Pandawa - image google |
4-5.
NAKULA - SADEWA
Kadipaten Gandaradesa,
“Acak-acak wilayah pinggiran Pringgodani! Bikinlah onar disana!” ucap Hary Suman.
“Sendika dhawuh,
kakang Harya Suman,” jawab Haryaprabu Anggajaksa dan Haryaprabu Sabarasanta
serempak. Hari itu Harya Suman menemui kerabatnya di Gandaradesa sebelum ke
Pringgodani.
Kepada mereka berdua,
Harya Suman memerintahkan agar kondisi keamanan di pinggiran Pringgodani dibuat tak terkendali, demi memuluskan rencana barunya.
Setelah Haryaprabu Anggajaksa dan Haryaprabu Sabarasanta bersedia menjalankan siasatnya,
berangkat pula Harya Suman meninggalkan Gandaradesa bersama Duryudana,
Dursasana, Kartamarma, Citraksa, Citraksi dan Durmagati. Mereka memacu kuda
sekencang-kencangnya menuju Pringgodani. Berburu dengan waktu agar bisa sampai
lebih cepat mendahului Patih Gandamana yang diutus Prabu Pandudewanata.
Sampai di kotaraja Pringgodani, Harya Suman dan para
Kurawa menghadap Prabu Tremboko. Raja bangsa raksasa itu kebetulan
sedang berkumpul dengan anak-anaknya di paseban agung.
“Sembah dan bhakti kami untuk paduka Prabu Tremboko.
Perkenalkan, hamba Harya Suman dari Astina. Hamba adalah adik dari gusti Prabu
Pandudewanata,” ucap Harya Suman mengaku-aku sebagai adik raja Astina.
“Kuterima sembahmu, Harya Suman, ada apa gerangan engkau
datang kemari?” balas Prabu Tremboko.
“Hamba hanya ingin mengabarkan tentang nasib surat yang
pernah dikirimkan oleh Raden Arimba beberapa hari lalu,” jawab Harya Suman.
“Oh iya, aku ingat. Adakah pesan balasan dari raja kalian?
Aku jadi merasa sangat bersalah kepada guruku. Prabu Pandudewanata,” ucap Prabu
Tremboko.
“Maaf beribu-ribu maaf jika kabar ini menyinggung
perasaan paduka. Surat itu dirobek-robek oleh gusti Prabu Pandu,” dengan nada
suara dibuat-buat, Harya Suman menceritakan keadaan yang penuh rekayasa.
“Apa?” Mata Prabu Tremboko terbelalak.
“Prabu Pandudewanata merasa bahwa paduka Prabu Tremboko
hanya mengada-ada, lebih mementingkan urusan keluarga daripada hubungan persahabatan
kedua negeri, juga bhakti murid kepada guru. Saat ini raja kami juga telah
mengirim seorang utusan bernama Patih,” semakin liar kata-kata Harya Suman
bersilat lidah.
“Kenapa Prabu Pandudewanata bersikap seperti itu?” Prabu
Tremboko masih belum bisa menerima kenyataan bahwa gurunya merobek-robek surat
yang ia kirim melalui Raden Arimba.
“Ada orang yang sengaja menghasut raja kami. Akhir-akhir
ini Prabu Pandudewanata menjadi gampang murka gara-gara dikompori. Orang itu
adalah Patih Gandamana yang sekarang sedang dalam perjalanan menuju kemari. Ia
hendak menghukummu, paduka.” Harya Suman memelintir kumisnya, dalam hati ia
tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Prabu Tremboko.
“Putraku Arimba, hadang Patih Gandamana sebelum memasuki
Pringgodani, jangan biarkan dia datang ke istana kita!” perintah Prabu
Tremboko.
“Sendika dhawuh,
romo prabu!” jawab putra sulungnya.
Raden Arimba.
Berangkatlah Raden Arimba bersama pasukannya menuju
perbatasan Pringgodani dan Astina. Sementara Harya Suman, Duryudana, Dursasana,
Kartamarma, Citraksa, Citraksi dan Durmagati mengikuti dari kejauhan.
*****
Suara lari kaki kuda memecah kesunyian hutan Pringgodani.
Sepasukan bangsa raksasa pimpinan Raden Arimba yang mengintai dari balik
rerimbunan semak belukar mulai bersiaga. Menunggu kedatangan Patih Gandamana.
“Serang!” perintah Raden Arimba ketika seorang penunggang
kuda berpakaian kebesaran Astina mendekati tempat mereka.
