Pandawa - image google |
1.
PUNTADEWA
Pendopo
Garbasumandha, jelang kelahiran Puntadewa.
Tergopoh-gopoh Ditya Garbacaraka memasuki paseban agung.
Disana sudah menunggu Prabu Yaksadarma dan beberapa punggawa istana.
“Bagaimana Garbacaraka? Berhasilkah engkau membawa Dewi
Maerah untukku?” sambut Yaksadarma.
“Pasukan kita sudah berhasil menyusup ke taman kaputren
Mandura. Dewi Maerah juga telah kita bawa kabur.” jelas Garbacaraka.
“Lalu, dimana sekarang calon permaisuriku itu? Cepat bawa
kemari Garabacaraka!” tak sabar Prabu Yaksadarma.
“Ampun gusti prabu. Di tengah perjalanan ke
Garbasumandha, pasukan kita dihadang seorang kesatria Astina. Kami bertanding
hingga titik darah penghabisan. Tetapi kesatria itu licik, dia melarikan diri
bersama Dewi Maerah ke tengah hutan Mandura. Pasukan kita yang mengejarnya
kehilangan jejak.” ucap Garbacaraka, berbohong kepada
Yaksadarma.
“Siapa kesatria Astina itu?” tanya raja bangsa raksasa.
“Dia mengaku sebagai Prabu Pandudewanata.” jawab
Garbacaraka.
Brak!
Prabu Yaksadarma menendang tubuh Garbacaraka hingga
terjungkal menabrak sebuah meja yang ada di sudut pendopo istana. Matanya
melotot tajam. Kedua tangannya yang besar dan kekar terkepal, seakan-akan ingin
melayangkan pukulan lagi ke wajah utusan yang gagal membawa Dewi Maerah. Telah
berani berbohong pula.
“Mulutmu memang seperti busa! Aku tahu engkau sedang
berbohong. Sepuluh Garbacaraka pun tak akan mampu menandingi Pandudewanata!”
bentak Yaksadarma.
Gedebuk!
Tersentak Prabu Yaksadarma. Sebuah potongan kepala tanpa
tubuh tiba-tiba jatuh tepat di hadapannya. Beberapa punggawa yang hadir di
pendopo Garbasumandha serentak berteriak.
Patih Kaladruwendra!
“Ini pasti perbuatan Pandudewanata. Hanya manusia pemilik
kadigdayan linuwih yang mampu
menendang kepala Kaladruwendra dari Mandura ke Garbasumandha!” ucap Yaksadarma.
“Siapkan seluruh pasukan, kita ngluruk ke Astina!” perintahnya.
“Budhal!” jawab
para punggawa Garbasumandha serentak.
*****
Astina, jelang kelahiran
Puntadewa.
Begawan Abiyasa, Resi Bisma, Prabu Pandudewanata dan para
kerabat Astina sedang menunggu Dewi Kunti yang masih saja kesulitan melahirkan
bayinya.
Prabu Pandudewanata mulai resah. Pikirannya berkelana
dengan peristiwa sebelum Dewi Kunti dikarunia kehamilan. Mungkinkah ini bagian
dari kutukan Resi Kindama?
Raja Astina itu teringat ketika dia sedang berburu di
hutan Pramuwana bersama kedua istrinya. Saat itu Dewi Madrim melihat dua ekor
kijang. Ia pun meminta Prabu Pandudewanata memanahnya.
Anak panah Prabu Pandudewanata menembus dua ekor kijang
yang sedang kawin. Ternyata, hewan-hewan itu adalah jelmaan dari Resi Kindama dan
kekasihnya, Rara Dremi.
Tewas seketika!
Terucaplah kutukan dari si kijang jantan, “Wahai
Pandudewanata, aku mengutukmu bahwa engkau akan mati saat bersetubuh dengan
istri-istrimu!”
Guntur menggelegar!
Langit di hutan Pramuwana mendadak gelap. Kilat
menyambar-nyambar. Menandakan bahwa kutukan Resi Kindama dikabulkan Dewata.
Sejak itulah Prabu Pandudewanata tidak berani menyentuh tubuh
kedua istrinya, Dewi Kunti dan Dewi Madrim.
