Pandawa - image google |
4-5.
NAKULA - SADEWA
Hutan Pringgodani,
Masa kehamilan Dewi Madrim.
“Kita bongkar bebatuan itu!” ucap Arjuna.
“Hemmmm … biar aku yang membongkarnya!” timpal Werkudara.
Yama Widura bersama Werkudara dan Arjuna langsung berlari
menuju sumur upas yang kini telah
berubah menjadi bukit bebatuan. Rupanya mereka diam-diam mengikuti Harya Suman
dan Patih Gandamana.
“Sejak awal aku sudah curiga. Tidak mungkin Prabu Tremboko
berani menentang kakang Prabu
Pandudewanata. Ternyata ini semua akal-akalan Harya Suman,” ucap Yama Widura.
Sang Bimasena (Werkudara) hampir saja mengeluarkan Aji Banyu Braja untuk menyapu batu-batu
yang menimbun sumur upas. Namun seseorang dengan lantang melarang niat putra
kedua Prabu Pandudewanata itu.
“Hentikan!” seru lelaki tua yang tiba-tiba telah berdiri
dihadapan mereka.
“Jika kalian membongkar dan turun ke dalam sumur upas ini, maka gas beracun yang
ada di dalamnya bisa membahayakan nyawa kalian sendiri,” lanjutnya.
“Maaf, kisanak
ini siapa?” tanya Yama Widura.
“Aku Resi Gunabantala dari padepokan Arga Kumelun,” jawab
lelaki tua itu.
“Kebetulan aku sedang melewati tempat ini saat terjadi
keributan tadi,” lanjut Resi Gunabantala.
Pertapa dari padepokan Arga Kumelun itu lalu menjelaskan
bahwa dirinya bisa menolong Patih Gandamana yang tengah tertimbun di dalam sumur upas. Tetapi ia meminta syarat
bahwa Yama Widura harus mengabulkan keinginannya.
“Apapun akan kulakukan, asal kisanak benar-benar bisa menolong Patih Gandamana!” tegas Yama
Widura.
“Baiklah, kalian tunggu saja disini,” ucap Resi Gunabantala.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Menerpa pohon dan
menjatuhkan dedaunan hutan Pringgodani. Sesaat kemudian, Resi Gunabantala
berubah menjadi seekor landak putih.
Dengan gesit, landak jelmaan Resi Gunabantala menggali
tanah di dekat sumur upas. Semakin
dalam hingga menembus dasarnya, tempat Patih Gandamana tertimbun.
Keluarlah landak putih bersama Patih Gandamana yang
terkulai lemas karena menghirup gas beracun yang ada di dasar sumur upas. Yama Widura langsung berlari
memeluk sahabatnya.
Resi Gunabantala berubah ke wujud aslinya. Dengan
kedigdayaannya, pertapa sakti dari Arga Kumelun itu menetraslisir tubuh Patih Gandamana dari racun sumur upas.
“Semua ini ulah Harya Suman, kakang Gandamana. Dia telah
mengadu domba Astina dan Pringgodani,” jelas Yama Widura, setelah kondisi Patih
Gandamana berangsur membaik.
“Sebenarnya aku juga curiga, gusti Yama Widura,” jawab
Patih Gandamana.
“Diam-diam aku mengikuti gerak-geriknya. Dia datang ke
Gandaradesa dan Pringgodani untuk mencelakaimu,” lanjut Yama Widura.
“Keparat Harya Suman!” ucap Patih Gandamana.
“Aku pasti akan menuntut balas!” mata Mahapatih negeri Astina
itu membelalak. Keduanya tangannya terkepal. Giginya gemeletuk menahan dendam
dan amarah. Hampir saja ia mengeluarkan Kalung
Robyong Mustikawarih. Beruntung para punakawan baru tiba di tempat itu
buru-buru menghentikannya.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … tahan dulu gusti Gandamana!”
seru Kyai Lurah Semar Badranaya.
“Sekarang bukan saatnya gusti Patih Gandamana mengamuk. Simpan
amarahmu, nanti kita hajar Harya Suman sampai di Astina,” jelasnya.
“Tunggu pembalasanku, Harya Suman!” sesumbar Patih
Gandamana.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … terima kasih Resi Gunabantala.
Kalau engkau tidak ada di tempat ini, mungkin gusti patih kami sudah tiada,”
ucap Semar kepada pertapa sakti yang menolong Patih Gandamana.
“Sudah menjadi kewajibanku untuk menolong orang yang
tersakiti, Kyai Lurah Semar,” jawab Resi Gunabantala.
“Maaf, sekarang saatnya aku menagih janji kepada gusti
Yama Widura,” lanjut sang resi.
“Katakan apa yang kau minta, pasti akan kukabulkan, Resi,”
jawab Yama Widura.
