image google |
4-5.
NAKULA - SADEWA
Pendopo Astina,
“Lancang Tremboko!” teriak Prabu Pandudewanata lantang.
“Berani sekali dia melawanku!” lanjutnya sembari bersesumbar.
“Raja Pringgodani itu harus dihukum!” Harya Suman mencoba
memprovokasi, menambah amarah rajanya
semakin tersulut.
Prabu Pandudewanata berdiri dari singgasana. Kedua
tangannya terkepal. Matanya membelalak. Hampir saja ia berlari keluar pendopo,
mengejar utusan negeri Pringgodani, Raden Arimba. Beruntung Resi Bisma dan Yama
Widura menahan Prabu Dewanata, lalu menenangkan agar tidak serta merta
terpancing emosinya.
“Sabar kakang Prabu Pandu. Jangan gegabah menjatuhkan
hukuman kepada Prabu Tremboko,” ucap Yama Widura.
“Hendaknya kita selidiki dahulu, kenapa bisa menjadi
keruh seperti ini hubungan Astina dan Pringgodani,” timpal Resi Bisma.
Penasehat istana.
Prabu Pandudewanata kembali duduk di singgasananya.
Tangannya masih memegang selembar daun lontar yang diserahkan oleh Harya Suman.
Amarahnya belum reda.
Prabu Tremboko mengirim pesan bahwa Pringgodani berniat
memutuskan hubungan diplomatik dengan Astina. Jika Prabu Pandudewanata tidak
terima dan berniat menghukumnya, ia siap mempertahankan diri kapan pun.
“Engkau terlalu memberi peluang kepada Tremboko.
Bagaimanapun juga, dia tetaplah bangsa raksasa. Setelah mengangkatnya menjadi
murid, sekarang dia berniat melawan kita menggunakan ilmu yang telah
diperolehnya darimu, adi Prabu Pandu,” ucap Destaratra, saudara Prabu
Pandudewanata.
Hubungan baik antara Prabu Tremboko dan Prabu
Pandudewanata memang bukan sekedar persahabatan sebagai dua raja, tetapi juga
antara murid dan guru. Banyak ilmu kadigdayaan yang telah diajarkan sang raja
Astina kepada raja Pringgodani.
“Baiklah, aku akan
mengirim Patih Gandamana ke Pringgodani. Mintalah penjelasan kepada Prabu
Tremboko, apa maksud dia mengirim surat seperti ini!” perintah Prabu
Pandudewanata.
“Sendika dhawuh,
gusti Prabu.” Patih Gandamana menyembah, lalu beranjak pamit dari paseban agung
Astina.
Harya Suman menghela napas dalam-dalam. Raut mukanya memperlihatkan
mimik yang kecewa. Siasat yang dari tadi direncanakan gagal total.
*****
Pagi hari sebelumnya, ketika hendak menuju pendopo
Astina, Harya Suman bertemu dengan Raden Arimba, putra sulung sekaligus utusan Prabu
Tremboko. Raja negeri Pringgodani mengirim selembar daun lontar yang berisi pesan
kepada Prabu Pandudewanata.
“Serahkan saja padaku. Prabu Pandudewanata sedang murka
di paseban agung. Tidak ada seorangpun yang berani mengganggunya. Semua takut
menjadi pelampiasan amarahnya,” bujuk Harya Suman ketika itu.
“Baiklah, paman Harya Suman. Sampaikan salam hormat dan
bhakti kami kepada gusti Prabu Pandudewanata. Jika semua urusan telah selesai, Prabu
Tremboko pasti akan secepatnya sowan
ke Astina,” ucap Raden Arimba.
Utusan negeri Pringgodani itu termakan tipu muslihat
Harya Suman. Ia mengira Prabu Pandudewanata benar-benar sedang murka, sehingga tidak
berani mengganggunya. Surat dari Prabu Temboko pun dititipkan kepada punggawa
Astina yang mencegatnya.
Harya Suman membuka selembar daun lontar yang diserahkan Raden
Arimba.
