Selasa, 19 April 2016

JUGUN IANFU (Part 2)



Jugun Ianfu - foto Comfort Women

Siapa yang tak kenal Soendari, anak penjual Lontong Balap yang menjadi buah bibir pemuda sekampung Tembaan. Ia gadis santun dan pendiam, namun selalu ramah pada siapa saja yang dijumpainya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir ayunya.

Soendari berusia delapan belas tahun ketika orang-orang bermata sipit yang mengaku sebagai saudara tua dan Pemimpin Asia mendarat di Surabaya. Ibarat bunga, Soendari sedang merekah-merekahnya kala itu.

Ia adalah putri sulung dari dua bersaudara. Soegondo ayahnya memiliki seorang putri lagi yang masih berusia tiga belas tahun, Moeryati. Keduanya sama-sama berparas jelita. Bedanya Moeryati masih bau kencur, sedangkan Soendari seperti buah yang sudah kemampo.   

***************

Kehadiran Nipon di Surabaya benar-benar membawa penderitaan baru bagi penduduk pribumi. Bangsa Jepang yang mengaku membebaskan negeri ini dari cengkeraman Belanda justru jauh lebih bengis dari penjajah sebelumnya.

Penindasan dan perampasan terjadi dimana-mana. Orang-orang yang sebelumnya bekerja sebagai pedagang dipaksa menyerahkan semua harta benda dan barang dagangan dengan dalih untuk modal perang. Jika mereka menolak atau melawan, tak segan-segan orang Nipon menghabisinya.

Para lelaki terutama pemuda banyak yang ditangkap dan diangkut truk entah dibawa kemana. Ada yang bilang mereka dibawa Koblen untuk dipaksa jadi milisi. Tapi tak jarang pula dari mereka yang tak pernah kembali lagi. Raib bak ditelan bumi.

Onok opo Cak? barangmu ada yang ketinggalan kah?” Tanya Soendari ketika ditemuinya Kasmoeri balik lagi ke rumahnya.

“Gak ada Ning, aku cuma ingin menemuimu. Sing ati-ati Ning, Nipon mblader tok endi-endi!” Jawab Kasmoeri.

“Sementara jangan sering keluar rumah. Mereka menangkapi pemuda dan gadis seusia kita!”

Sopo maksudmu Cak?”

Dulur tuwo! Nipon!”

“Koh Akhiong yang cerita. Kalau mereka datang, kamu harus sembunyi Ning!”

“Oh iya… suwun Cak.”

“Jaga dirimu juga ya Cak.” Kali ini Soendari berucap seraya menatap Kasmoeri dengan penuh kekhawatiran. Diam-diam, sejatinya hati Soendari mulai luluh oleh perhatian pesuruh di toko Koh Akhiong itu.

“Aku pulang dulu ya, aku harus berkelit kesana-kemari bersembunyi mencari jalan menghindari Nipon.” Pamit Kasmoeri. Hatinya kembali berbunga-bunga. Meski belum terucap kata suka, tetapi Kasmoeri yakin bahwa Soendari telah menjadi kekasih hatinya kini.

Soendari menatap tak berkedip sampai pemuda itu hingga hilang di kelokan gang. Lamunannya tiba-tiba dibuyarkan oleh suara ledekan Moeryati yang menggodanya. Untuk menutupi tersipunya, Soendari berpura-pura membentak adiknya.

Arek cilik ngerti opo kon! Ayo bantu aku memasak!” ucapnya sambil memencet hidung adiknya.

***************

Hari masih pagi. Matahari di langit Surabaya belum tinggi ketika Soegondo yang sedang duduk di teras rumah dicokok oleh sebatang besi dingin yang menempel di lehernya.

“Mana anak-anakmu?” Bentak seorang berkepala plontos dengan kelopak mata nyaris tidak bisa terbuka saking sipitnya.

Terdengar beberapa kali letusan dan suara jeritan para wanita dari tetangga Soegondo. Kawanan gerombolan itu rupanya juga menjarah rumah-rumah penduduk Tembaan lainnya.

“Ampun Ndorokulo mboten gadah putri.” Ratap Soegondo.

“Jangan bohong! Banyak yang bilang kau punya dua anak gadis!”

“Serahkan pada kami!”

“Tolong… ampuni kami Ndoro!” Jerit Mak Roeminah, istri Soegondo ketika beberapa orang Nipon menerobos masuk ke dalam rumah.

“Pake tolong! Mak tulungi anakmu!” Moeryati bereteriak ketika dua orang tentara Nipon menemukannya bersama Soendari yang bersembunyi di kolong tempat tidur.

“Ampun Ndoro… jangan bawa kami!” Ratap Soendari.

“Tolong… kumohon bawa saja aku! Jangan bawa anak-anakku Ndoro!” Soegondo bersimpuh menangisi kedua putrinya yang digelendeng dengan paksa keluar dari halaman rumahnya.

