Ruwatan Suro Agung di kota Nganjuk - dokumen pribadi |
Hari minggu 23 Oktober 2016 (22
Muharram 1438 H) atau bertepatan dengan 21 Suro 1950 Jimawal dalam kalender Jawa,
di gang Sruni Kelurahan Mangundikaran, Kecamatan/Kota Nganjuk digelar sebuah acara
sakral bertajuk Ruwatan Suro Agung.
Kegiatan ini merupakan event tahunan
yang diselenggarakan setiap bulan Muharram (Suro) dengan tujuan meruwat
orang-orang jenis sukerta. Puluhan peserta dengan pakaian
serba putih tampak antusias mengikuti ruwatan.
Ki Mintorogo, dalang senior asal
Nganjuk yang menjadi peruwat juga terlihat sangat serius membawakan pagelaran
wayang kulit berdurasi sekitar tiga jam. Sebuah ritual yang menjadi bagian dari
ruwatan itu sendiri.
Dalam tradisi masyarakat Jawa Kuno,
seseorang yang termasuk jenis sukerta
harus di ruwat agar terhindar dari kala (musibah, kesialan). Ruwatan dilakukan dengan menggelar
pementasan wayang kulit. Lakon atau judul yang diambil adalah Murwakala,
Sudamala, atau Kunjarakarno.
Kenapa orang Jawa menggelar acara
ruwatan? apa pesan moral dibalik upacara ruwatan yang bagi kalangan tertentu
ditafsirkan negativ itu?
Saya sempat menggali informasi dari Ki
Widayat D, seniman lokal disana yang telah menggeluti dunia pewayangan sejak
jaman orde lama. Beliau adalah sahabat Ki Mintorogo dan Mbah Tumiran (ayah Ki
Mintorogo). Dedengkot wayang asal kota Nganjuk juga.
Murwakala berasal dari dua kata purwa/murwa (awal, permulaan), dan kala (musibah, bencana, kesialan). Sehingga murwakala bisa di
definisikan sebagai awal mula dari terjadinya bencana.
Melalui acara ruwatan, ada pesan moral
yang ingin disampaikan dalang agar manusia hendaknya selalu ingat bahwa
mengumbar hawa nafsu akan menimbulkan kerugian dan bencana. Hanya penyesalan yang
datang kelak di kemudian hari.
Hakikat ruwatan juga mengajak manusia
agar segera kembali ke ajaran hidup yang lurus. Sesuai norma-norma adat, budaya
dan agama.
Jalannya kisah Murwakala dalam
pagelaran wayang kulit.
Pada suatu waktu, Bathara
Guru yang merupakan raja para Dewa di istana taman langit (Kahyangan) bercengkerama
dengan permaisurinya, Bathari Durga. Meski jati diri aslinya adalah
seorang butho (raksasa),
tetapi Bathari Durga berparas cantik jelita.
Mereka berdua berkelana diatas
samudera dengan menaiki tunggangan bernama Lembu Andini. Diatas kelana itu, Bathara Guru terpesona akan
kecantikan permaisurinya, sehingga timbul hasrat untuk berpadu asmara. Bathari
Durga malu dan menolak. Jatuhlah benih dari Bathara Guru menetes jatuh ke
lautan.
Samudera di Nusatembini bergolak!
Airnya seketika mendidih oleh benih sang
raja Dewa yang menjadi bara api. Seluruh penghuni lautan gempar dan lari
tunggang langgang.
Karena kesaktian dan kedigdayaan
Bathara Guru, benih yang jatuh di tengah lautan itu hidup dan tumbuh menjadi
makhluk menakutkan. Kian lama kian besar hingga berwujud raksasa. Naiklah ia ke
Kahyangan Suralaya untuk menemui para Dewa. Ia diterima oleh Bathara Guru dan
diakui sebagai anaknya, lalu diberi nama Kalarandya karena lahirnya bersamaan
datangnya candikkala (senjakala). Ia
dipanggail dengan sebutan Bathara
Kala.
Suatu hari ketika sedang memasak, jari
Bathari Durga teriris hingga tak sengaja darahnya menetes ke makanan yang ia
masak. Bathara Kala segera menolong membalut luka itu, lalu sebisanya
membersihkan darah yang tercampur masakan.
