3.ARJUNA
Brakkkk!
Arjuna melemparkan busur dan warangka anak panahnya begitu tiba di Sokalima.
“Guru telah berbohong!” teriak Arjuna dari halaman
padepokan.
Tiba dari Paranggelung, murid kesayangan Begawan Durna langsung melabrak gurunya. Kuda putih tunggangannya dilepaskan begitu saja
di kandang, tanpa ditambatkan. Sesekali Arjuna meringis menahan rasa sakit di
lengan kanan. Luka yang dialaminya masih mengeluarkan darah segar.
Begawan Durna berdiri di depan pintu, menatap
murid kinasih yang berjalan sambil memegangi luka.
“Tenangkan dirimua ngger.
Apa yang terjadi Arjuna?” sambut Begawan Durna.
“Guru membohongiku!” bentak Arjuna. Mulutnya
sesekali mendesis-desis. Anak panah Prabu Ekalya rupanya benar-benar
meninggalkan rasa yang teramat sakit.
“Ada apa sebenarnya? Ceritakan padaku, Arjuna.” ucap Begawan
Durna.
Sang guru berjalan keluar pondoknya. Tangannya dengan
cekatan mengambil beberapa lembar daun
tapak lima yang banyak tumbuh di halaman padepokan Sokalima.
Arjuna kembali berteriak setengah menjerit, ketika Begawan
Durna membubuhkan dedaunan yang baru saja dikunyahnya.
“Tahan sebentar, lukamu akan segera sembuh.” jelas Begawan
Durna.
“Aku tidak pernah membohongimu Arjuna. Katakan apa yang
telah kau alami di Paranggelung.” lanjutnya.
“Guru pernah mengatakan tidak akan menerima murid memanah
selain diriku. Tapi apa kenyataannya? Ilmu jemparing Palgunadi lebih mumpuni
dariku. Pasti guru telah mengajarinya tanpa sepengetahuanku!” protes Arjuna.
“Percayalah Arjuna, hanya engkau satu-satunya murid yang
kuajari ilmu jemparing.” Begawan Durna mencoba menenangkan murid kinasih.
“Bohong! Buktinya di Paranggelung banyak bertebaran
patung Begawan Durna!”” potong Arjuna.
“Benarkah? Siapa sebenarnya Palgunadi?” tanya sang guru.
“Dia ternyata raja di Paranggelung. Prabu Ekalaya!” jawab
Arjuna.
“Oh, ternyata begitu. Baiklah ngger, kita berangkat
ke Paranggelung sekarang!” ajak Begawan Durna.
Dua orang guru dan murid kesayangan memacu kuda
meninggalkan padepokan Sokalima. Menembus hutan Pancala, Astina dan Wiratha.
Mereka hendak menemui Prabu Ekalaya. Raja di negeri Paranggelung.
*****
“Mimpi apa aku semalam? Hingga hari ini seorang pertapa tersohor
bertandang ke istana ini!” sambut Prabu Ekalaya, ketika menemui dua tamu dari
Sokalima di pendopo istana Paranggelung.
“Terima kasih, gusti Prabu Ekalaya terlalu berlebihan memuji.” balas Begawan Durna.
“Ingat Arjuna, jangan melakukan tindakan tanpa seijin
gurumu. Apapaun yang terjadi nanti, percayalah bahwa semua ini kulakukan demi
dirimu.” bisik Begawan Durna kepada Arjuna. Mereka duduk berdekatan di lantai
paseban agung.
“Sebuah kehormatan bagiku, Mahaguru dari padepokan
Sokalima berkenan hadir ke Paranggelung.” penuh sukacita Prabu Ekalaya menjamu
kedatangan Begawan Durna. Sang raja memperlakukan tamunya hari itu
dengan jamuan termewah.
“Maaf gusti prabu, kenapa disini banyak sekali patung
hamba?” tanya Begawan Durna.
“Patung-patung ini dibuat di segala penjuru istana Paranggelung sebagai
bukti bahwa aku sangat mengagumi kedigdayaanmu, guru Durna.” jelas Prabu
Ekalaya.
“Tetapi tidak seharusnya paduka berbuat sepeti ini.
Apalagi berpura-pura sebagai pengembara bernama Palgunadi.” lanjut Begawan
Durna.
“Maafkan aku, guru Durna. Semua itu karena besarnya
keinginan untuk diterima di padepokan Sokalima!” Prabu Ekalaya mengutarakan alasan kenapa dia menyamar
sebagai Palgunadi ke padepokan milik Begawan Durna.
“Hari ini, sekali lagi aku memohon, terimalah menjadi
muridmu!” pintanya kembali.
