image google |
3.ARJUNA
Astina, jelang
pernikahan Arjuna dan Sembadra.
“Gusti Prabu Duryudana, putraku ini telah berhasil
membawa kayu Dewandaru, gamelan Lokananta dan empat puluh bidadari dari
Kahyangan,” ucap Begawan Durna, menutupi kegagalan Aswatama.
“Cocok!” jawab Prabu Baladewa, raja Mandura yang ikut
menunggu kedatangan Aswatama dan Patih Sengkuni di Astina.
“Tetapi di tengah perjalanan Arjuna mencegatnya. Aswatama
kewalahan dikeroyok oleh para punakawan. Merekapun berhasil merampas kayu
Dewandaru, gamelan Lokananta dan empat puluh bidadari itu.” Begawan Durna mengeleng-gelengkan
kepala. Menegaskan dustanya demi sang putra Aswatama.
“Keparat Arjuna!” umpat Prabu Baladewa.
“Sejak awal aku sudah mengira, para Pandawa pasti dengan
licik akan menggagalkan keinginan adik kita Burisrawa untuk mendapatkan Wara
Sembadra!” timpal Prabu Duryudana.
“Keparat Pandawa!” kembali Prabu Baladewa memaki-maki.
Tergopoh-gopoh Patih Sengkuni, Dursasana, Citraksa,
Citraksi dan Durmagati memasuki pendopo Astina. Wajah mereka babak belur. Darah
belum mengering dari sudut bibir dan pelipis mereka.
“Ada apa paman Harya Suman? Kenapa tubuh kalian penuh
luka?” tanya Prabu Duryudana.
“Kami telah bertarung habis-habisan dengan Dadung Awuk di
hutan Setragandamayit hingga berluka-luka seperti ini. Dengan penuh perjuangan
akhirnya empat puluh kerbau Danu berhasil kami bawa,” ucap Patih Sengkuni.
“Dengan sisa tenaga, kami menuju Kendalisadha. Kembali
bertarung matian-matian dengan kera jelek Hanoman. Kereta emas pun dapat kami
bawa ke Astina,” lanjut Patih Sengkuni.
Paman dari para Kurawa itu melirik ke arah Prabu Baladewa
dan Prabu Duryudana. Saat kedua raja yang sama-sama menjadi ipar Burisrawa itu
tidak menatapnya, Patih Sengkuni tersenyum puas.
Saat kedua menantu Prabu Salyapati (Prabu Baladewa dan
Prabu Duryudana) menghadapkan wajah ke arahnya, kembali Patih Sengkuni
meringis, berpura-pura menahan rasa sakit. Sesekali ia merintih-rintih.
Tentunya dengan kebohongan.
“Baguslah, sejak awal aku memang yakin kalian akan
berhasil membawa semua persyaratan yang diminta Prabu Kresna itu, paman!” ucap
Prabu Duryudana.
“Tapi nasib kami sial, gusti prabu. Saat tenaga sudah
habis itulah, datang Werkudara yang merebut kerbau Danu dan kereta emas.”
Kembali bersilat lidah Patih Sengkuni.
Mendengar cerita Sengkuni, Burisrawa yang sangat
berhasrat meminang Sembadra merengek-rengek kepada kedua kakak iparnya. Ia
merasa harapannya kini semakin menipis. Hanya istri kakaknya Dewi Erawati,
Prabu Baladewa yang bisa membatalkan pernikahan Arjuna dengan Wara Sembadra.
“Duh kakang Prabu Baladewa, kakang Prabu Duryudana.
Mending aku mati daripada gagal mempersembahkan syarat yang diminta Prabu
Kresna,” ratapnya kepada kedua kakak ipar.
“Keparat Werkudara!” amarah Prabu Baladewa semakin
memuncak.
Raja Mandura berdiri sambil berkacak pinggang. Ditendang
keras-keras tempat duduknya hingga terpental keluar pendopo Astina. Matanya
merah menyala, pertanda sedang murka.