Ketika makanan itu disajikan ke
putranya, Bathara Kala melahapnya tak tersisa.
“Masakan ibunda hari ini terasa
istimewa, ada sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya,” terheran-heran
Bathara Kala.
“Oh, aku tahu ini karena tetesan darah
tadi!” gumamnya.
“Berarti darah itu rasanya enak! Mulai
sekarang aku akan memangsa manusia!” muncul keinginan jahat dari Bathara Kala.
“Jangan putraku! Kamu tidak boleh
memangsa manusia!” cegah Bathari Durga, lalu melaporkan kejadian ini kepada
Bathara Guru.
Sementara sang Bathara Kala sudah
menetes air liurnya, dan ingin segera turun ke bumi untuk mencari mangsa
manusia.
Untuk mengelabuhi dan mencegah
tindakan putranya, Bathara Guru memberi nasehat dan syarat bahwa tidak semua
manusia boleh dimangsa. Hanya manusia yang termasuk jenis sukerta yang
boleh dimakan oleh Bathara Kala. Ia juga memberi tanda dengan menuliskan rajah
pada dahi, punggung dan rongga mulut putranya selama turun ke bumi.
“Engkau boleh memangsa manusia sukerta hanya saat surya tumumpang arka (matahari tepat diatas kepala/tengah hari)!”
tutur Bathara Guru.
"Ingat Kala, jika ada orang yang
bisa membaca rajah yang telah kutulis di dahi, punggung dan rongga mulutmu, engkau
harus tunduk, karena dia adalah utusanku. Sekarang pulanglah ke Nusatembini di
Arcapada, tempatmu dilahirkan. Tinggallah disana!" tutur Bathara Guru.
“Budhal
(berangkat)!” Bathara Kala sepakat dan segera turun ke bumi untuk memburu
jenis-jenis manusia sukerta yang
disebutkan oleh ayahnya.
Menyadari bahwa tindakan putranya
salah, Bathara Guru menyuruh Bathara
Narada agar memerintahkan Bathara Wisnu menyusul turun ke bumi dan mencegah tindakan
Bathara Kala.
Bathara Wisnu menyamar menjadi seorang
dalang wayang kulit dengan nama Kandhabuana,
Sejati, Sampurnajati. Ia
ditemani juga oleh Bathara Narada yang menyamar sebagai panjak kendang (penabuh
kendang) dan Bathara
Brahma yang menyamar sebagai penabuh
gender (penabuh salah satu jenis
alat musik Jawa).
Sampai di Arcapada, dalang Khandabuana
bersama rombongan mempromosikan diri sebagai seorang yang bisa menolak bala/kala
(kesialan, bencana, musibah) bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongannya.
*****
Tersebutlah mbok rondo (janda
tua) yang tinggal di desa Medang Kawit. Ia memiliki seorang anak
tunggal bernama Joko Jatusmati.
Pada tengah hari (surya tumumpak arka),
atas perintah ibunya pergilah Joko Jatusmati ke Danau Madirda. Diperjalanan, ia
bertemu Bathara Kala.
Bathara Kala berkata agar Joko
Jatusmati bersedia dimangsa karena termasuk jenis manusia sukerta. Lari tunggang langgang ia menyelamatkan diri. Dalam
pelarian, pemuda Medang Kawit itu bersembunyi diantara sekelompok orang-orang
yang sedang bekerja mendirikan rumah. Tetapi Bathara Kala bisa menemukan. Lalu
terjadi kejar-kejaran di dalam rumah itu hingga roboh.
Joko Jatusmati kembali melarikan diri.
Pemuda itu bersembunyi di sebuah dapur orang, disinipun kembali terjadi
kejar-kejaran sehingga menyebabkan dandang
(panci untuk menanak nasi) roboh.
Kembali Joko Jatusmati lari keluar
rumah. Dalam usahanya mengejar pemuda itu, Bathara Kala terjatuh karena
terlilit batang waluh (jenis tanaman sayuran) yang tumbuh di halaman. Akibatnya
ia kehilangan jejak buruannya.
