sampai di lokasi Embung Estumulyo. Mata saya benar-benar takjub dengan pemandangan di hadapan saya.

“Ini miniaturnya Ranukumbolo!” teriak saya kepada jagoan dan keponakan saya.

Embung Estumulyo memang tak seluas danau Ranukumbolo di puncak Mahameru (gunung Semeru). Namun kebaradaannya di puncak Wilis benar-benar tak kalah eksotik. Danau kecil dengan pagar pepohonan cemara di tepiannya ini laksana telaga tempat bidadari turun (seperti dalam legenda Joko Tarub).

Di ujung pandangan mata, tampak puncak tertinggi gunung Wilis mengintip di sela-sela hutan cemara. Membuat perasaan semakin takjub. Benar-benar seperti "Surga di Puncak Wilis".


Di Embung estumulyo pula hati saya bergetar, ternyata Allah begitu besar. Di sebuah pedalaman hutan seperti ini pun tersimpan keindahan luar biasa, menunjukkan betapa DIA ada dimana-mana.


#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhSatu

9 komentar:

  1. Balasan
    1. betul mbak, saya sampai merinding & takjub sampai disana

      Hapus
  2. ak sedudo ae lom ngerti her, iki ono seng luweh apik, subhanallah

    BalasHapus
  3. ak sedudo ae lom ngerti her, iki ono seng luweh apik, subhanallah

    BalasHapus
  4. Bagus sekali mas Heru... saya selalu suka bermain2 di sungai, air terjun, pengunungan...

    BalasHapus
  5. Lisa@lha awakmu iki wong Nganjuk kok malah rung ruh Sedudo.
    Mbk Wiwid@dilarang nyemplung mbake ... hehee
    Mbk Vinny@saya juga ... semasa kecil suka mandi di sungai😊

    BalasHapus
  6. Masya Allah, indahnya.^^

    Di akhir tulisan pun masih sempat mengingat dan memuji kehebatan Allah.

    Semoga setiap perjalanan membuat kita senantiasa ingat pada Sang Pencipta.^^

    BalasHapus
  7. Mantab mas heru lanjutkan membuat artikel original dan bermanfaat buat orang lain seperti ini semoga sehat dan rejeki lancar mas salam dari suhu blogger indo

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *