image google |
2.WERKUDARA
Kadipaten
Gandaradesa,
“Bunuh bocah itu!” perintah Harya Suman.
“Mati kau, bocah hilang!” sesumbar Haryaprabu
Sabarasanta.
Sesaat setelah pulang dari pendopo Astina, Harya Suman
mendahului keberangkatan Yama Widura dan Patih Gandamana yang diperintah Prabu
Pandudewanata menjemput putranya di hutan Mandalasara.
Harya Suman menemui dua kerabatnya di Gandaradesa.
Haryaprabu Sabarasanta dan Haryaprabu Anggajaksa.
“Adikku, ada tugas mulia untuk kalian.” ucap Harya Suman.
“Apa yang harus kami lakukan, kakang Suman?” tanya
Haryaprabu Anggajaksa.
“Yama Widura dan Gandamana sedang menuju hutan
Mandalasara. Mereka akan menjemput anak Pandu yang kedua. Kita bunuh bocah itu sebelum
dijemput!” jelas Harya Suman.
“Kenapa bocah itu harus dihabisi, kakang?” tanya
Haryaprabu Sabarasanta.
“Firasatku mengatakan bocah itulah yang akan menjadi
penghalang bagi keponakan kita ini untuk menduduki tahta Astina kelak!” jelas
Harya Suman sambil menepuk-nepuk pundak dua bocah kecil di sampingmu.
Keponakan yang diajak Harya Suman ke Gandaradesa itu
adalah putra Dewi Gandari. Suyudana dan Dursasana. Keduanya masih kecil.
“Anggajaksa, tugasmu menghadang Yama Widura dan Gandamana
agar terhambat perjalanannya menuju hutan Mandalasara. Sementara engkau
Sabarasanta, bagianmu adalah menghabisi nyawa si bocah hilang!” perintah
punggawa baru kerajaan Astina itu.
“Budhal!” jawab Haryaprabu Sarabasanta dan Haryaprabu
Anggajaksa serempak.
*****
“Buka cadar kalian!” seru Patih Gandamana ketika
sepasukan bertopeng menghadang perjalanannya.
“Siapa kalian?” timpal Yama Widura.
“Kembalilah ke Astina, atau kalian akan menyesal!” ucap
Haryaprabu Anggajaksa yang menutupi wajahnya dengan cadar hitam.
Patih Gandamana yang dikenal temperamental seketika tersulut
amarahnya. Tidak menunggu lama-lama, ia langsung mencabut senjata. Diikuti pula
oleh Yama Widura.
“Serang ..!” seru Haryaprabu Anggajaksa kepada pasukan
Gandaradesa.
Dua punggawa Astina dikeroyok oleh Anggajaksa bersama
puluhan prajuritnya. Tetapi Patih Gandamana dan Yama Widura tidak gentar
sedikitpun. Mereka adalah kesatria pilih tanding yang tak mudah diringkus begitu
saja.
Ajian Blabag Panganthol-anthol milik Patih Gandamana,
menyapu bersih barisan pasukan Gandaradesa. Haryaprabu Anggajaksa lari tunggang
langgang menyelamatkan diri.
*****
Hutan Mandalasara,
Iring-iringan pasukan Gandaradesa dari kelompok
Haryaprabu Sabarasanta memasuki hutan yang telah porak poranda. Sebuah kereta
mengikutinya. Tampak Harya Suman beserta dua bocah kecil duduk didalamnya.
Kedatangan mereka disambut oleh auman seorang bocah
yang terbungkus selaput bening. Suaranya terdengar buas seperti singa dan
harimau.
“Hehehe … rupanya engkau si bocah hilang itu!” ucap Harya
Suman ketika bocah bungkus menghadang rombongan pasukan Gandaradesa.
Si bocah bungkus hanya mengaum.
“Bunuh dia, Sabarasanta!” perintah Harya Suman.
Haryaprabu Sabarasanta beserta pasukannya serentak
menyerang bocah bungkus dengan berbagai senjata. Ratusan anak panah, pedang
dan tombak menghujani tubuh berbalut selaput bening. Tetapi tak satu pun yang
bisa menggoresnya.
Merasa diperlakukan kasar, si bocah bungkus marah.
Ia mengamuk dengan menabrakkan diri ke barisan pasukan
Gandaradesa. Benturannya kuat hingga Haryaprabu Sabarasanta dan
prajuritnya kocar-kacir.
Harya Suman, Suyudana dan Dursasana kecil yang berada di
kejauhan merasa ngeri melihatnya, “Suyudana, kita pulang dulu ke Astina. Nanti kupikirkan
lagi rencana untuk membunuh bocah bungkus itu.”
Perlahan kereta Harya Suman mlipir dari hutan Mandalasara. Meninggalkan Haryaprabu Sabarasanta
dan anak buahnya yang jatuh bangun di hajar bocah bungkus.
*****
Sepeninggal Harya Suman dan Haryaprabu Sabarasanta, bocah
bungkus masih tetap mengamuk. Mengobrak-abrik apa saja yang masih tersisa di
Mandalasara. Bathara Bayu yang tiba disana, menghentikan amukan itu.
Dengan ilmu kadigdayaan sebagai Dewata, Bathara Bayu menelusup masuk
ke dalam selaput pembungkus si bocah.
“Hey, siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke bungkusku!”
ucap si bocah di dalam bungkus.
“Aku adalah ayah angkatmu, namaku Bathara Bayu. Dewa
Angin yang berasal dari Kahyangan Suralaya. Kedatanganku kesini untuk
menolongmu.” Jawab Bathara Bayu.
“Lalu, kapan aku bisa keluar dari bungkus ini dan melihat
dunia luar sana?” si bocah kembali bertanya.
“Sekarang saatnya engkau akan keluar dari bungkus.