Tak ada yang berani berbicara. Jika Prabu Baladewa sedang
marah seperti itu, siapa pun bisa dijadikan pelampiasan. Semua yang hadir di
pendopo Astina terdiam, takut salah berbicara.
“Hei Pandawa … Baladewa sendiri yang akan menghajar
Arjuna dan Werkudara!” teriaknya sambil menepuk-nepuk dada.
“Budhal!” tutup
sang raja Mandara.
Arak-arakan pasukan Astina dengan dipimpin Prabu
Duryudana berangkat ke Dwarawati. Dikawal oleh raja Mandura, Prabu Baladewa.
Kakak dari Roro Ireng, Wara Sembadra yang sedang menjadi primadona para
kesatria muda.
*****
Istana Jajarsewu,
jelang pernikahan Arjuna dan Sembadra.
“Klabangcuring, bawa Wara Sembadra kemari!” perintah
Prabu Kalapardha.
Raja negeri Jajarsewu yang dihuni bangsa raksasa itu
telah lama mendengar kecantikan Wara Sembadra. Melalui tapa brata, ia bisa
berkelana sukma hingga ke negeri Dwarawati. Disana Kalapardha terkesima melihat
pesona putri mendiang Prabu Basudewa.
“Sendika dhawuh,
gusti prabu,” jawab Kala Klabangcuring.
Kyai Togog Wijamantri, abdi dalem para raja raksasa mengingatkan, hendaknya Prabu
Kalapardha mengurungkan niat untuk ngluruk ke Dwarawati. Selain akan
menimbulkan masalah, Prabu Kresna dan Pandawa bukanlah tandingan para punggawa
Jajarsewu.
“Gusti Prabu Kalapardha, sebaiknya urungkan keinginan
paduka untuk meminang kusumadewi Wara Sembadra,” tutur Kyai Togog Wijamantri.
Jelmaan dari Sang Hyang Antaga, yang juga kakak kandung dari Sang Hyang Manikmaya
atau Bathara Guru.
“Kenapa kakang Togog?” tanya Prabu Kalapardha.
“Dwarawati selain dipimpin titisan Bathara Wisnu, juga
ada Pandawa yang dikawal Kyai Lurah Semar Badranaya. Dia adalah kakakku Sang
Hyang Ismaya, titisan dari para leluhur Dewata,” jelas Kyai Togog Wijamantri.
“Bukan watak Kalapardha untuk mundur dari siapapun. Meski
ia seorang Dewa!” sesumbar raja Jajarsewu.
“Baiklah, aku hanya bisa mengawal dan menjadi penunjuk
jalan ke Dwarawati. Sampai disana, hadapilah sendiri para kesatria Pandawa,”
tutup Kyai Togog Wijamantri.
“Budhal!” seru Kala Klabangcuring.
Berangkaylah pasukan Jajarsewu dipimpin Kala
Klabangcuring, Kala Kurandha dan Kala Kulbandha menuju Dwarawati. Misi mereka
adalah memboyong Wara Sembadra ke hadapan Prabu Kalapardha untuk dijadikan
istri.
*****
Istana Dwarawati,
jelang pernikahan Arjuna dan Sembadra.
“Lihatlah Wara Sembadra, betapa megah arak-arakan
Arjuna,” ucap Prabu Kresna sambil menepuk-nepuk pundak adik perempuan
satu-satunya. Dari pendopo Dwarawati, ia menunjuk ke arah alun-alun.
Sang kakak mencoba menghibur dan membesarkan hati Wara
Sembadra yang beberapa hari ini resah. Ia khawatir jika kesatria yang berhasil
memenuhi sesembahan ke Dwarawati bukan Arjuna. Kekasih hatinya.
Tersiar kabar bahwa selain Arjuna, ada Burisrawa dan
Prabu Kalapardha yang siap bertaruh memperebutkan dirinya. Padahal ia hanya
menaruh hati kepada sang kesatria penengah Pandawa.
