“Wis ndang turu, engko nek wayahe goro-goro tangi maneh.”
(Sudah cepat tidur, nanti kalau waktunya adegan Goro-goro kami bangunkan lagi).
Kalimat yang dilontarkan dari panjak (pemain gamelan jawa) dan sinden (penyanyi pengiring) itu senantiasa tidak asing ditelinga saya setiap kali selesai menyantap jamuan makan oleh tuan rumah yang nanggap (mengundang pentas) pagelaran wayang kulit. Sudah menjadi tradisi bahwa diawal pertunjukan wayang kulit, semua kru akan dijamu (biasanya hidangan Nasi Rawon, Soto dll, masakan khas Jawa).
Selesai memakan hidangan itu pula, saya selalu mencari tempat dibawah kolong Bonang atau Kendang (jenis gamelan jawa) kemudian ndlosor turu (berbaring tidur). Biasanya saat segmen tertentu seperti adegan Perang Begal dan Goro-goro para kru membangunkan saya dari tidur, agar tidak ketinggalan jalannya cerita.
Kenapa segmen Perang Begal? Tentu saja dalam usia saya yang masih kanak-kanak ketika itu sangat tertarik jika menonton sebuah adegan perang-perangan. Nuansa kepahlawan dan kemenangan jagoan menjadi faktor pemikatnya.
Kemudian segmen yang tidak kalah menarik adalah “Goro-goro” (Huru-hara). Sebuah bagian dari rangkaian pagelaran wayang kulit setelah berakhirnya hingar bingar peperangan. Diperankan oleh empat tokoh punakawan / panakawan.
Nuansa dari Goro-goro adalah setelah huru-hara (kerusuhan, peperangan) berakhir, para punakawan muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan bersenda gurau. Hal ini merupakan simbol bahwa setelah munculnya peristiwa kekacauan atau kerusuhan yang menimpa suatu negara, maka diharapkan seluruh rakyat kecil bisa kembali hidup normal dan menjalani aktivitas seperti sedia kala.
Satu lagi yang menarik adalah lantunan suluk (sajak berbahasa Jawa) dari sang Dalang ketika membuka Goro-goro. Salah satu sajak yang masih saya ingat hingga kini adalah :
Goro-goro ...
Goro-goro jaman kala bendu,
Wulangane agama ora digugu,
Sing bener dianggep kliru sing salah malah ditiru,
Bocah sekolah ora gelem sinau,
Yen dituturi malah nesu bareng ora lulus ngantemi guru,
Pancen prawan saiki ayu-ayu,
Ana sing duwur tor kuru,ana sing cendek tor lemu,
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Artinya sebagai berikut:
Goro-goro ...(Huru-hara)
Suatu ketika di jaman kala bendu,
Ajaran agama tidak lagi dipatuhi,
Yang benar dianggap keliru,
Yang salah justru ditiru,
Anak-anak sekolah tak mau lagi belajar,
Kalau dinasehati marah, begitu tidak lulus justru memukuli guru,
Memang gadis sekarang semua cantik jelita,
Ada yang tinggi semampai, ada pula yang pendek dan gemuk,
Sayangnya, mereka bangga mengumbar aurat,
dengan memamerkan paha.
Lalu masuklah ke sketsa inti Goro-goro. Adegan yang digambarkan dengan obrolan ringan seorang ayah (Kyai Lurah Semar) bersama tiga putranya, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Membahas seputar isu yang sedang hangat di negeri mereka.
Putra tertua Ki Lurah Semar (Sang Hyang Ismoyo yang menyamar menjadi rakyat jelatah) adalah Nala Gareng. Ia terlahir dengan nama Bambang Sukskati (Bambang Sukodadi).
Sejatinya Bambang Suskskati adalah seorang kesatria tampan dan gagah perkasa. Sebuah pertarungan sengit melawan Bambang Pecrukpanyukilan (kelak menjadi saudaranya bernama Petruk) mengubah wujud fisik keduanya menjadi cacat. Saling adu kesaktian, saling memukul, hantam menghantam dan saling menendang membuat mereka berdua berubah jauh dari wujud aslinya. Ki Lurah Semar yang akhirnya melerai keduanya, dan menjadikan mereka sebagai anak angkat.
Sejatinya Bambang Suskskati adalah seorang kesatria tampan dan gagah perkasa. Sebuah pertarungan sengit melawan Bambang Pecrukpanyukilan (kelak menjadi saudaranya bernama Petruk) mengubah wujud fisik keduanya menjadi cacat. Saling adu kesaktian, saling memukul, hantam menghantam dan saling menendang membuat mereka berdua berubah jauh dari wujud aslinya. Ki Lurah Semar yang akhirnya melerai keduanya, dan menjadikan mereka sebagai anak angkat.
Gareng disebut juga Pancalpamor (menolak godaan duniawi), Pegatwojo yang artinya gigi (sebagai lambang bahwa Gareng tidak suka makan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang banyak penyakit).
Nama Nala Gareng berasal dari kata Nala (hati) dan Garing (kering). Berarti hati yang kering, kering dari kemakmuran. Hal ini dikarenakan Gareng digambarkan sebagai sosok yang senantiasa dirundung kesusahan. Miskin dan cacat secara fisik.
Gareng sendiri ditampilkan dengan visual yang serba menyedihkan, diantaranya :
- Mata juling artinya tidak mau melihat hal-hal yang negativ/ tidak baik.