“Aku memiliki seorang putri di padepokan Arga Kumelun
bernama Endang Sinduwati. Ia pernah bermimpi bertemu dengan adik dari Prabu
Pandudewanata yang mengaku bernama Raden Yama Widura. Setelah mimpi itu,
putriku selalu mendambakan paduka menjadi suaminya,” cerita Resi Gunabantala.
“Hari ini aku ingin sekali mewujudkan impiannya. Menikahlah
dengan putriku Endang Sinduwati, gusti Yama Widura!” pinta Resi Gunabantala.
“Apa?” Yama Widura terkejut mendengar permintaan Resi
Gunabantala.
“Duh sang resi, maaf beribu maaf. Bukannya aku bermaksud mengingkari
janji, tetapi ketahuilah bahwa aku ini sudah memiliki istri bernama Dewi
Padmarini. Putraku juga masih kecil,” jelas Yama Widura.
“Gusti Yama Widura, memiliki istri lebih dari satu demi
menepati janji yang telah terucap bukanlah tindakan tercela. Aku dan putriku
Endang Sinduwati sejak awal juga rela meski menjadi nomor dua,” tegas Resi
Gunabantala.
Yama Widura tidak menjawab.
Adik dari raja Astina, Prabu Pandudewanata itu hanya
menghela napas panjang. Diusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia
benar-benar bimbang.
“Kakang Badranaya, apa yang harus kulakukan?” ia akhirnya
meminta pendapat Kyai Lurah Semar Badaranaya.
“Mending aku saja yang ditawari? Kasihkan Bagong gusti!”
timpal Bagong.
“Bocah edan!”
bentak Gareng.
“Padune pingin!”
jawab Bagong.
“Podho edane! Sumingkira
kabeh!” Kyai Lurah Semar Badranaya mengusir kedua momongannya yang sedang
berulah.
“Lole-lole … mbegegeg
ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … Gusti Yama Widura, seorang
kesatria sejati pantang untuk ingkar janji. Terimalah permintaan sang Resi
Gunabantala, nikahi Endang Sinduwati. Monggo,
hamba kawal ke Arga Kumelun.” tegas Kyai Lurah Semar Badranaya.
“Baiklah, kakang Badranaya. Aku akan menuruti nasehatmu,”
jawab Yama Widura.
Berangkatlah Resi Gunabantala, Yama Widura, Arjuna
dikawal punakawan menuju padepokan Arga Kumelun. Mereka hendak mewujudkan
impian Endang Sinduwati menikah dengan Yama Widura.
Sementara Patih Gandamana bersama Werkudara disarankan Kyai
Lurah Semar Badranaya agar kembali ke Astina. Melaporkan keadaan yang sesungguhnya
terjadi antara Prabu Pandudewanata dan Prabu Tremboko.
Bahwa semua perselihan Astina dan Pringgodani hanyalah
akal-akalan Harya Suman.
*****
Pendopo Pringgodani,
masa kehamilan Dewi Madrim.
“Keparat Astina!” maki Prabu Tremboko.
Sang raja bangsa raksasa negeri Pringgodani murka. Putra
sulungnya Raden Arimba bersama seorang prajurit penjaga wilayah pinggiran
mengabarkan bahwa terjadi keonaran di daerah perbatasan. Pelakunya dua orang
punggawa Astina.
“Sebaiknya segera siapkan pasukan Pringgodani untuk
berangkat ke Astina, sebelum mereka semakin menjadi-jadi, gusti Prabu Tremboko,”
Harya Suman kembali memancing amarah raja Pringgodani.
“Terima kasih Harya Suman, engkau telah banyak
membantuku,” ucap Prabu Tremboko.
“Hehehe … tidak usah berlebihan, gusti prabu. Saya hanya
menjalankan kewajiban untuk menolong pihak yang tersakiti,” pura-pura Harya
Suman merendah. Ia pun pamit pulang ke Astina bersama para keponakannya Kurawa.
“Arimba, siapkan pasukan Pringgodani! Kita gempur Prabu
Pandudewanata!” sesumbar Prabu Tremboko.
“Budhal!” jawab
Raden Arimba.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Baca cerita sebelumnya [ Disini ]
Catatan
:
Bocah edan = anak
sinting
Padune pingin =
ngaku saja kepingin
Podho edane, Sumingkira kabeh = sama-sama sinting, sana pergi semua
Lole-lole, mbegegeg
ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Kyai Lurah Semar Badranaya (Sang Hyang Ismaya) - image google |
Gandamana - image google |
Harya Suman - foto dokumen pribadi |
Prabu Tremboko - image google |
Waah Sengkuni nggak sopan yaaa
BalasHapusYama Widura itu Arjuna?
BalasHapus