image google |
3.ARJUNA
“Ya Jagad Dewa Bathara! ... kemana bayiku?” jerit Dewi Kunti.
Astina gempar!
Bayi yang baru saja dilahirkan Ratu Dewi Kunti berubah
menjadi seberkas cahaya putih lalu terbang menghilang. Prabu Pandudewanata,
Begawan Abiyasa dan para punggawa Astina yang mengejarnya kehilangan jejak.
Laju cahaya itu melesat secepat kilat.
Padahal bayi itu baru saja dilahirkan dengan penuh
perjuangan. Prabu Pandudewanata harus mencari Kitiran Seta hingga ke goa Krendhasara. Tempat sepasang raksasa pemiliknya
tinggal. Ditya Pisaca dan Ditya Pisaci.
Kitiran Seta adalah satu-satunya pusaka yang menurut petunjuk Dewa sanggup mengeluarkan
jabang bayi yang dikandung Dewi Kunti.
“Lole-lole .. mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita ... sabar gusti prabu!” Kyai Lurah Semar Badranaya
menenangkan bendaranya, Prabu Pandudewanata.
“Kemana hilangnya cahaya itu, kakang Semar?” masih panik
sang raja Astina.
“Sabar, sabar … Wong
edan!” seru Bagong.
Plak!
Terompah Kyai Lurah Semar Badranaya mendarat di bibir putra
sulungnya. Bagong.
“Tidak edan gimana? Gusti Prabu Pandudewanata sedang
kehilangan bayinya kok disuruh sabar!” omel Bagong.
“Bocah edan!” bentak Kyai Lurah Semar Badranaya kepada Bagong lagi.
“Podho Edane!”
timpal Gareng laru lari terbirit-birit meninggalkan ruangan. Menghindari lemparan terompah Kyai Lurah Semar Badranaya yang melayang ke wajahnya.
Canda para abdi Astina, Punakawan belum juga mampu menghilangkan
kepanikan yang melanda seisi istana. Dewi Kunti terus menangis. Sementara suaminya, Prabu
Pandudewanata hanya berjalan mondar-mandir.
“Sabar gusti Prabu Pandudewanata. Putra paduka sedang
menuju Kahyangan. Mari kita susul kesana.” Ucap Kyai Lurah Semar Badranaya.
*****
Istana taman langit,
Seberkas cahaya putih yang bersinar terang benderang mendarat di Kahyangan Kawidaren, tempat para bidadari berkumpul. Semua terkesima melihat auranya.
Seberkas cahaya putih yang bersinar terang benderang mendarat di Kahyangan Kawidaren, tempat para bidadari berkumpul. Semua terkesima melihat auranya.
Hiruk pikuk itu terdengar oleh para Dewa penjaga
Kahyangan Kawidaren. Mereka menghadap Sang Hyang Manikmaya, raja istana taman
langit. Mengutarakan niat hendak menghajar sosok cahaya putih yang
menggemparkan para bidadari.
Datang Kyai Lurah Semar Badranaya mengantarkan Prabu
Pandudewanata, “Lole-lole .. mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita ... sabar .. sabar pukulun!” cegahnya.
“Sembah dan bhaktiku untuk kakang Bathara Ismaya.” Sang
Hyang Manikmaya mencium tangan Kyai Lurah Semar Badranaya yang tak lain adalah
kakak kandungnya. Juga titisan dari leluhur para Dewa. Sang Hyang Ismaya.
“Kuterima sembahmu, adi Guru. Pangestuku untukmu.” Balas Kyai Lurah Semar.
“Ada apa gerangan hingga Kahyangan mendapat tamu
kehormatan?” tanya Bathara Guru. Sang Hayang Manikmaya.
“Lole-lole .. mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita ... Adi Guru, aku mengantarkan bendaraku Prabu Pandudewanata. Junjunganku ini sedang kehilangan
jabang bayinya. Ketahuilah, sekarang putranya sedang berada di Kahyangan
Kawidaren.” jawab Kyai Lurah Semar Badranaya menjelaskan tujuan kedatangannya
ke Kahyangan.