Bersamaan dengan itu, tak jauh dari
Medang Kawit itu ada sebuah pertunjukan pagelaran wayang kulit oleh Dalang
Kandhabuana. Ia sedang pentas atas permintaan seorang penduduk bernama Buyut Wangkeng yang sedang meruwat (membersihkan bala/kesialan) putrinya bernama Rara Pripih yang baru saja cerai
dari suaminya di saat usia pernikahannya baru terhitung beberapa hari.
Pada pagelaran wayang kulit itu,
banyak sekali orang yang menonton. Diantara kerumunan penonton, tampak pula
Joko Jatusmati dan juga Bathara Kala.
Misi dari Dewa Wisnu untuk menarik
perhatian Bathara Kala berhasil.
Bathara Kala hendak memangsa Joko
Jatusmati, tetapi dicegah oleh dalang Kandhabuana. Terjadi debat antara jelmaan
Bathara Wisnu dengan putra Bathara Guru,”Kau boleh memakan manusia itu, tetapi
berikan aku waktu untuk memberitahumu tentang satu hal!”
“Apa itu?”
“Di dahimu tertulis kawruh sejatine urip (pelajaran tentang hakikat
kehidupan), rajah itu adalah penanda bahwa engkau tercipta dari hawa nafsu yang
tidak bisa dikendalikan. Akibatnya, tumbuh menjadi sosok yang senantiasa
membikin musibah di muka bumi karena mengedepankan nafsu angkara. Pulanglah
sekarang, Kala!”
Bathara Kala ingat pesan Bathara Guru,
ia menyadari bahwa sedang berhadapan dengan utusan ayahnya dari Kahyangan.
Sesaat kemudian, turun pula Bathari
Durga ikut membujuk putranya agar mau kembali ke asalnya. Samudera di
Nusatembini.
“Aku
jaluk sangu (aku minta bekal)!” ucap Bathara Kala sebelum lenyap
meninggalkan Medang Kawit.
Bumi pun aman kembali.
*****
Substansi dari cerita murwakala pada pagelaran wayang kulit di
atas (ruwatan) adalah pembebasan.
Pembebasan manusia dari mangsa Bathara
Kala, seorang raksasa anak dari Bathara Guru yang lahir karena tidak bisa
menahan dan mengendalikan hawa nafsu atas pesona istrinya, Bathari Durga.
Sedangkan ending dari kisah ini
adalah kembalinya Bathara Kala ke asalnya. Bisa diartikan sebagai ‘momentum agar
manusia bisa mengalahkan hawa nafsu dan kembali ke jalan hidup yang benar'.
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Catatan :
Saat Bathara Kala bersedia kembali ke
asalnya bersama Bathari Durga, ia meminta bagian dari suguhan pagelaran wayang
kulit oleh Dalang Kandhabuana berupa batang pisang, seekor itik dan burung
merpati. Sementara Bathari Durga meminta kain sewek/jarik.
Hingga kini, dalam tradisi masyarakat
Jawa yang masih memegang teguh filosovi sukerta, masih melakukan acara ruwatan berupa pagelaran wayang kulit dengan judul
Murwakala, Sudamala, atau Kunjarakarno. Lengkap dengan suguhan yang dikisahkan diatas, termasuk buah waluh
sebagai titik kelemahan Bathara Kala.
Samudera di Nusatembini, kini
dipercaya sebagai wilayah Karimun Jawa.
Seorang anak tunggal, orang yang rumahnya roboh, seseorang yang menjatuhkan dandang, pengantin baru lalu cerai, termasuk golongan dari manusia-manusia sukerta.
Ki Mintorogo membawakan lakon Murwakala - dokumen pribadi |
Peserta ruwatan antusias mengikuti kisah Murwakala - dokumen pribadi |
Hhii... Baru paham saya Mas heru..
BalasHapushehehe ... ini hanya fiksi kok mbak Ci.
Hapusjangan ditafsirkan dari sudut pandang Agama :)
M@ntap ceritanya.
BalasHapusmatur suwun bapak.
Hapuskeren ! jadi ini kisah asal mula Bathara kala yang katanya muncul waktu gerhana ...
BalasHapusIya, betul mbk Febie.
HapusMas, kira2 ada info ruwatan massal lg nggak di nganjuk untuk 2022 ini? Mas ada CP dalangnya tidak?
BalasHapusHub. WA saya di 085331955366
Hapus