Pandawa - image google |
4-5.
NAKULA - SADEWA
Pasukan Pringgodani datang menyerang … pasukan
Pringgodani datang menyerang!
Gegap gempita bala tentara Astina dipimpin tiga senopati segera menghadang kawanan bangsa raksasa. Arya Banduwangka, Arya Bargawa
dan Arya Bilawa. Mereka adalah kesatria pilih tanding yang telah mengabdi lama
kepada Prabu Panudewanata.
“Bargawa, Bilawa, lindungi istana kaputren!” perintah
Arya Banduwangka.
“Biar aku menahan mereka disini!” lanjutnya.
“Sendika dhawuh, kakang!” jawab Arya Bargawa dan Arya
Bilawa serempak. Mereka segera meninggalkan senopati tertua Astina yang telah
menjadi panglima perang sejak era pemerintahan Prabu Krisnadipayana. Arya
Banduwangka.
Arya Bargawa dan Arya Bilawa melesat ke istana kaputren.
Dengan sigap mereka segera memerintahkan para prajurit menutup rapat-rapat gerbang
tempat tinggal Ratu Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Formasi bertahan pun disiagakan
mengelilingi istana itu.
Sementara di Alun-Alun, Arya Banduwangka langsung
menggeber pasukannya. Meski sudah tua, tetapi kegesitan senopati senior Astina
itu tetap seperti saat ia masih belia. Senjatanya menari-nari diantara kawanan
bangsa raksasa. Menumbangkan satu per satu pasukan Pringgodani.
“Keroyok!” perintah pangeran Arimba. Putra Mahkota sekaligus panglima perang Pringgodani.
Sontak empat raksasa maju mengepung Arya Banduwangka.
Mereka adalah senopati Pringgodani yang juga adik Prabu Tremboko. Raden
Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa.
Bukan Arya Banduwangka jika gentar menghadapi keroyokan
empat senopati Pringgodani. Satu langkah pun ia tidak mundur. Kesatria tua
Astina itu terus memainkan ilmu kanuragan. Membuat cukup keteteran empat raksasa
yang mengepungnya.
Beberapa saat imbang dalam pertarungan satu lawan empat,
akhirnya tenaga Arya Banduwangka mulai menurun. Dalam sebuah pergumulan, Raden
Brajadenta berhasil menyambar kaki sang senopati tua Astina.
Arya Banduwangka terjungkal, belum sempat jatuh ke tanah,
Raden Brajamusti dan Raden Brajalamatan mengunci kedua tangan dan kakinya.
Disusul Raden Brajawikalpa yang menyambar kepala lalu menggigit urat lehernya.
Putus!
Arya Banduwangka roboh dengan leher bersimbah darah.
Gugur sebagai kesatria Astina.
“Gusti Arya Banduwangka meninggal … Gusti Arya
Banduwangka meninggal!” teriakan para prajurit Astina bersahut-sahutan
terdengar hingga ke istana kaputren.
Prabu Pandudewanata yang sejak tadi masih tenang dan
menetap di dalam istana bersama kedua istrinya, akhirnya keluar menemui para
penjaga kaputren,”habisi mereka, Bargawa, Bilawa. Nanti aku menyusul!”
perintahnya.
“Sendika dhawuh, gusti prabu!” jawab keduanya serempak,
lalu melesat ke alun-alun Astina.
Melihat Arya Banduwangka terkapar di tengah palagan
dengan darah bercucuran dari leher, dua senopati muda Astina mengamuk.
Arya Bargawa dan Arya Bilawa seperti kesetanan. Keduanya
menjelma seperti Dewa Kematian bagi pasukan Pringgodani. Empat raksasa yang
tadi mengeroyok Arya Banduwangka dihajar habis-habisan.
Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti babak belur oleh
Arya Bargawa. Sementara Raden Brajalamatan dan Raden Brajawikalpa jatuh bangun
melawan Arya Bilawa.
“Mundur!” teriak Pangeran Arimba dari belakang barisan pasukannya.
“Jangan mundur!” potong Prabu Tremboko. Raja Pringgodani
itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Arya Bargawa dan Arya Bilawa.
Sesaat dua senopati Astina ternganga melihat sosok yang
menghadang mereka. Prabu Tremboko bukanlah lawan tanding yang mudah dikalahkan. Ia
adalah murid kesayangan dari Prabu Pandudewanata.