Tertulis disana bahwa Prabu Tremboko meminta maaf karena
dalam beberapa waktu kedepan tidak bisa menghadap ke Astina, baik sebagai murid
maupun sebagai negeri sahabat. Hal ini disebabkan istrinya sedang melahirkan.
Setelah semua urusan selesai, dalam waktu tak lama sang raja Pringgodani
berjanji akan segera sowan ke Astina.
Tanpa berpikir panjang, Harya Suman merobek-robek daun
lontar yang dikirim Prabu Tremboko. Ia juga mengganti dengan tulisan tangannya
sendiri.
Dengan senyum penuh kelicikan, berangkatlah Harya Suman
menuju paseban agung Astina. Menghadap Prabu Pandudewanata untuk menyampaikan
surat dari Prabu Tremboko yang telah dipalsukannya. Memutarbalikkan isi pesan surat
asli.
Harya Suman adalah saudara kandung Dewi Gandari, istri
Destarastra (saudara Prabu Pandudewanata) yang dibawa dari Plosojajar saat
ditaklukkan dahulu.
Rencana Harya Suman untuk mengadu domba Prabu Tremboko
dengan gurunya, Prabu Pandudewanata awalnya berjalan mulus. Raja Astina sempat
terprovokasi oleh isi surat palsu.
Namun niatnya untuk menggempur Pringgodani dihalang-halangi oleh Resi Bisma dan
Yama Widura.
“Aku harus menyusun siasat baru.” Harya Suman bergumam
sambil mengelus-elus jenggot tipisnya. Matanya mendelik-delik memikirkan
rencana busuk berikutnya.
Duryudana, Dursasana, Citraksa, Citraksi dan Durmagatti
gemetaran mendengar pengakuan Harya Suman. Mereka juga hendak diajak pergi ke
Pringgodani. Mendahului Patih Gandamana.
“Paman Harya Suman berani sekali?” ucap Duryudana
terbata-bata.
“Semua ini demi melancarkan jalan untuk membawamu naik
tahta Astina, Duryudana!” tegas Harya Suman.
Sang paman lalu menjelaskan rencananya bahwa jika terjadi
pertumpahan darah antara Prabu Tremboko dan Prabu Pandudewanata, apalagi jika
sampai sang raja Astina kalah, maka dengan mudah ia akan menjalankan
siasat-siasat berikutnya. Rencana liciknya untuk mendorong Duryudana menguasai
warisan tahta negerinya.
“Hemmm, baiklah paman, kalau itu memang rencanamu. Engkau
memang pintar,” puji Duryudana, putra sulung Destaratra dan Dewi Gandari.
Setelah membisikkan sesuatu ke telinga Duryudana, Harya
Suman pun berseru kepada para keponakannya, “Ayo budhal ke Pringgodani!”
“Budhal!” jawab
para Kurawa serempak.
*****
Prabu Pandudewanata sedang bermain-main dengan ketiga
putranya, Puntadewa, Werkudara dan Arjuna di halaman istana, ketika Dewi Kunti
dan Dewi Madrim menghadapnya.
Dewi Kunti menyarankan agar buah Pertanggajiwa yang telah
mengandung saripati benih Prabu Pandudewanata segera disempurnakan menjadi janin.
Selain ketiga putra mereka sudah besar, saatnya Dewi Madrim juga memiliki
momongan sendiri. Meski selama ini ia sangat dekat dan menyayangi putra-putra
Kunti.
“Betul apa yang dikatakan permaisuri, adinda. Segera sempurnakan benihku yang telah
tertanam di rahimmu. Mintalah kepada Ratu Kunti untuk diajari mantra Aji Kunta Ciptaning Rahsa Tunggal,” ucap
Prabu Pandudewanata.
“Aku sangat menyayangi putra-putra kakak Kunti. Jika
nanti mengandung dan mempunyai bayi sendiri, aku takut kasih sayang kepada
Puntadewa, Werkudara dan Arjuna ini akan berkurang dan lama-lama hilang.” Dewi
Madrim mengelak, lalu mengusap-usap kepala ketiga putra Ratu Dewi Kunti.