Bertemu dengan orang tuamu yang telah lama menunggu di Astina. Prabu Pandudewanata
dan Ratu Dewi Kunti.” tutur Bathara Bayu.
“Tapi sebelum itu, aku akan memberimu busana dan bekal kadigdayan.” lanjut Sang Dewa Angin.
Bathara Bayu kembali mengeluarkan kadigdayaannya. Ia membekali si
bocah bungkus dengan Pupuk Mas Jarot Asem,
Anting Panunggul Manik Warih, Sumping Pundak Sinumpet, Kain Poleng Bang Bintulu Aji, Gelang Candrakirana, Kelatbahu Ceplok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde Bara.
“Kini tugasmu memecahkan selaput itu, Gajah Sena!”
perintah Bathara Bayu setelah keluar dari bungkus.
Gajah asal Kahyangan menendang si bocah bungkus. Di
injak-injak dan diterjang dengan kedua gadingnya. Selaput yang mengurung putra
Pandudewanata selama empat belas tahun pun pecah.
Begitu mengetahui pembungkusnya robek, sontak melompat
keluar seorang bocah. Tubuhnya kekar dan tinggi besar. Berdiri menantang di
hadapan Gajah Sena. Mengetahui bahwa hewan itu yang tadi menginjak dan
menendangnya, si bocah terpancing amarahnya. Dia balas menendang.
Gajah Sena terpental!
Si bocah mengejarnya. Menghajar lagi Gajah Sena tanpa
ampun, lalu mematahkan kedua gading hewan asal Kahyangan itu.
Putusnya kedua gading menewaskan sang putra Erawata,
tunggangan Bathara Indra. Gajah Sena berubah menjadi seberkas cahaya kuning
keemasan. Masuk dan menyatu ke raga si bocah.
“Anakku, kini sukma Gajah Sena telah menyatu dalam
tubuhmu. Kuberi nama engkau Bratasena, Bimasena. Gajah Sena yang dahsyat dan mengerikan!” tutur Bathara Bayu.
“Kedua gading Gajah Sena yang telah engkau putuskan juga
menyatu dalam jari jempolmu. Jika membutuhkannya, gading itu bisa keluar
memanjang. Kunamakan Kuku Pancanaka!”
lanjut Dewa Angin.
“Hemmmmmmmmmm …!” Bratasena hanya mengaum.
Ia berlari menuju dua orang penunggang kuda yang
dilihatnya baru saja memasuki hutan Mandalasara. Patih Gandamana dan Yama
Widura.
Tanpa ampun, Bratasena langsung menghajarnya. Dua utusan
Astina itu belum sempat memasang kuda-kuda. Sang Bimasena yang mengira Patih Gandamana
dan Yama Widura adalah kawan Haryaprabu Sabarasanta terus menyerang mereka
bertubi-tubi.
Jatuh bangun Patih Gandamana dan Yama Widura menahan pukulan
dan tendangan Bratasena.
“Hentikan ngger,
anakku Bratasena! Mereka bukan musuhmu!” seru Bathara Bayu.
“Hemmmmmmmmmm …” Sang Bimasena kembali hanya mengaum. Ia pun menghentikan
amukannya.
“Sembah dan bhakti kami untuk pukulun Bathara Bayu.” Ucap
Patih Gandamana dan Yama Widura sembari menghaturkan sembah kepada Dewa Angin.
“Aku terima sembah dan bhakti kalian. Semoga keselamatan
dan kemakmuran senantiasa dilimpahkan untuk orang-orang Astina.” jawab Bathara
Bayu.
Ditepuk-tepuk pundak Bratasena yang mulai reda amarahnya,
“Ngger anakku Bratasena, mereka ini
adalah utusan ayahmu Prabu Pandudewanata. Ikutlah dengan Yama Widura dan
Gandamana. Temui orang tuamu di istana Astina.”
“Hemmmmmmmmm … baiklah!” jawab Bratasena.
“Jaga dirimu baik-baik anakku. Jadilah kesatria pemberani
yang senantiasa membela kebenaran dan kebajikan!” tutup Sang Bathara Bayu.
Melesat Sang Dewa Angin meninggalkan Bratasena, Yama
Widura dan Patih Gandamana.
Kibasan tubuhnya berubah menjadi hembusan angin besar.
Menerbangkan setiap benda yang ada di hutan Mandalasara. Selaput pembungkus Bratasena ikut tertiup pula.
Melayang jauh dan jatuh di negeri Banakeling.
Kelak, bungkus
Bratasena itu akan dirawat oleh Begawan Sempani, seorang pertapa sakti di
Banakeling hingga tumbuh menjadi seorang bayi. Jayadrata namanya.
Setelah besar, dalam
perang Bharatayuda, Jayadrata tewas oleh bocah yang dulu dibungkusnya.
Bimasena.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member
Of OneDayOnePostBaca cerita sebelumnya [ Disini ]
Gajah Sena - image google |
Harya Suman - foto dokumen pribadi |
Bratasena - foto dokumen pribadi |
menarik sekali Mas
BalasHapusAjiane Bimasena jian uakeh tenan..
BalasHapusIyo Lis,
HapusDurung sing diperoleh Gedene mbesok iku
Selalu suka gaya bercerita yang ngalir kayak gini
BalasHapusKarena saya gk bisa bermain diksi Uncle,
HapusJadi menulis dg bahasa biasa aja spt ini.
Jauh dr kata2 indahnya Uncle
mantap mass..
BalasHapusMatur suwun mase
HapusMas heru. Gimana caranya menghafal semua nama-nama itu? Keren banget mas... aku sampai tercengang begini
BalasHapusLama prosesnya mbk Vinny.
HapusBertahun-tahun nonton wayang,
Heheee
Salut mas...
BalasHapus