“Keluar engkau, Prabu Pandu!” teriak Prabu Tremboko.
“Lawan aku, muridmu. Kita buktikan siapa yang lebih hebat
antara Astina dan Pringgodani!” sesumbarnya.
Prabu Tremboko tersentak ketika seseorang menepuk-nepuk
pundaknya. Entah datang darimana, orang yang ditantangnya telah berdiri di
belakangnya.
“Sungguh mulia perbuatanmu, Tremboko.” ucap Prabu
Pandudewanata.
“Maafkan aku, guru. Hari ini kita harus bertarung hingga
titik darah penghabisan. Anggap saja kita adalah dua kesatria yang sama-sama
mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsanya!” balas Prabu Tremboko.
“Apa maksud ucapanmu?” tanya sang guru.
“Semua sudah jelas, tidak ada lagi yang perlu dibahas,
guru!” jawab murid.
“Jika aku kalah, ini adalah cara seorang guru mengirim
muridnya ke swarga loka. Sebaliknya, andai guru yang kalah, ini adalah bhaktiku
untuk mengirimmu ke swarga loka!" tutup Prabu Tremboko. Tanpa basa-basi lagi,
raja Pringgodani dengan berani melayangkan serangan kepada gurunya. Prabu
Pandudewanata.
Kedigdayaan dan kehebatan raja Astina yang sudah tersohor
bukanlah hanya omong kosong. Tanpa kesulitan ia menangkis pukulan demi pukulan
muridnya.
Prabu Tremboko mencabut pusaka pamungkasnya, Keris
Kalanadah. Tak kalah gertak, sang guru Prabu Pandudewanata juga mengeluarkan
Keris Pulanggeni. Dua senjata ampuh itu saling beradu.
Prabu Pandudewanata tidak mau berlama-lama menguras
tenaga. Ia ingin menyelesaikan lebih cepat pertarungan sekaligus memberi pelajaran
kepada murid yang dianggapnya durhaka. Meski sebenarnya pertarungan itu adalah
hasil adu domba Harya Suman.
Dengan sebuah gerakan yang belum pernah diajarkan kepada
sang murid, Prabu Pandudewanata berhasil mengecoh Prabu Tremboko. Disusul
hunjaman Keris Pulanggeni yang ia tancapkan tepat ke jantung raja Pringgodani.
Prabu Tremboko terkapar tak berdaya. Berjuang melawan
maut oleh pusaka gurunya.
Prabu Pandudewanata tersenyum,”tenanglah dalam istirahat
panjangmu di alam sunyaruri, Tremboko!” ucapnya lirih. Ia puas bukan sekedar bisa mengalahkan murid durhakanya, tetapi juga karena kutukan Resi
Kindama tak terbukti.
Prabu Pandudewanata dan Dewi Madrim telah melakukan adu
asmara ketika membawa Lembu Andini berkeliling jagat raya seharian tadi.
“Hahaha .. aku masih hidup, Kindama! Kutukanmu tak
berlaku untukku!” tertawa puas Prabu Pandudewanata. Ia tidak menyadari bahwa
Prabu Tremboko dengan sisa-sisa tenaganya bangkit lagi. Lalu menancapkan Keris
Kalanadah ke arahnya.
Prabu Pandudewanata masih sempat mengelak. Serangan Prabu
Tremboko gagal menembus jantung sang guru. Tetapi tendangan kaki raja Astina yang
menangkis sabetan Keris Kalanadah membuat pusaka yang terbuat dari taring
Bathara Kala itu justru menancap di kakinya.
Sang guru pun
ikut roboh, bersamaan dengan tumbangnya Prabu Tremboko yang menghembuskan napas
terakhir.
Melihat rajanya tewas, kocar-kacir pasukan bangsa raksasa dari Pringgodani berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan Astina.
Prabu Pandudewanata yang kesakitan segera dibawa masuk ke istana Astina.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member
Of OneDayOnePostBaca cerita selanjutnya [ Disini ]
Cerita sebelumnya [ Disini ]
mantabb kali mas Heru ceritanya, jdi kaya ikut didalangi.. hihi
BalasHapusHahaha ..
HapusTrims mas Ran
Tulisannya keren berbobot dan khasnya ka heru :D
BalasHapusHeheeee ..
HapusIseng ini Put
Waduh.. Ketinggalan banyak nih. Tiba-tiba udah seru aja.
BalasHapus