image google |
3.ARJUNA
Hutan
Setragandamayit, jelang pernikahan Arjuna dan Sembadra.
“Hahaha … menurutlah engkau menjadi santapanku!” sesumbar
kawanan raksasa yang menghadang langkah Werkudara.
“Hemmmmm … Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian.
Menyingkirlah!” jawab Werkudara.
Penghuni hutan Setragandamayit dari bangsa raksasa sontak
berhamburan keluar dari sarangnya saat mencium aroma manusia. Keberanian Werkudara
menginjakkan kaki di alas gung liwang liwung jalma moro jalma mati
membuat mereka meneteskan air liur.
Beramai-ramai kawanan pemangsa manusia itu mengepung
Werkudara.
“Hemmmmm … Waktuku tak banyak, pergi atau kuhabisi
kalian!” bentak kesatria kedua Pandawa. Kedua tangannya terkepal. Mata
Werkudara merah menyala. Pertanda Ajian Blabag
Panganthol-anthol telah ia keluarkan.
“Keroyok!” teriak raksasa yang berdiri paling depan.
Werkudara tidak mundur selangkahpun. Beberapa raksasa
yang mencoba menggigit justru patah tulang rahangnya. Rontok gigi mereka. Kulit
dan tubuh kesatria Pandawa sekeras batu.
Setelah bertahan beberapa saat, Werkudara balas menerjang.
Ia mengamuk seperti banteng terluka. Kawanan raksasa yang jumlahnya puluhan kocar-kacir
lari menyelamatkan diri.
“Hentikan!” seru sesosok raksasa berambut gimbal dengan membawa cambuk yang tiba-tiba
datang ke tempat kerusuhan itu.
“Ada apa ini? siapa engkau kesatria?” tanya makhluk berambut gimbal itu.
“Hemmmmm … Aku Werkudara, kesatria Pandawa dari Amarta.
Putra mendiang Prabu Pandudewanata, raja Astina!” jawab Werkudara.
“Apa tujuanmu datang ke Setragandamayit?”
“Aku ingin bertemu Dadung Awuk.” suara Werkudara mulai
merendah. Perlahan amarahnya yang sempat terpancing oleh kawanan raksasa mereda.
Kepalan tangannya mulai kendur. Ajian
Blabag Panganthol-anthol ia masukkan kembali.
“Akulah Dadung Awuk!” jawab makhluk berambut gimbal yang
ternyata adalah sosok yang sedang dicari Werkudara di hutan angker itu.
“Hemmmmm … Kebetulan sekali, aku tak perlu mencarimu ke
pelosok hutan Setragandamayit.” lanjut Werkudara.
“Kenapa engkau mencariku?” tanya Dadung Awuk.
“Aku ingin meminjam kerbau Danu darimu.”
“Untuk apa?”
“Sebagai persyaratan yang diajukan Prabu Kresna. Adikku Jlamprong
hendak meminang Wara Sembadra. Hanya kesatria pembawa kerbau Danu yang berhak
mempersunting putri mendiang Prabu Basudewa itu.” jelas Werkudara.
“Apakah engkau tidak tahu Werkudara, kerbau Danu itu
hewan piaraan Bathari Durga? Tak seorangpun kubiarkan mengganggu, apalagi
membawanya keluar dari hutan Setragandamayit!” tolak Dadung Awuk.
“Berikan kerbaumu sekarang juga!” nada suara Werkudara
meninggi lagi. Amarahnya kembali tersulut mendengar penolakan Dadung Awuk.
“Rupa-rupanya engkau tidak bisa diperingatkan baik-baik.
Kedatanganmu di hutan Setragandamayit ini hanya akan mengantarmu ke jalan kematian,
Werkudara!” sesumbar Dadung Awuk.
Belum sempat penggembala kerbau Danu memasang kuda-kuda,
tendangan keras Werkudara mendarat di dadanya. Dadung Awuk terjengkang. Mulutnya
meringis menahan rasa sakit. Tiba-tiba jambakan sang kesatria Pandawa telah
menyeretnya ke bawah sebuah pohon randu.
Tanpa ampun, Werkudara mengangkat tubuh Dadung Awuk dan
membantingnya ke batang randu. Belum sempat membalas, pukulan bertubi-tubi kembali
mengenai perut, dan wajah si penggembala kerbau Danu.
“Ampun Werkudara! Aku menyerah … aku mengaku kalah!”
ratap Dadung Awuk.
“Baiklah, engkau boleh meminjam kerbau Danu. Bawalah
untuk memenuhi persyaratan yang diminta Prabu Kresna.” tutup Dadung Awuk.