Jatuh bangun Patih Gandamana dari kudanya, ketika tiba-tiba
ia dikeroyok pasukan bangsa raksasa. Belum sempat utusan Astina itu memasang
kuda-kuda, tetapi Raden Arimba sudah menghajarnya tanpa ampun.
Beberapa saat Patih Gandamana keteteran. Tapi ia bukanlah
seorang kesatria kemarin sore. Prabu Pandudewanata mengangkatnya sebagai patih
karena ia memiliki ilmu kedigdayaan linuwih.
Dalam keadaan babak belur karena tidak sempat melawan,
Patih Gandamana menyentuh Kalung Robyong
Mustakawarih di lehernya (kelak pusaka ini diwariskan kepada Puntadewa).
Seketika ia berubah wujud menjadi raksasa berukuran puluhan kali lebih besar
dari Raden Arimba dan pasukannya.
Terkejut Raden Arimba melihat sosok dihadapannya.
Ia mundur beberapa langkah. Ketika pasukannya mencoba
menyerang dan melukai raksasa jelmaan Patih Gandamana, makhluk itu bertambah
ukuran menjadi dua kali lebih besar. Diserang lagi, bertambah besar empat kali,
sepuluh kali, seratus kali, dan seterusnya.
Lari tunggang langgang Raden Arimba dan pasukannya. Ngeri
melihat kedigdayaan Patih Gandamana.
“Tunggu Raden Arimba,” seru Harya Suman saat bersama para
Kurawa mencegat pasukan Pringgodani.
“Gandamana bukan tandingan kita paman,” jawab Raden
Arimba.
“Aku tahu cara mengalahkan Gandamana!” ucap Harya Suman.
“Benarkah?”
“Iya, akan kuberitahu engkau.”
Harya Suman mendekat ke Raden Arimba, lalu berbisik ke
telinga putra sulung Prabu Tremboko. Sesaat mereka tampak serius merencanakan
sesuatu. Setelah itu, keduanya tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha … hahaha … mati kau, Gandamana!” sesumbar Raden
Arimba sambil tertawa lebar.
*****
Prabu Pandudewanata sampai di Kahyangan Jonggringsaloka. Ia
segera menghadap Sang Hyang Manikmaya di paseban agung. Tampak beberapa Dewa
sedang berkumpul disana.
“Sembah dan bhaktiku untuk pukulun Bathara Guru,” ucap Prabu Pandudewanata sembari bersujud
menyembah.
“Kuterima sembah dan bhaktimu Pandudewanata. Semoga kesajahteraan
senantiasa menyertai orang-orang Astina,” jawab Bathara Guru.
“Katakan apa yang menjadi tujuanmu datang ke Kahyangan
Jonggringsaloka,” lanjutnya.
Prabu Pandudewanata menghela napas dalam-dalam. Sesaat
raja Astina itu terdiam. Wajahnya tertunduk, menatap dalam-dalam ke lantai
paseban agung istana taman laingit.
“Ampun beribu-ribu ampun jika ucapan hamba nanti menyinggung
pukulun. Saat ini istri hamba, Dewi Madrim sedang mengandung. Dia mengidam
ingin menunggangi Lembu Andini,
pukulun.” Prabu Pandudewanata memberanikan diri angkat bicara. Mengutarakan apa
yang menjadi keinginan istri selirnya.
“Hamba tahu keinginan Dewi Madrim sangatlah mustahil
terpenuhi. Tetapi demi rasa cinta kepada istri yang sedang mengandung,
ijinkahlah Pandudewanata ini meminjam Lembu
Andini dari pukulun barang sehari saja,” lanjutnya.
Terkejut Bathara Guru!
Semua Dewa yang hadir juga tersentak mendengar pengakuan
Prabu Pandudewanata. Lembu Andini
adalah tunggangan pribadi Sang Hyang Manikmaya. Sangat lancang sekali jika ada
manusia yang ingin menunggangi Sapi Kahyangan itu.
“Hemmm, ternyata itu yang ingin kau sampaikan Pandu?”
Bathara Guru manggut-manggut. Ia tidak serta merta mengabulkan keinginan Prabu
Pandudewanata.
“Seharusnya kau pikir dahulu berulang kali sebelum datang
kemari, Pandudewanata. Keberanianmu hari intuk untuk meminjam Lembu Andini sungguh melampaui batas
etika seorang manusia kepada Dewata,” timpal Bathara Yamadipati. Dewa Pencabut
Nyawa.
