image google |
1.
PUNTADEWA
Kahyangan Suralaya,
Sang Hyang Manikmaya sedang berkumpul dengan Bathara
Narada dan Bathara Darma di Kahyangan Suralaya. Mereka mendengar doa dari Prabu
Pandudewanata.
“Kakang Narada, turunlah ke Arcapada. Ajak Bathara Darma untuk menolong Pandudewanata. Bantulah
istrinya yang sedang berjuang melahirkan jabang bayi!” perintah Bathara Guru.
“Prokencong
prokencong, pakpakpong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong … sendika dhawuh, Adi Guru!” jawab Bathara
Narada.
Melesatlah dua Dewa itu dari Kahyangan Suralaya. Menembus
tujuh lapis langit. Menuju Arcapada, istana Astina. Hendak mengabulkan doa dari
Prabu Pandudewanata.
Para kerabat Astina seketika menghaturkan sembah dan
hormat, menyambut kehadiran dua utusan Kahyangan Jonggring Saloka. Bathara
Narada dan Bathara Darma.
“Prokencong
prokencong, pakpakpong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong … Adi
Bathara Darma, menyusuplah ke ubun-ubun Kunti. Keluarkan jabang bayi itu!”
saran Bethara Narada.
“Baiklah, kakang Narada.” Jawab Bathara Darma. Sesaat
Dewa Kesabaran itu menghilang. Masuk ke ubun-ubun Dewi Kunti.
Pecah tangis seorang jabang bayi laki-laki.
Tanpa terlihat proses persalinannya, si jabang bayi telah
berada dalam gendongan Bathara Darma. Saat membacakan mantra Ajian Kunta Ciptaning Tunggal, Dewi
Kunti memang menginginkan Dewa Kesabaran itu yang datang.
“Prokencong
prokencong, pakpak pong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong … Kuberi nama bayi ini Puntadewa. Kelak dia
akan menjadi kesatria yang jujur, sabar dan berhati mulia!” Sabda Bathara
Narada.
“Terima kasih, pukulun.”
Ucap Prabu Pandudewanata kepada dua Dewa yang menolong istrinya.
“Kami pamit, Pandu.” Jawab Bathara Darma.
Melesat lagi dua Dewa itu menuju Kahyangan Jonggring Saloka.
Meninggalkan orang-orang di Astina yang sedang merayakan kebahagiaan atas
kelahiran putra pertama Prabu Pandudewanata. Puntadewa.
*****
Terasa belum lama Astina diliputi suasana sukacita atas
persalinan Dewi Kunti. Baru saja Dewata menganugerahi mereka dengan seorang
putra mahkota. Calon pewaris tahta Prabu Pandudewanata.
Kebahagiaan itu terhenti sesaat.
Para prjaurit Astina melaporkan bahwa di alun-alun telah
datang sepasukan besar bangsa raksasa dari negeri Garbasumandha. Dipimpin
langsung oleh rajanya. Prabu Yaksadarma.
“Biar kuselesaikan pasukan bangsa makhluk jelek itu!”
sesumbar Harya Ugrasena. Adik Prabu Basudewa yang masih singgah di Astina.
Saudara Dewi Kunti itu segera bergegas menuju alun-alun.
Tidak tega iparnya bertarung sendirian, Prabu Pandudewanata menyusul Harya
Ugrasena. Dua saudara ipar itu menghadang pasukan Garbasumandha.
“Hei Pandu, jangan merasa sok menjadi lelaki sendiri.
Hutang kepala bayar kepala!” tantang Prabu Yaksadarma, ketika berhadap-hadapan
dengan Prabu Pandudewanata.
“Sejengkalpun aku tak akan mundur, Yaksadarma!” jawab
raja Astina.
Terjadi adu kadigdayan antara dua raja dari bangsa yang
berbeda.
Prabu Yaksadarma, raja negeri Garbasumandha yang berwujud
raksasa melawan Prabu Pandudewanata, raja negeri Astina yang berwujud kesatria
gagah perkasa. Keduanya sama-sama pemimpin yang memiliki kadigdayan linuwih.
Tak jauh dari tempat pertarungan dua raja itu, Harya
Ugrasena juga terlibat adu kesaktian dengan Ditya Garbacaraka. Dendam kesatria
Mandura belum sirna atas kelicikan punggawa negeri Garbasumandha saat menyusup di
taman kaputren dan menculik Dewi Maerah.
“Kali ini kau tak akan bisa lolos, makhluk jelek!” seru Harya
Ugrasena.
Adik ipar Prabu Pandudewanata itu langsung menggeber
senjata tombaknya. Berkelebatan menerjang Garbacaraka. Sedikitpun lawannya
tidak diberi kesempatan untuk menata kuda-kuda dan membalas serangan.
Sebuah terjangan dari Harya Ugrasena mengantarkan mata
tombaknya menusuk jantung Garbacaraka. Roboh bersimbah darah.
Ditya Garbacaraka tewas di alun-alun Astina!
Pada detik yang sama, Prabu Pandudewanata berhasil
menyambar kepala Prabu Yaksadarma dengan pusakanya, tombak Kyai Karawelang. Menebaskan sekuat tenaga, hingga putus leher sang
raja raksasa.