“Tidak boleh begitu Dewi Madrim. Meski engkau nanti
memiliki momongan sendiri, Puntadewa, Werkudara dan Arjuna tetaplah putramu
juga. Aku pun berjanji akan menyayangi bayimu kelak seperti putraku sendiri,”
jelas Dewi Kunti.
“Baiklah, ajari aku Aji
Kunta Ciptaning Rahsa Tunggal,” jawab Dewi Madrim.
Prabu Pandudewanata mempersilahkan kedua istrinya
meninggalkan istana. Kembali ke kaputren, untuk menyempurnakan saripati benih
miliknya yang tertanam pada buah Pertanggajiwa di rahim Dewi Madrim.
Sampai di biliknya, Dewi Madrim dengan diajari Dewi Kunti
langsung mempelajari ajian yang dahulu diturunkan Resi Dwurasa.
Dalam tapa bratanya, istri kedua Prabu Pandudewanata itu
memohon kepada dua Dewa Kembar untuk datang menyempurnakan benih sang suami.
Bathara Aswan dan Bathara Aswin.
Dua Dewa yang menjadi tabib di Kahyangan Suralaya
mengabulkan permintaan Dewi Madrim. Ia pun mengandung jabang bayi kembar.
*****
Luar biasa senangnya Prabu Pandudewanata mengetahui kabar
kehamilan Ratu Selir. Ia sangat memanjakan istri kedua yang akan melengkapai
kebahagiannya sebagai suami dan ayah. Sang raja Astina pun menuruti apa pun
permintaan Dewi Madrim.
“Kakanda Prabu, aku ingin sekali bepergian tamasya
denganmu. Menaiki Lembu Andini, “
pinta Dewi Madrim suatu hari.
“Apa?” Prabu Pandudewanata membelalakkan mata. Terkejut
mendengar ucapan ratu selir yang sedang mengandung.
“Lembu Andini
adalah tunggangan kebesaran Sang Hyang Manikmaya. Tidak mungkin kita bisa menaikinya,
adinda,” jelasnya.
“Iya aku tahu, tapi entah kenapa ingin sekali rasanya
bisa menunggangi sapi Kahyangan itu bersama kakanda.” Dewi Madrim mengelus-elus
perutnya yang kian membesar.
Prabu Pandudewanata tidak menjawab. Dia bimbang.
Di satu sisi hatinya ingin sekali mengabulkan permintaan
sang istri yang sedang mengidam. Tetapi di sisi lain ia juga tahu bahwa apa
yang diidamkan Dewi Madrim adalah sesuatu yang mustahil. Sang Hyang Manikmaya
pasti akan marah jika mengetahui ada orang yang lancang menginginkan Lembu Andini. Tunggangan pribadinya.
“Kumohon, kakanda Prabu,” rengek Dewi Madrim.
“Baiklah, aku akan pergi ke Kahyangan Jonggringsaloka
menemui Sang Hyang Manikmaya. Semoga saja Bathara Guru mengabulkan
permohonanku, meminjam Lembu Andini
barang sehari saja,” ucap Prabu Pandudewanata.
Berangkatlah sang raja Astina menuju istana taman langit.
Menemui raja dari para Dewa. Sang Hyang Manikmaya.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member
Of OneDayOnePostBaca cerita sebelumnya [ Disini ]
Cerita selanjutnya [ Disini ]
Catatan :
sendika dhawuh = siap laksanakan
sowan = datang menghadap
budhal = berangkat
Harya Suman - foto dokumen pribadi |
Prabu Pandudewanata - image google |
Dewi Madrim - image google |
cihuuuyyy nakula sadewa ,,, kereen kak , masih tetap kereen
BalasHapusTerima kasih mbk Antika
HapusDasar.Sengkuni yaaa
BalasHapusDasar.Sengkuni yaaa
BalasHapusIyo, ancene resek wong iku.
HapusHehehe
Wah dewi madrim dan dewi kunti akur yoo... hihihi.
BalasHapus