Lanud Juanda Surabaya, Mei 2003
Jarum jam di arlojiku menunjukkan tepat pukul 00:00 ketika kulihat teman-teman
sudah siap dengan berbagai perlengkapan. Tampak di lapangan depan barak semua
sibuk memeriksa parasut, senjata AK 47, RPG dan amunisi yang malam ini akan dibawa
menjalankan misi.
Ketegangan jelas terpancar dari wajah-wajah mereka. Kutarik nafas dalam-dalam,
mencoba menetralisir adrenalin yang terasa terus meningkat. Hembusan dingin udara
malam itu menambah suasana makin mencekam.
Sore hari sebelumnya, pemerintah di Jakarta sudah mengumumkan mulai malam ini
akan dilakukan operasi penumpasan Gerakan Separatis di bumi Serambi Mekah,
Nangroe Aceh Darussalam. Mereka menamakan dirinya Gerakan Aceh Merdeka. Malam
ini juga semua kesatuan dari ketiga matra Darat, Laut dan Udara ditambah Brimob
mengirimkan pasukannya.
“Ado kesini, masuk ke ruangan” terdengar suara memanggilku dari sebuah
ruangan yang baru saja kulewati. Tanpa berpikir panjang aku berbalik dan memasuki
ruangan itu.
Tampak sunyi, hanya ada satu orang yang duduk di sebuah kursi di pojok
ruang. Seseorang yang terlihat tegang juga wajahnya, namun tetap menunjukkan
gestur wajah berwibawa. Seseorang yang selama ini sangat kami segani.
“Duduklah di sini Ado” katanya sambil menggeserkan sebuah kursi, seolah
melayani aku seperti seorang tamu. Aku sempat heran, tidak seperti biasa
kalimat yang keluar dari tutur kata orang ini begitu bersahabat. Biasanya
lantang, terdengar membentak dan berapi api.
“Iya pak, ada tugas yang bisa saya kerjakan?” tanyaku sembari mengatur posisi
duduk agar terlihat bahwa aku menaruh hormat pada dia.
“Malam ini kamu tidak berangkat bersama kami, kamu mendapat misi lain”
jelasnya terkesan hati-hati.
“Kita akan diterbangkan tepat pukul satu malam. Sebelum Subuh semua harus
sudah diterjunkan di Juleu Rayeu, kampung yang menjadi wilayah operasi kita”
lanjut Letnan Kusno, komandan misi ini.
“Tetapi kamu akan menempuh jalur darat, perkiraan empat hari kamu sampai di
Deli”
Duh Gusti Allah, tugas apa lagi yang harus aku emban? pikirku.
Pandangan mata mendadak perlahan mengabur, Letnan Kusno terus berbicara panjang lebar menjelaskan misi yang diberikan
kepadaku. Suaranya terdengar semakin samar-samar, seiring tekanan psikologis
yang makin menyesakkan dadaku. Aku nyaris tidak bisa mendengarkan lagi kalimat
apa yang keluar dari mulut pimpinanku itu.
Hanya kalimat “Iya pak, siap pak” yang keluar dari bibirku setiap kali
Letnan Kusno berbicara.
“Akan ada tim penjemput sesampai kamu di Deli, jangan lupa sandi kita”
tutup dia di akhir pembicaraan.
Letnan Kusno menjabat tanganku seraya menggenggam erat “Selamat bertugas
Ado, Insya Allah kita bertemu di Juleu Rayeu” senyum dan tatapan berwibawanya
sontak menyadarkanku dari lamunan.
“Siap, akan saya pertaruhkan jiwa raga untuk misi ini, demi keutuhan NKRI”
tak kalah bersemangat aku menjawabnya.
Diluar sana samar samar masih terdengar hiruk pikuk kesibukan pasukan
pengemban misi ke tanah rencong.
“Ado bantu saya menyiapkan parasut” pinta Letnan Kusno.
Dengan seksama ku periksa parasut, lipatan dan simpul talinya.
“Bagiamana dengan ini Ado?” dia mengulurkan sebuah AK 47, kuperiksa amunisi
dan switch pelatuknya.
“Semua ready Letnan, siap menghabisi anggota separatis” tegasku seraya
membantu mengemas ransel parasut dan senjata AK 47 miliknya.
“Terima kasih Ado, semoga Allah meridhoi pengabdian kita” kembali dia
menjabat tanganku. Itulah kalimat terakhir yang kudengar dari Letnan Kusno.
Setengah jam kemudian, kutatap iring-iringan truk keluar dari barak mengangkut
pasukan misi menuju pangkalan udara Juanda. Aku lambaikan tangan kepada setiap
truk yang melintasi gerbang.
***************
Empat hari perjalanan darat dari Surabaya ke Deli Serdang terasa sangat
melelahkan. Perasaan tegang dan cemas kini bercampur aduk jadi satu.
“Deli .. Deli … terminal terakhir” teriak kernet dan kondektur bis lintas
pulau yang membawaku selama perjalanan empat hari ini.
Aku keluarkan sebuah sapu tangan untuk menyeka keringat di wajah. Lalu
kulipat separuh, kuselipkan kembali disaku celana belakang dengan posisi sebagian
terjurai keluar lubang saku.
Suasana tampak mulai gelap. Lazuardi di langit kota Deli sudah menggantikan
sang surya yang tenggelam beberapa saat sebelumnya.
Turun dari bis, ku tengok ke kanan kiri. “Semoga tim penjemput segera
melihatku” harapku cemas.
Terdengar suara seseorang bernyanyi di sudut terminal sambil bermain harmonika.
Aku tersenyum dan merasa lega, lagu yang dinyanyikan orang itu memang untukku.
Bergegas aku menghampirinya, terlihat sapu tangan dengan motiv warna yang sangat
kuhapal melilit di tangan kirinya.
“Kepak Sayap Sang Garuda” teriakku seraya menjabat tangannya.
“Letnan Kusno gugur dalam pendaratan, terjadi baku tembak dengan Gerakan
Separatis selama dua jam di Juleu Rayeu.”
bisik dia.
“Ketika pasukan kita mendarat, Gerakan Separatis sudah menunggu di sana”
sambungnya.
“Delapan kawan juga telah pergi mendahului kita” kali ini bisikannya
terdengar lebih lirih.
Kerongkonganku terasa mengering, aliran darah seketika seperti terhenti.
Terlintas dalam bayanganku jabat tangan dan kalimat terakhit dari Letnan Kusno
malam itu. Aku terdiam, tak menjawab bisikan kawan yang menjadi tim
penjemputku.
Kedua bola mataku terasa memanas, beruntung aku memakai kaca mata hitam,
hingga buliran netra yang mengumpul di sudut pelupuk mata tak terlihat.
Tak pernah terlintas sedikitpun sebelumnya bahwa Letnan Kusno akan
pergi untuk selama-lamanya dalam misi ini. Kutarik nafas dalam-dalam, kembali
kuusap keringat di wajah.
Ah, meski beliau kini telah tiada
di dunia, tapi aku percaya Letnan Kusno akan tetap hidup di hatiku, dan tentunya di hati tiga ratus orang anak
buahnya yang dia bawa ke tanah rencong malam itu.
cerita ini saya dedikasikan untuk ribuan anak bangsa yang gugur selama terjadi konflik di Aceh. Baik dari TNI, Polri, GAM maupun rakyat sipil.
#ODOP
#tantangan_hari_keempat
Kereen
BalasHapusKereen
BalasHapusTerima kasih ..
BalasHapusMasih amatiran mbk tulisan saya.