Sama seperti patihnya Kaladruwendra, Prabu Yaksadarma
juga meregang nyawa dengan kepala terlepas dari batang leher.
Semburat para prajurit Garbasumandha berlarian menyelamatkan
diri. Mereka kocar-kacir meninggalkan Astina.
*****
Hari berganti minggu, bulan bergulir menjadi tahun.
Puntadewa tumbuh menjadi sosok kesatria muda yang berbudi pekerti luhur. Ia
memiliki watak jujur, sabar, tenang, adil dan tidak pernah mau berkelahi, meski
harga diri dan kehormatannya di injak-injak.
Para Dewa pun menjulukinya sebagai Sang Ajatasatru, yang
berarti tidak memiliki musuh, tidak mau berkelahi. Orang-orang juga menyebutnya
sebagai Samiaji, Darmaputra, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Kantakapura,
Yudhistira (sukma Prabu Yudhistira, raja bangsa jin dari hutan Amarta yang
dikalahkan Puntadewa menitis ke raga Puntadewa).
Puntadewa juga mendapatkan wahyu dari Dewa berupa pusaka Jamus Kalimasada, Payung Tunggul Naga, Keris
Kyai Kopek, Sumping Prabang Ayun,
Sangsangan Kalung Robyong. Serta Tombak Kyai Karawelang warisan ayahnya,
Prabu Pandudewanata.
Dalam keadaan terdesak dan terancam, jika Kalung Robyong yang menyatu di kulit
lehernya ia sentuh, maka Puntadewa akan berubah wujud menjadi Brahala Sewu. Sosok raksasa menakutkan
yang hanya bisa diredam amarahnya oleh titisan Bethara Wisnu.
Jamus Kalimasada merupakan sebuah kitab. Dalam perang
Bharatayuda, Puntadewa membacakan isi
pusaka ini dan berubah wujud menjadi anak panah berbentuk tombak yang
menewaskan senopati Kurawa, Prabu Salya.
Ketika mengembara ke berbagai negeri tetangga karena
menjalani hukuman pengasingan akibat tipu daya Patih Sengkuni, Puntadewa
berhasil memenangi sayembara di negeri Pancala. Ia berhak mendapatkan Dewi
Drupadi yang kemudian diperistrinya.
Dari pernikahannya dengan Dewi Drupadi, Puntadewa
mendapatkan satu orang putera bernama Pangeran Pancawala.
Hubungan Puntadewa
dengan Syiar Islam Kanjeng Sunan Kalijaga
Salah satu ulama besar di tanah Jawa yang sangat tersohor
dalam kisah sembilan wali (Walisongo) adalah Sunan Kalijaga.
Beliau juga dikenal sebagai seorang Dalang yang melakukan
syiar Islam melalui media pagelaran wayang kulit. Kanjeng Sunan tahu bahwa masyarakat
Jawa ketika itu sangat menyukai seni yang menggunakan alat peraga berbahan
kulit sapi.
Perlahan-lahan Kanjeng Sunan Kalijaga menggubah beberapa pakem (alur cerita) wayang kulit dari
versi aslinya asal Jambudipa (India). Melogikakan
dengan ajaran agama yang masih baru bagi orang-orang Jawa.
Kesatria tertua Pandawa, Puntadewa merupakan
pengejawantahan dari rukun Islam yang pertama. Syahadat.
Puntadewa memiliki pusaka sakti berupa Jamus Kalimasada
yang berarti adalah Jimat (siji sing dirumat
– pertama yang harus dipegang, diucapkan) yaitu Kalimasada. Kalimat Syahadat.
“Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan
Rasuulullah”
Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Baca cerita sebelumnya tentang Kisah Puntadewa [ Disini ] dan [ Disini ]
Catatan
:
Arcapada =
bumi, dunia
Prokencong
prokencong, pakpakpong pakpak pong, waru doyong di tegor uwong = kalimat
latah yang sering diucapkan Bethara Narada.
sendika dhawuh = siap
laksanakan
pukulun = panggilan kepada DewaBathara Narada - image google |
Puntadewa - Foto Dokumen Pribadi |
kunta itu artinya senjata ya?
BalasHapusNama senjata, nama ajian.
Hapusenak yaa klo lahiran ala dewi kunti
BalasHapusIyo Lis,
BalasHapusRa usah jahitan 😂😂
Owh gitu ya.. padahal sebenernya cerita aslinya asal India itu nggak gitu ya mas??
BalasHapusIya betul.
HapusItulah kejelian Kanjeng Sunan untuk mengambil hati orang Jawa.
Mungkin karena cara syiar agama yg dilakukn saat itu mlalui media wayang dg cerita itu mkanya sampai saat ni msh bnyk ajran yg sbnarnya bkn berasal dr agma islam . Jd kdg msh ad pngaruh hinduna gt
BalasHapusSejarah Jawa memang tak bisa lepas dr Hindu, dan Kanjeng Sunan Kalijaga memahami itu.
HapusBaru tahu jambudipa itu india.
BalasHapusIya Aa,
Hapusada yg menyebutnya Jambudipa, Jambudwipa
keren..gedheg-gedheg aku kang
BalasHapusmatur suwun mbakyu
HapusMas Heru imajinatif bangettt, unsur budaya dan seninya kuattt :)
BalasHapusterima kasih mbk Indah
Hapus