Demo buruh di depan Grahadi - image google |
Matahari belum terbit. Subuh baru saja berlabuh. Tetapi geliat rutinitas para perantau sudah dimulai. Di perbatasan kota Surabaya dan Sidoarjo. Sebuah kawasan industri, jauh
dari kampung halaman.
Ribuan, atau mungkin puluhan ribu orang meninggalkan kampung halaman. Terpisah dari orang tua, saudara, bahkan istri dan anak. Tanah kelahiran yang pernah mengukir cerita indah di masa kecil itu mereka
tinggalkan demi satu tekad : ingin hidup lebih baik.
Bukan berarti hidup di kampung halaman itu kurang baik. Tetapi kota besar masih menawarkan fatamorgana yang mampu menyihir pola pikir orang-orang desa dengan sugesti 'merantaulah untuk merubah jalan hidupmu'.
Mereka berangkat dengan bekal buliran netra ibu-ibu mereka ke tanah rantau. Tetesan air mata bening yang menjadi cermin betapa jernihnya cinta para orang tua kepada buah hatinya.
Ya, mereka orang-orang desa itu berangkat hanya bermodal cinta dan berbalut harapan dari keluarga. Hanya itu yang mereka tahu.
Saat berangkat, mereka tak pernah tahu apa itu Upah Minimum. Alih-alih menuntutnya. Bisa mendapatkan sebuah pekerjaan saja, sudah luar biasa bahagianya. Lalu dengan bangga mengabarkannya kepada orang tua di kampung halaman sana.
Namun, hidup di kota besar dan berada di tengah komunitas ratusan ribu, bahkan jutaan pekerja, lambat laun merubah pola pikir orang desa. Mereka mulai dikenalkan apa yang disebut Upah Minimum. Hak pekerja. Serta kewajiban pengusaha.
Mereka juga mulai dipertunjukkan praktek-praktek ketidakadilan, ketidakterbukaan, dan kecurangan. Tentunya dari kacamata pekerja.
Tapi mau bagaimana lagi. Iya memang begitulah dinamika perburuhan di Indonesia.
Salah satu isu yang selalu menghangat bagi mereka adalah kenaikan Upah Minimum Regional / Kabupaten (UMR/K). Unjuk rasa dengan aksi turun ke jalan selalu mewarnai gedung Grahadi, Kantor Gubernur Jatim setiap menjelang bulan-bulan akhir seperti sekarang.
Kamis 29 September 2016 kemarin, ribuan buruh ngluruk kesana. Demi menuntut kenaikan UMK 2017 sebesar Rp. 550.000,00. Demi mendapatkan upah dengan minimum level Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sekali lagi dari kacamata pekerja.
Syah-syah saja aksi mereka.
Sebatas dilakukan dengan beretika, tidak anarkis, bermartabat, dan tidak mengganggu hajat hidup orang banyak. Karena jika boleh jujur, kita tak pernah tahu bahwa upah yang kita terima sekarang sebenarnya sudah layak kah?
Sebandingkah dengan dedikasi kita? Pantaskah untuk harga kemampuan kita?
Hanya hati masing-masing pekerja yang bisa menjawabnya.
Untuk sahabat-sahabat saya yang setekad di tanah rantau, jauh dari Ibu, Ayah dan saudara, tetaplah bersemangat. Tidak usah memikirkan moment diatas. Sudah ada yang memperjuangkan sampean semua. Tetap bekerja sekeras-kerasnya. Demi menjawab harapan dan doa orang-orang tercinta kita.
Kepada sahabat-sahabat saya yang mendapat amanah menjadi penyambung lidah pekerja, selamat berjuang. Jadikan amanah ini sebagai ladang untuk ibadah dan mendapatkan ridho-NYA.
Jalan hidup yang kita pilih sebagai perantau ini adalah jalan yang akan mengantarkan kita menjadi pribadi-pribadi mulia. Peluh dan keringat kita akan dihitung sebagai ibadah.
Jangan mengeluh, apalagi menyalahkan keadaan. Memusuhi atasan. Jangan!
Teruslah
bekerja. Jangan sia-siakan waktu bergulir tanpa makna. Kita tatap hari-hari kedepan dengan tekad seperti saat kita memutuskan merantau dulu : ingin hidup lebih baik.
Berjanjilah
kepada orang tua, istri dan anak bahwa mereka akan melihat sahabat sekalian pulang
membawa keberhasilan. Menjawab semua doa dan harapan mereka.
Salam bahagia.
(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
keren mas heru :)
BalasHapusseandainya para pekerja punya pola pikir macam ini.
terima kasih mas Ian
HapusIngin hidup lebih baik. Kalimat sederhana penuh perjuangan
BalasHapusbegitulah mbk Estina
HapusKebaikan upah umk selalu didahului kenaikan harga sembako yang jauh lebih mahal Dari nominal itu sendiri
BalasHapusItu lagu lama mbakyu, selalu begitu.
HapusBener mbak wid...bahkan upah S1 seorang guru masih di bawah upah buruh lulusan SMA di sebuah pabrik..
BalasHapusBener mbak wid...bahkan upah S1 seorang guru masih di bawah upah buruh lulusan SMA di sebuah pabrik..
BalasHapuswah??
Hapusmosok to Lis??
keren.. :)
BalasHapusmatur suwun mbak Mual limah
Hapus