“Maaf pukulun, hamba bersedia dihukum seberat-beratnya
atas kelancangan ini. Hamba rela diberi umur pendek dan ditempatkan di Neraka
Loka setelah kematian kelak, asal diijinkan meminjam Lembu Andini sehari saja.” Tutup Prabu Pandudewanata sambil kembali
menyembah kepada Bathara Yamadipati dan Bathara Guru.
Sang Hyang Manikmaya kembali terkejut mendengar ucapan Pandudewanata.
Guntur menggelegar. Istana taman langit mendadak menjadi
gelap gulita beberapa saat. Ucapan Prabu Pandudewanata yang rela diberi umur
pendek dan bersedia ditempatkan di Neraka Loka telah disabda para Dewa yang
hadir disana.
“Baiklah Pandu, kembalilah ke Arcapada. Jemput istrimu dan ajak kemari untuk menunggangi Lembu Andini. Bawalah Dewi Madrim
berkelana dengan Sapi Kahyangan milikku,” ucap Bathara Guru.
“Sendika dhawuh pukulun. Terima kasih banyak Dewata
Agung,” ucap Prabu Pandudewanata, lalu melesat meninggalkan Kahyangan.
Kembali lagi ke Astina. Menemui istri selirnya, Dewi
Madrim untuk mengabarkan bahwa Bathara Guru mengabulkan keinginannya untuk
menaiki Lembu Andini.
*****
Hutan Pringgodani,
“Aku belum kalah Gandamana, tunjukkan lagi kesaktianmu!”
sesumbar Raden Arimba.
“Menyingkirlah, jangan halangi aku menemui Prabu
Tremboko,” balas Patih Gandamana.
“Jangan jadi pengecut, kalau kau memang seorang kesatria
sejati, seranglah aku Gandamana!” seru Raden Tremboko. Ia berdiri sambil berkacak
pinggang. Kedua kakinya mengangkang lebar-lebar. Tepat dibawahnya terdapat
sebuah sumur tua yang sengaja telah ditutup dengan dedaunan kering atas siasat
Harya Suman.
Sumur Upas!
Sebuah sumur tua yang tidak terpakai, di dalamnya
terdapat gas beracun sebagaimana yang terjadi pada lubang-lubang tanah yang
tidak ada pergerakan udara disana.
Patih Gandamana yang sebenarnya adalah seorang berwatak
temperamental akhirnya terpancing. Ia berlari hendak menyerang Raden Arimba.
Ketika nyaris menerjang, putra mahkota Pringgodani langsung melompat.
Terperosok Patih Gandamana ke dalam sumur upas, ketika ia
menginjakkan kaki di dedaunan tempat Raden Arimba berdiri mengangkang tadi.
“Krocok!” seru
Harya Suman.
Para prajurit Pringgodani serentak menimbun sumur upas
dengan bebatuan dan tanah. Patih Gandamana terkubur di dalamnya. Tak mungkin ia
bisa selamat. Selain gas beracun yang ada di dalamnya, tubuh patih Astina itu
tentu telah hancur terkena timbunan batu.
“Hahaha … hahaha … hahaha … Gandamana tewas!” seru Harya
Suman sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Kita kembali ke istana Pringgodani!” perintah Raden
Arimba.
Pada saat bersamaan, datang seorang penjaga perbatasan.
Ia melaporkan bahwa terjadi penyerangan besar-besaran di wilayah pelosok
Pringgodani. Pelakunya mengaku sebagai pasukan Astina.Dipimpin dua orang
punggawa.
“Keamanan wilayah kita di pelosok sedang kacau, Raden
Arimba,” lapor prajurit Pringgodani.
“Kita menghadap kepada romo Prabu Tremboko sekalian,”
ajak Raden Arimba.
~ BERSAMBUNG ~
(Heru Sang
Mahadewa)
Member
Of OneDayOnePostBaca cerita sebelumnya [ Disini ]
Cerita selanjutnya [ Disini ]
Catatan :
sendika dhawuh = siap laksanakan
romo = ayah
pukulun = panggilan kepada Dewa
krocok = hujani (timbuni)
Bathara Guru (Sang Hyang Manikmaya) - foto dokumen pribadi |
Prabu Pandudewanata - image google |
Gandamana - image google |
Arimba - image google |
Harya Suman - foto dokumen pribadi |
Harya suman jahat amat ih... kenapa bisa sejahat itu mas? Tujuannya apa?
BalasHapusMulut ember kok emang ..
Hapusudah sifatnya, hahaha
menarik bingit
BalasHapusmenarik bingit
BalasHapusterima kasih sudah hadir
Hapus