Artinya dia tak akan bisa mendapatkan keturunan yang menjadi penerus
tahta Astina.
Dalam penyesalan dan kesedihannya, raja Astina mengajak
Dewi Kunti dan Dewi Madrim pergi ke gunung Sapta Arga. Bertapa brata disana. Memohon
ampunan dosa terhadap dua ekor kijang yang dibunuhnya. Sekaligus meminta
petunjuk kepada Gusti Kang Makarya Jagad.
Dewata mendengar penyesalan dan doa Prabu Pandudewanata,
Dewi Kunti dan Dewi Madrim.
Ketika itu sedang lewat seorang pertapa sakti, Resi Dwurasa
yang juga guru semasa muda Dewi Kunti. Bahagia bukan main permaisuri Astina
bisa bertemu lagi dengan sang resi. Dia pun menceritakan masalah yang sedang
dideritanya.
Resi Dwupara bersedia menolong mereka. Pertapa sakti itu
memberikan sebutir buah Pertanggajiwa.
Ia menyarankan agar Prabu Pandudewanata mengheningkan cipta kembali.
Sejenak Prabu Pandudewanata kembali bertapa brata sembari
memangku buah Pertanggajiwa.
“Kini, saripati benihmu sudah menyatu ke buah Pertanggajiwa ini, gusti prabu.” Jelas Resi
Dwurasa kala itu.
Dipotongnya menjadi lima bagian buah Pertanggajiwa. Tiga potong diberikan kepada Dewi Kunti, dua potong untuk Dewi Madrim. Resi Dwurasa menyarankan kedua istri Prabu
Pandudewanata agar segera memakannya.
“Kunti muridku, tiga potong Pertanggajiwa telah tertanam
di dalam rahimmu. Ia akan tumbuh menjadi anak-anakmu kelak jika kau membacakan Ajian Kunta Ciptaning Tunggal yang
pernah kuajarkan dulu. Aturlah jarak kelahiran tiga putramu itu.” lanjut Resi
Dwurasa.
“Nanti jika ketiga putramu telah lahir, ajarilah Dewi
Madrim mantra itu.” tutup sang guru ketika itu.
Ajian Kunta Ciptaning
Tunggal adalah mantra yang pernah diturunkan Resi Dwurasa kepada
Dewi Kunti. Jika dibacakan, maka akan menitis keturunan Dewa ke rahim wanita
pemiliknya.
*****
Lamunan Prabu Pandudewanata buyar ketika Begawan Abiyasa
menepuk pundaknya, “Sudahlah, putraku. Jangan bersedih terus seperti ini.”
Resi Bisma yang ada disampingnya menganjurkan agar Prabu
Pandudewanata melakukan tapa brata kembali. Meminta petunjuk dan memohon
pertolongan untuk Dewi Kunti.
Masuklah raja Astina itu ke sanggar pamujan, tempat ia biasa bersemedi. Sesaat Prabu Pandudewanata
mematikan segala cipta rasa duniawi. Pikirannya berkelana menghadap ke Sang Penciptanya.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member
Of OneDayOnePostBaca cerita sebelumnya [ Disini ]
Cerita selanjutnya [ Disini ]
Jgn lama2 Mas heru yg nglanjutin critanyaa...
BalasHapushahaha ...
BalasHapusoke dech
berarti pandawa lahirnya dr biji dong yaaa, seperti bayi tabung..hehehe
BalasHapus😁😁😁bayi tabung...
Hapusberarti pandawa lahirnya dr biji dong yaaa, seperti bayi tabung..hehehe
BalasHapusDudu biji Lis, tapi daging buah Pertanggajiwa.
BalasHapusBijine di untal Dewi Gandari, dadi Kurawa.
Keren nih Mas Heru, hafal bgt sejarah..
BalasHapusTernyata pandawa dari biji baru tahu hehe
BalasHapusTernyata pandawa dari biji baru tahu hehe
BalasHapuseehh penasarann jadinyaa....
BalasHapusSaya baru sadar, para pujangga kita dahulu sudah mengenal bayi tabung sebelum ditemukan oleh ahli medis sekarang
BalasHapus