Begawan Durna terdiam. Dia manggut-manggut sambil
menepuk-nepuk kaki Arjuna yang duduk bersila di sampingnya. Seolah memberi isyarat
agar sang murid mengingat-ingat pesan gurunya tadi.
“Baiklah, gusti Prabu Ekalaya. Hamba akan menerima paduka
sebagai murid tetapi dengan satu syarat!” tantang Begawan Durna.
“Katakana apa syarat itu, guru Durna? Apapun akan
kuberikan!” Prabu Ekalaya terus mengejar. Asa yang diimpikannya kini tumbuh
kembali.
“Berikan Cincin
Mustaka Ampal milik paduka!” tegas Begawan Durna.
“Apa?” terbelalak mata Prabu Ekalaya mendengar syarat
yang diajukan Begawan Durna. Ia tidak menyangka guru padepokan Sokalima itu
akan meminta pusaka yang menjadi sumber segala kedigdayaannya.
Cincin Mustaka Ampal sejatinya telah menyatu pada jari
kanan Prabu Ekalaya. Itu artinya dia harus memotongnya!
“Semua kembali lagi kepada gusti Prabu Ekalaya, hamba tidak
memaksanya.” balas Begawan Durna. Ia bangkit dari duduknya, pelan-pelan menarik tubuh Arjuna agar ikut berdiri. Lalu pamit pulang.
Belum jauh langkah Begawan Durna dan Arjuna meninggalkan
paseban agung Paranggelung, ketika Prabu Ekalaya berteriak, “Guru Durna,
lihatlah ini!”
Darah mengucur membasahi singgasana raja Paranggelung.
Tampak sebuah jari Prabu Ekalaya telah putus oleh sebilah pisau yang
digenggamnya. Cincin Mustika Ampal
terlihat pula berkilauan menempel disana.
Begawan Durna tersenyum penuh kemenangan, berbalik arah
lalu berjalan menghampiri Prabu Ekalaya seraya menepuk pundak sang raja, “Mulai
hari ini engkau adalah murid padepokan Sokalima!”
*****
“Dewi Anggraeni harus menjadi milikku!” tekad Arjuna dalam
hati.
Seminggu telah berlalu, tetapi bayang-bayang Dewi
Anggraeni belum bisa hilang dari ingatan Arjuna. Kecantikan permaisuri
Paranggelung itu masih saja mengusik hati kesatria penengah Pandawa.
Inilah untuk kali pertama sukma sang murid kinasih padepokan
Sokalima luluh lantak oleh pesona seorang wanita.
Di dalam biliknya, ia mengelus-elus jari keenam pada
tangan kanannya. Cincin Mustika Ampal berkilauan disana. Semakin menguatkan
tekad Arjuna untuk menemui Prabu Ekalaya kembali.
“Guru, ijinkan aku menghukum kesatria yang telah berdusta
dan lancang mematungkan sosokmu.” pamit Arjuna kepada Begawan Durna.
“Berangkatlah Arjuna. Kalahkan Prabu Ekalaya!” balas
Begawan Durna.
Sang Mahaguru padepokan Sokalima tersenyum. Dalam hati ia
sangat yakin murid kinasihnya akan
mudah mengalahkan raja Paranggelung. Potongan jari Prabu Ekalaya dengan Cincin Mustika Ampal kini telah menyatu pada tangan Arjuna.
*****
Prabu Ekalaya sedang berjalan bersama istrinya di taman
kaputren. Untaian senyum tak bisa lepas dari bibirnya, tatkala Dewi Anggraeni
bermanja ria dalam gandengannya. Menggelayut dilengan sang pemilik hati.
Kemesraan mereka buyar, ketika suara seseorang yang memanggil
nama Prabu Ekalaya memecah keheningan taman kaputren Paranggelung.
“Ekalaya, aku datang!” teriak Arjuna.
“Arjuna?” gumam Prabu Ekalaya.
“Aku datang untuk menghukummu, kesatria pendusta!”
tantang Arjuna.
“Apa maksudmu, Arjuna?” lanjut Prabu Ekalaya.
“Kesalahanmu dengan berpura-pura menjadi Palgunadi saat
datang ke Sokalima, juga kelancanganmu menciptakan patung guru Durna sebenarnya
tak pernah bisa termaafkan. Hari ini, murid Sokalima yang akan menghukum dosamu
itu!” sesumbar Arjuna.
“Bukan watak Ekalaya mundur sejengkalpun darimu! Kita
buktikan siapa murid Sokalima yang lebih digdaya memainkan jemparing!” balas
raja Paranggelung.