Hari itu, semua tetua Pandawa, Mandura, Dwarawati dan Astina telah berkumpul disana. Hadir pula utusan dari Kahyangan Suralaya, Bathara Narada yang menjadi perwakilan para Dewata, atas undangan titisan Bathara Wisnu. Prabu Kresna, raja Dwarawati.
Wara Sembadra menatap ke arah alun-alun Dwarawati. Tampak
Arjuna berada di atas kereta emas Kendalisadha, berhiaskan kembang mayang kayu Dewandaru
dari Kahyangan Cakrakembang. Di belakangnya berjalan melenggak-lenggok
empat puluh bidadari. Di kawal Dadung Awuk beserta empat puluh ekor kerbau Danu
gembalaannya.
Arak-arakan Pandawa terlihat semakin indah, ketika para
wiyaga menabuh gamelan Lokananta yang dipinjam dari Kahyangan Suralaya. Mengiringi
laju kereta emas Arjuna.
Semain dekat menuju pendopo Dwarawati, hati Wara Sembadra
kian berdebar. Hari itu adalah hari dimana ia akan menjalani ritual paling
skral dalam hidupnya. Impian untuk bersanding hidup dengan sang kekasih tinggal
hitungan detik.
“Bubar!” Prabu Baladewa berteriak lantang dari arah
berlawanan iring-iringan Pandawa. Tampak Burisrawa telah siap dengan pakaian
pengantin, para Kurawa beserta pasukan Astina berada di belakangnya.
“Keparat kalian Pandawa!” maki Prabu Baladewa. Dengan
sorot mata merah menyala dan tangan berkacak pinggang, ia menerobos masuk
pendopo Dwarawati. Menemui kedua adiknya. Prabu Kresna dan Wara Sembadra.
“Bubarkan arak-arakan Arjuna!”
“Sabar kakang Baladewa. Ada apa ini? kenapa tiba-tiba
kakang marah tanpa penjelasan padaku?” Prabu Kresna berusaha menenangkan
kakaknya.
“Nikahkan Wara Sembadra dengan Burisrawa!” bentak Prabu
Baladewa
“Arjuna yang berhasil menaiki kereta emas dan
mempersembahkan kembang mayang kayu
Dewandaru, kerbau Danu, gamelan Lokananta serta diiringi Bidadari. Sudah
menjadi kewajiban kita untuk menikahkannya dengan Wara Sembadra, kakang.”
Berdiri dari singgasananya sang raja Dwarawati, lalu menghampiri Prabu Baladewa.
Mencoba meredam amarah sang kakak dengan menjabat tangannya.
“Bohong!” sela Prabu Baladewa.
“Burisrawa yang seharusnya memenangi. Patih Sengkuni
telah berhasil mendapatkan kerbau Danu dan kereta emas, tetapi dirampas
Werkudara. Aswatama juga telah membawa kayu Dewandaru, gamelan Lokananta dan
empat puluh bidadari, direbut pula oleh Arjuna bersama punakawan!” lanjutnya.
Bathara Narada yang berada di pendopo akhirnya ikut
berbicara, “Prokencong-prokencong … pak-pak
pong pak-pak pong … waru doyong ditegor uwong .. Ketahuilah Baladewa, semua
yang dikatakan Kurawa itu dusta! Arjuna bersama kakang Semar yang berhasil
mendapatkan kayu Dewandaru, gamelan Lokananta dan empat puluh bidadari. Akulah
saksi di Kahyangan Suralaya kemarin.”
Dadung Awuk yang bergabung dalam arak-arakan Arjuna dan
Pandawa ikut menerobos masuk pendopo Astina, “Empat puluh kerbau Danu
gembalaanku ini Werkudaralah yang berhasil mendapatkannya. Patih Sengkuni telah
membohongimu, Baladewa,” jelasnya.