“Oh, begitu. Baiklah kakang Ismaya, biar Bathara Indra
menjemputnya. Bukankah anak itu adalah saripati dari benih Pandudewanata yang
disempurnakan adi Indra?” ucap Bathara Guru.
“Betul adi Guru.” jawab Kyai Lurah Semar Badranaya.
Dengan menggunakan Aji Pameling, Sang Hyang Manikmaya
memanggil Bathara Indra. Dewa Hujan.
“Adakah tugas yang harus kuemban pukulun?” sembah Bathara
Indra ketika dalam sekejap sudah hadir paseban kahyangan. Menemui Bathara Guru
yang sedang menerima kedatangan Bathara Ismaya bersama bendaranya. Prabu Pandudewanata.
“Benih dari Pandu yang tertanam pada buah Pertanggajiwa, dulu pernah engkau
sempurnakan ke rahim Kunti. Sekarang bayi itu sedang berada di Kahyangan
Kawidaren. Jemput dan bawalah kemari.” Perintah Sang Hyang Manikmaya.
Dahulu, ketika Prabu Pandudewanata menginginkan putra
ketiga, Dewi Kunti membacakan mantra Ajian
Kunta Ciptaning Tunggal dengan menyebut nama Bathara Indra. Dewa Hujan (Dewa Petir) itulah
yang diinginkan menyempurnakan roh kepada benih suaminya.
Tak berselang lama, Bathara Indra telah kembali dengan
menggendong seberkas cahaya putih terang benderang. Lalu diserahkannya kepada
Sang Hyang Manikmaya, “kuhaturkan ini kepada pukulun.”
Seketika cahaya berubah menjadi jabang bayi laki-laki,
lalu Bathara Guru menguulurkan kepada ayah si jabang bayi.
“Pangestu pukulun,
semoga menjadikan bocah ini sebagai kesatria sejati.” Sembah Prabu
Pandudewanata.
Ayah angkat si jabang bayi, Bathara Indra ikut membekali putra
Kunti dengan pusakanya, “Brahmasta
ini akan kubekalkan kepadanya. Pusaka ini akan menjadi senjata paling ampuh di
Arcapada. Ia mampu membelah bumi, melongsorkan gunung dan membalikkan samudera!”
Sang Hyang Manikmaya menyerahkan bayi dalam gendongannya
kepada Prabu Pandudewanata, “Kembalilah ke Arcapada, temui Basudewa di Mandura.”
titahnya.
“Sendika dhawuh, pukulun.” jawab sang raja Astina.
“Lole-lole .. mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita ... Aku pamit!” ucap Kyai Lurah Semar
Badranaya.
“Pangestu
kakang Ismaya.” Sang Hyang Manikmaya dan Bathara Indra mencium tangan Kyai
Lurah Semar Badranaya.
Jelmaan Sang Hyang Ismaya itu memegang pundak Prabu
Pandudewanata yang sedang menggendong bayinya. Mereka melesat meninggalkan Kahyangan
Suralaya. Menembus tujuh lapis langit. Mendarat di istana Mandura.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Baca cerita sebelumnya [ Disini ]
Cerita selanjutnya [ Disini ]
Catatan :
kitiran seta = kincir angin
bocah edan = anak sinting
wong edan = orang sinting
podho edane = sama-sama sinting
bendara = tuan, majikan
pangestu = doa restu
pukulun = panggilan kepada Dewa
sendika dhawuh = siap laksanakan
Lole-lole, mbegegeg ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Baca cerita sebelumnya [ Disini ]
Cerita selanjutnya [ Disini ]
Catatan :
kitiran seta = kincir angin
bocah edan = anak sinting
wong edan = orang sinting
podho edane = sama-sama sinting
bendara = tuan, majikan
pangestu = doa restu
pukulun = panggilan kepada Dewa
sendika dhawuh = siap laksanakan
Lole-lole, mbegegeg ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Sang Hyang Manikmaya (Bathara Guru) - foto dokumen pribadi |
Bathara Indra - image google |
hebat juga semar yaah
BalasHapusHahahaha...semar keren yaaa...
BalasHapusbenar ngga ya nama lain Arjuna itu raden parto? Tolong ya mas Heru, soale saya belum menemukan jawabannya...
BalasHapus