“Jika aku kalah, maka hari ini juga Arjuna akan mundur
dari padepokan Sokalima. Tetapi kalau engkau yang kalah, maka Dewi
Anggraeni harus menjadi milikku!” tantang Arjuna.
“Engkau bukan hanya akan mundur dari Sokalima, tetapi juga pergi ke neraka, Arjuna!” terpancing amarah Prabu Ekalaya mendengar nama
istrinya dijadikan pertaruhan.
Dibentangkan busurnya lebar-lebar. Sepuluh anak panah
sekaligus dicabut tanpa menunggu Arjuna menyiapkan kuda-kuda. Prabu Ekalaya langsung
melesatkan ke arah dada lawan.
Meleset!
Tak satupun anak panah Prabu Ekalaya mengenai tubuh Arjuna.
Kesatria penengah Pandawa yang kini ganti
merentangkan busurnya. Tangannya lincah mencabut sebuah anak panah dari
warangkanya. Sebuah cincin berkilauan tampak melingkar di salah satu jari kanan
Arjuna.
Prabu Ekalaya melihatnya, “Ternyata ini semua siasat
Begawan Durna.” Baru sadar sang raja Paranggelung oleh maksud kedatangan guru
padepokan Sokalima ke istananya dulu.
Sejurus kemudian, melesat anak panah Arjuna.
Menembus dada Prabu Ekalaya!
Menembus dada Prabu Ekalaya!
Darah segar mengucur keluar. Raja Paranggelung roboh di
hadapan istri tercinta. Dewi Anggraeni.
“Wahai Begawan Durna! Kelak saat kematianmu tiba, aku
sendiri yang akan datang menjemput sukmamu!” kutuknya sebelum menghembuskan napas terakhir.
Dewi Anggraeni menubruk tubuh suaminya yang
berlumuran darah. Ia mengguncang-guncang tubuh Prabu Ekalaya yang kini diam tak bergerak, "Kakanda, jangan pergi! bangunnnnnn ..! jangan tinggalkan aku ...!"
“Arjuna, sedkitpun engkau tak akan bisa memiliki aku. Cinta ini hanya untuk kakanda Prabu Ekalaya!” ucap Dewi Anggraeni, tangannya mencabut anak panah yang menancap di dada sang suami.
“Arjuna, sedkitpun engkau tak akan bisa memiliki aku. Cinta ini hanya untuk kakanda Prabu Ekalaya!” ucap Dewi Anggraeni, tangannya mencabut anak panah yang menancap di dada sang suami.
Tanpa berpikir panjang, anak panah Arjuna dalam genggamannya ditancapkan
ke ulu hati. Menembus jantung, hingga Dewi Anggraeni ikut tewas seketika. Ia mengakhiri hidupnya sambil memeluk jasad Prabu Ekalaya.
"Duh pepujaning atiku, kenapa engkau menempuh jalan bela pati?" ratap Arjuna menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Ia pun melakukan penghormatan terhadap dua jasad korban ambisi cinta pertamanya.
Selesai kremasi, Arjuna kembali meninggalkan negeri Paranggelung. Ia menolak penobatan diirnya untuk naik tahta, menggantikan raja yang baru saja dikalahkannya. Kesatria penengah Pandawa itu hanya bersedia mengabadikan nama Prabu Ekalaya.
Sebagai tanda cintanya kepada Dewi Anggraeni, Arjuna mengganti nama menjadi Palgunadi.
Sebagai tanda cintanya kepada Dewi Anggraeni, Arjuna mengganti nama menjadi Palgunadi.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member
Of OneDayOnePostBaca cerita sebelumnya [ Disini ]
cerita selanjutnya [ Disini ]
Catatan :
warangka = sarung (tempat) senjata
ngger = nak
kinasih = kesayangan
daun tapak lima = jenis daun tumbuhan obat
bela pati = bunuh diri untuk menjaga kehormatan
pepujaning atiku = pujaan hatiku
Prabu Ekalaya (Palgunadi) - image google |
Arjuna - foto dokumen pribadi |
Dewi Anggraeni - image google |
Jahat banget Arjuna..memisahkan dua orang yg saling mencintai...sukurin, nggak bisa memiliki.kan?
BalasHapusJahat banget Arjuna..memisahkan dua orang yg saling mencintai...sukurin, nggak bisa memiliki.kan?
BalasHapusYa ampun... arjuna.. segitunya ama dewi. Tapi dia baik yah.. gak mengambil kesempatan naik tahta gantiin ekalaya. Duh seru seru seru...
BalasHapus