Prabu Baladewa tetap tidak terima. Ia bersikeras
pernikahan Arjuna dan Wara Sembadra harus dibubarkan. Burisrawalah yang harus
duduk di pelaminan bersama adik perempuannya. Raja Mandura itu keluar dari
pendopo, “Bubarkan iring-iringan Arjuna!” teriaknya.
Sontak barisan Kurawa langsung bergerak menyerang
rombongan Pandawa. Werkudara yang sejak awal menahan diri, akhirnya hilang
kesabaran. Dia berlari ke arah Prabu Baladewa dan langsung terlibat adu tanding
dengan raja Mandura.
Terpancing pula Dadung Awuk untuk ikut berkelahi, “kerbau
Danu, habisi Kurawa!” perintahnya. Seketika empat puluh hewan piaraannya
langsung mengamuk. Membuyarkan pasukan Kurawa hingga kocar-kacir. Patih
Sengkuni, Prabu Dursasana dan adik-adiknya segera menyelamatkan diri dengan
lari kembali ke Astina.
Prabu Kresna, Kyai Lurah Semar Badranaya dan Bathara
Narada melerai pertarungan Werkudara dengan Prabu Baladewa.
Datang Wara Sembadra yang duduk bersimpuh sambil mencium
kedua kaki kakak sulungnya, “kakang Baladewa, bunuhlah aku sekarang juga.” ratapnya.
“Jika memang bisa memuaskan kakang, aku rela menyusul romo Prabu Basudewa ke alam sunyaruri. Tapi ijinkan pernikahan ini
berlangsung dulu. Setelah aku selesai duduk di pelaminan dengan raden Arjuna,
engkau boleh membunuhku kakang.” Wara Sembadra mencabut sebuah cundrik, lalu diulurkan kepada kakaknya.
Prabu Baladewa.
Tergetar hati Kakrasana!
Seketika sang kakak sulung jatuh terduduk di hadapan si bungsu.
Prabu Baladewa tertekuk lututnya sembari memeluk Wara Sembadra. Perasaannya
luluh juga melihat adik perempuannya menangis. Hatinya sungguh tidak tega.
“Baiklah, Sembadra. Aku merestui pernikahanmu dengan
Arjuna,” tutup Prabu Baladewa.
Dwarawati berpesta!
Pernikahan Arjuna dan Wara Sembadra hari itu berlangsung
dengan khidmat. Disaksikan seluruh kerabat Pandawa, Dwarawati dan Mandura.
Kedua mempelai diarak menggunakan kereta emas berhiaskan kembang mayang kayu Dewandaru dari Kahyangan. Dikawal empat puluh
bidadari dan empat puluh ekor kerbau Danu. Diiringi suara syahdu gamelan
Lokananta.
Tepat setelah pesta pernikahan berkahir, datang Prabu
Kalapardha bersama para punggawa dan pasukan Jajarsewu.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Catatan
:
Kembang mayang = sepasang hiasan dalam pernikahan Jawa, terbuat dari dedaunan dan bunga
Budhal = berangkat
Budhal = berangkat
Romo =
ayah
Sendika dhawuh = siap laksanakan
Sendika dhawuh = siap laksanakan
Sunyaruri =
alam keabadian
Cundrik = keris kecilArjuna - foto dokumen pribadi |
Wara Sembadra (Roro Ireng) - image google |
Prabu Kresna (Narayana) - dokumen pribadi |
Prabu Baladewa (Kakrasana) - image google |
Ahh sembadra anggun sekali caranya meminta restu...
BalasHapusHehee ..
HapusIya mbk Ci
Halah, perang maneh lak an
BalasHapusHahaha .. iyo Lis
Hapusapik nemen kang mas Heru..
BalasHapusMatur suwun mas Ran
HapusKurang adjarrr sengkuni. Nyebelin banget yah.. dia yang maubrebut kereta emas dan kerbau dari bima malah sia yang ngaku dirampok. Bener gak tuh ceritanya begitu? Bener kan? Hahaha
BalasHapus