- Tangan cekot (patah, melengkung) artinya tidak mau mengambil/ merampas hak orang lain.
- Sikil gejik (kaki terpincang-pincang) artinya selalu penuh kewaspadaan dalam setiap melangkah.
Dalam sebuah kisah, Gareng diceritakan pernah pamit kepada ayahnya Kyai Lurah Semar untuk pergi mengembara. Namun setelah kepergiannya itu, selama bertahun-tahun tak pernah ada lagi kabarnya. Hal ini membuat ayah dan kedua saudaranya Petruk dan Bagong sedih dan bingung mencari kemana-mana.
Suatu hari, di negeri Amarta (tempat Punakawan mengabdi kepada Pandawa) didatangi seorang kesatria bernama Pandu Bergola / Pragola. Ia menantang bertarung semua kesatria yang ada di Amarta. Tak ada satupun kesatria Pandawa yang bisa menandingi kesaktian dan kedigdayaan Pandu Bergola. Semua takluk!
Hingga datanglah kerabat Pandawa yaitu Prabu Kresna (reinkarnasi Dewa Wisnu). Ia menyarankan kepada Ki Lurah Semar, jika ia ingin menemukan putranya Gareng yang telah lama pergi menghilang, maka relakan Petruk untuk bertarung menghadapi Pandu Bergola.
Semar tanggap dengan ucapan Sri Kresna, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir semua kesatria juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya?
Melihat pesimistis dari Petruk, ayahnya membisikkan sesuatu. Seketika itu Petruk menjadi semangat dan girang, berangkatlah ia menghadapi Pandu Bergola.
Sesampainya Petruk dihadapan Pandu Bergola, kesatria itu selalu membelakangi atau memalingkan muka. Jika Petruk beralih posisi di hadapannya, Pandu Bergola langsung menunduk. Tetapi Petruk tak menyerah melakukan provokasi untuk bertarung.
Akhirnya terjadilah perkelahian yang sangat ramai, saling adu kesaktian tapi penuh kelucuan. Saat pergumulan terjadi, Pandu Bergola tiba-tiba berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk tidak melihatnya. Pertarungan terus berlangsung, hingga datanglah ayah mereka Ki Lurah Semar melerai. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola, adiknya Petruk sontak memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh keharuan. Para punggawa negeri Amarta (Pandawa) ikut berbahagia karena abdinya yang lama menghilang telah kembali.
Gareng diinterograsi oleh Sri Krisna, mengapa ia melakukan semua itu?
Gareng menjawab bahwa dia ingin mengingatkan para majikannya (Pandawa), yang mulai lupa karena sudah sukses menjadi bangsawan. Telah hilang kehati-hatian serta kewaspadaa mereka.
Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh? baik itu rongrongan dari dalam negeri atau luar negeri. Negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada para pemimpin negeri.
Pesan moral dari kisah Punakawan bernama Nala Gareng sungguh bermakna. Bisa disimpulkan sebagai berikut :
- Kekurangan fisik seseorang (cacat) tidak mencerminkan tingkat kepribadian. Level budi pekerti itu terletak pada hati dan perilaku.
- Setelah terpilih menjadi pemimpin dan wakil rakyat, janganlah lupa pada perjuangan sebelumnya, apalagi terlena dan meninggalkan konstituennya.
- Jangan merampas dan mengebiri hak-hak rakyat.
- Kita semua saudara, segala perbedaan bukan alasan untuk diperdebatkan, harus kita hindari perpecahan / pertikaian sesama saudara (sesama anak bangsa).
- Kemanapun kita melangkah (mengambil keputusan / bertindak) maka harus penuh dengan perhitungan dan kewaspadaan.
*****
Setelah segmen Goro-goro berakhir, jamuan makan malam biasanya dihidangkan kembali. Saya pun lagi-lagi menikmatinya. Dan selalu kembali menelusup di kolong Bonang dan Kendang, lalu ndlosor turu maneh (tidur lagi) setelahnya. Hingga seuasai pagelaran, samar-samar antara sadar dan tidak, saya merasa ibu sinden menggendong lalu menidurkan saya sesampainya di rumah.
Sinden dimasa kanak-kanak saya itu adalah ibu saya.
#ODOP
#PostingHariKetigaBelas
jempol sm awakmi her..wayang jian ngerti tenan...ak blajar yoo
BalasHapusjempol sm awakmi her..wayang jian ngerti tenan...ak blajar yoo
BalasHapusBoleh2 ..
BalasHapusSama2 belajar yukk
Filosovi wayang juga penuh pesan moral lho.
#Arab digarap
#Barat di ruwat
#Jowo ojo ditinggalno
Hehehee
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah jd rindu kampung halaman.
BalasHapusDulu waktu kecil kalau agustusan selalu diajak bapak lihat wayang di alun2 Jombang.
Wah jd rindu kampung halaman.
BalasHapusDulu waktu kecil kalau agustusan selalu diajak bapak lihat wayang di alun2 Jombang.
betul2 ... Jombang hingga kini masih menjadi salah satu kota di Jawa yang konsisten nanggap wayang saat event2 tertentu, seperti Agustusan
HapusJoss tenan mas Heru. Aku jaman isih dadi cah angon yo seneng nonton wayang. Yen ngantuk langsung 'ngglethak' sak enggon-nggon, neng kebon utowo mepet kotak. Trothok thok thok.... goro goro...
BalasHapusmatur sembah nuwun pak Parto, masih harus banyak belajar ini ...
Hapus