Empat puluh ekor kerbau milik Bathari Durga yang
digembalakan oleh Dadung Awuk digiring ke hadapan Werkudara. Binatang itu
berkulit hitam legam dengan kaki berwarna putih berkilauan.
*****
Kahyangan Suralaya,
jelang pernikahan Arjuna dan Sembadra.
“Sembah dan bhaktiku untuk kakang Bathara Ismaya.” Bathara
Guru mencium tangan kakaknya. Kyai Lurah Semar Badranaya.
“Lole-lole …
mbegegeg ugeg ugeg … hemel hemel … sadulit-dulita … Kuterima sembahmu adi
Guru.” jawab Kyai Lurah Semar Badranaya.
“Janur gunug kakang Ismaya menjengukku?” tanya
Bathara Guru, raja istana taman langit. Kahyangan Suralaya.
“Lole-lole …
mbegegeg ugeg ugeg … hemel hemel … sadulit-dulita … Aku ingin meminjam kayu
Dewandaru dari taman Cakrakembang dan gamelan Lokananta. Sekalian kumohon
kirimlah bidadari ke Arcapada untuk kami. Bendaraku
Raden Arjuna hendak meminang Wara Sembadra, putri Dwarawati. Adi Bathara Wisnu
mensyaratkan itu semua kepada calon pengantin laki-laki.” jelas Kyai Lurah
Semar Badranaya.
“Duh, kenapa harus menemui dan meminta ijin kepadaku?
Kakang Ismaya tentu bisa mengambilnya kapan pun.” jawab Bathara Guru.
“Lole-lole …
mbegegeg ugeg ugeg … hemel hemel … sadulit-dulita … Bagaimanapun juga, aku
harus menghormatimu sebagai raja di Kahyangan Suralaya, adi Guru. Baiklah, aku
akan membawanya untuk pernikahan Raden Arjuna dan Wara Sembadra.” tutup Kyai
Lurah Semar Badranaya.
Dengan Aji Pameling, Kyai Lurah Semar Badranaya memanggil pasangan muda di taman Cakrakembang Kahyangan, Bathara Kamajaya dan Bathari Kamaratih. Merekalah yang menyimpan kayu Dewandaru dan gamelan Lokananta saat pernikahan dulu.
Tak lama, Bathara Kamajaya, sang Dewa Asmara telah membawa permintaan Kyai Lurah Semar Badranaya ke paseban agung Kahyangan.
“Terima kasih pukulun.” timpal Arjuna sembari menyembah
kepada Bathara Guru dan Bathara Kamajaya.
Datang Bathari Wilutama mengantarkan putranya, Aswatama.
Ia mengutarakan keinginan hendak meminjam kayu Dewandaru, gamelan Lokananta dan
empat puluh bidadari.
“Putraku Aswatama ini mendapat amanah dari Prabu
Duryudana dan Begawan Durna. Kumohon kabulkanlah, Sang Hyang Manikmaya.” ucap Bathari
Wilutama.
“Terlambat engkau, Wilutama. Kakang Ismaya datang kemari
juga mempunyai maksud yang sama.” jelas Bathara Guru.
“Lole-lole …
mbegegeg ugeg ugeg … hemel hemel … sadulit-dulita … Pulanglah Wilutama,
Aswatama. Sampaikan kepada Duryudana, sudah menjadi garis takdir Dewata, Raden
Arjuna akan menikah dengan Wara Sembadra!” saran Kyai Lurah Semar Badranaya.
“Sendika dhawuh,
kakang Ismaya.” jawab Bathari Wilutama.
Aswatama tidak berkata sepatah katapun. Putra Begawan
Durna itu nyaris berontak. Tidak terima dengan perlakuan Bathara Guru yang
dianggapnya pilih kasih kepada Semar. Tangannya sudah terkepal. Sorot matanya
memerah.
Bathari Wilutama menarik lengan Aswatama dan cepat-cepat
membawanya melesat keluar dari paseban agung Kahyangan. Ia takut putranya tidak
bisa mengendalikan diri, hingga terjadi keributan dengan Kyai Lurah Semar
Badranaya. Penjelmaan dari Sang Hyang Ismaya, leluhur yang sangat ditakuti oleh
semua Dewa.
Tak lama setelah Bathari Wilutama dan Aswatama
meninggalkan paseban agung Kahyangan, Kyai Lurah Semar Badranaya dan Arjuna juga
pamit. Mereka kembali lagi turun ke Arcapada.
*****
Kendalisadha, jelang
pernikahan Arjuna dan Sembadra.
“Sembah dan bhaktiku untuk kakang Hanoman.” ucap Werkudara.
“Kuterima sembahmu, Werkudara. Selamat datang di
Kendalisadha.” sambut Hanoman. Saudara angkat Werkudara.
Antara putra kedua Prabu Pandu dan anak Dewi Anjani itu
masih memiliki ikatan tunggal Bayu. Werkudara disempurnakan dalam rahim ibunya
oleh Bathara Bayu, sementara Hanoman adalah anak dari Sang Dewa Angin. Bathara
Bayu.
“Janur gunung
engkau bertandang ke Kendalisadha. Ada apa Werkudara?” tanya Hanoman.
“Adikku Jlamprong hendak meminang Wara Sembadra, putri mendiang
Prabu Basudewa. Raja Dwarawati, kakang Prabu Kresna meminta persyaratan calon
pengantin lelaki harus bisa membawa kereta emas untuk tunggangan saat
pernikahan. Aku ingin meminjamnya darimu, kakang Hanoman.” jelas Werkudara.
“Gowo!” tegas
Hanoman.
Wanara Seta, nama lain dari Hanoman itu tanpa basa-basi langsung
menyanggupi permintaan saudara tunggal Bayunya. Kereta Emas kebanggan negeri
Kendalisadha ia serahkan kepada Werkudara.
“Hemmmm … terima kasih, kakang Hanoman. Aku pamit.” ucap Werkudara.
“Pangestuku untukmu
Werkudara. Berhati-hatilah.” jawab Hanoman.
Tuntas sudah Werkudara memperjuangkan adiknya, Arjuna untuk
mencari semua yang menjadi persyaratan peminangan Wara Sembadra. Ia pulang ke
Amarta membawa empat puluh ekor kerbau Danu dan kereta emas.
Belum jauh langkah Werkudara keluar dari gerbang
perbatasan negeri Kendalisadha, ketika ia berpapasan dengan Patih Sengkuni yang
dikawal Dursasana, Kartamarma, Citraksa, Citraksi dan Durmagati.
“Werkudara, apa kabarmu? Hehehe … ” tertawa
terkekeh-kekeh Patih Sengkuni.
“Hemmmm … seperti yang kalian lihat, aku masih gagah
perkasa, tak kurang apa pun.” jawab Werkudara.
“Hahaha … tak perlu kita berbasa-basi paman Harya Suman …
hahaha!” timpal Dursasana sambil tertawa terbahak-bahak.
“Serahkan kerbau Danu dan kereta emas itu kepada kami,
Werkudara!” ucap Dursasana.
Bruakkkkkkkk!
Werkudara langsung mencengkeram Dursasana dan melemparnya
ke atas kereta Patih Sengkuni, “Pikir baik-baik sebelum berbicara. Lihatlah
kalian sedang berhadapan dengan siapa!” bentaknya.
Dursasana meringis kesakitan, ia bahkan nyaris tak mampu
berdiri andai Patih Sengkuni tidak memapahnya. Kartamarma, Citraksa dan
Citraksi langsung mengeroyok Werkudara.
Datang Hanoman yang sejak Werkudara pamit tadi berfirasat
tidak enak. Kesatria berwujud kera putih itu menyusul saudaranya tunggal Bayu.
“Keparat kalian Kurawa!” teriak Hanoman mengetahui
Werkudara dikeroyok.
Ia langsung bergabung membantu Werkudara. Mereka mengamuk.
Tak ayal, Kartamarma, Citraksa dan Citraksi pun menjadi bulan-bulanan oleh
tendangan dan pukulan dua anak Bathara Bayu.
Tunggang langgang Patih Sengkuni membawa pergi keponakannya.
Para Kurawa memacu kereta sekencang-kencangnya. Menghindari amukan Sang
Bimasena dan Wanara Seta.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Catatan
:
Alas gung liwang liwung
jalma moro jalma mati = hutan belantara, setiap manusia yang
memasukinya akan mati
Sendika dhawuh = siap
laksanakan
Janur gunung = tumben
pukulun = panggilan kepada Dewa
Gowo = bawa
Pangestu = doa
restu
Lole-lole, mbegegeg
ugeg-ugeg, hemel-hemel, sadulit-dulita = kata latah Semar.
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Lole-lole = wahai manusia
mbegegeg = diam
ugeg-ugeg = bergerak
hemel-hemel = mencari makan
sadulit-dulita = sedikit
Kalimat ini mengandung pesan moral "Wahai manusia, jangan hanya diam. Bergerak dan berusahalah mencari makan (nafkah), meskipun hasilnya sedikit tidak apa-apa."
Kyai Lurah Semar Badranaya (Sang Hyang Ismaya) - image google |
Dadung Awuk - foto Suwadi Krijo Taruno |
Werkudara - foto dokumen pribadi |
wkwkwkwk..kapok kowe sengkuni..
BalasHapusHahaha. Seru seru seru...
BalasHapus