“Prakk! Prakk!” Moncong dari besi mengkilap yang sejak tadi ditempelkan ke leher Soegondo kini mendarat di pelipis, kepala dan dahinya. Soegondo jatuh tersungkur dihadapan istrinya, Roeminah. Ia tak mampu menahan kepergian Soendari dan Moeryati yang diseret-seret entah dibawa kemana.

Sejak peristiwa itu, Soegondo lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Ia terbenam dalam penyesalan atas ketidakberdayaannya menyelamatkan dua anak gadisnya. Berhari-hari ia tak mau makan dan minum. Istrinya yang juga masih shock dengan tragedi yang menimpa keluarganya hanya bisa menangis. Ditambah lagi dengan kondisi suaminya yang makin hari semakin memprihatinkan. Bahkan Soegondo sudah tak bisa mengenali lagi siapa Roeminah kini.

***************

Soendari tergolek lemas. Air matanya sudah habis untuk ia keluarkan lagi. Darah yang terus bergulir tipis dari keningnya akibat luka dari pukulan sebatang besi sudah tak menyisakan perih.

Hatinya jauh lebih perih ketika dengan sekuat tenaganya ia tak mampu berontak dari perbuatan biadab manusia-manusia yang mengaku saudara tua bangsanya. Hari itu tiga orang tentara Nipon telah menggagahinya. Merenggut kesuciannya. Mencabik-cabik kehormatannya sebagai seorang wanita.

Kini ia merasa dirinya sudah sangat hina dan menjijikkan. Kembang kampung Tembaan itu telah pupus, jatuh dan terbenam dalam lumpur dosa. Dirinya tak ubah seperti wanita pelacur batinnya.

Perlahan Soendari bangkit dari tempatnya berbaring. Rasa sakit mulai terasa dari bagian bawah perutnya. Cepat-cepat dibetulkannya kain jarit yang masih acak-acakan membalut tubuhnya. Terdengar suara gemeletak orang membuka kunci pintu ruangan tempat ia direnggut harga dirinya tadi.

“Duh Gusti Allah… ambil saja nyawaku sekarang. Aku sudah tak sanggup kalau harus dipaksa lagi!” Dalam hati ia kembali menangis kepada Tuhannya.

Dua orang lelaki memasuki ruangan. Seorang tampak menenteng seombyok kunci. Seorang lagi berpostur lebih tegap dengan sorot mata sipit yang lebih bengis. Di dada sebelah kiri lelaki itu tergantung dua keping logam berbentuk bintang. Pasti tuan ini adalah pemimpin mereka pikir Soendari.

“Bawa dia keluar! Aku butuh dengan adiknya!” Perintah lelaki itu kepada seorang yang membungkuk-bungkuk di belakangnya tanda hormat.

“Adikku? Moeryati!” Ucapan si pemimpin sontak mengingatkan Soendari pada adiknya yang sempat diangkut bersamanya ke tempat ini, namun entah bagiamana nasib Moeryati sekarang?

Seketika itu ia juga teringat bapak dan emaknya di rumah. Terbayang pula nasib Kasmoeri, pemuda yang sempat meluluhkan perasaannya namun belum sempat berkata suka. Bagaiamana kondisi mereka?

Kulo kangen jenengan pake  make!” Kembali Soendari menangis dalam hati.

“Aku juga rindu sampeyan Cak Kasmoeri. Tolong aku!”

“Ning Ndari!”  Teriak Moeryati yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu dengan kawalan dua orang berpakaian tentara Nipon.

Tulungi aku ning! Aku wedi ning!” Tangis Moeryati pecah saat tubuhnya didorong masuk ke ruangan. Sementara seorang lagi menyeret Soendari keluar.

Asu!” Akhirnya keluar juga kata-kata kotor dari bibir Soendari.

Amarahnya seketika meledak ketika mengetahui adik semata wayangnya yang masih bau kencur akan direnggut juga kehormatannya. Moeryati masih bocah, hanya binatang yang mempunyai perilaku sebiadab ini.

“Cuh!” Ludah Soendari melayang ke wajah seorang Nipon yang menyeret tubuh adiknya.

“Prak! Prak!” Dua keprukan gagang besi mengkilap mengakhiri perlawanan Soendari. Tubuh moleknya jatuh tersungkur ke lantai.

Ketika ia tersadar, samar-samar terlihat beberapa wanita mengerumuninya. Ada yang menyeka luka di pelipisnya. Ada yang merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ada juga yang memijit-mijit kakinya dengan maksud agar Soendari segera siuman.

“Sabar ning! Dilakoni ae yo.” Seorang wanita berpakaian kebaya dengan rambut tergelung rapi menenangkannya. Ia terlihat paling dewasa diantaranya teman-temanya. Belakangan Soendari baru mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita yang senasib dengannya. Ditangkap paksa dari rumah, lalu dibawa ke tempat ini untuk dibenamkan dalam lumpur penderitaan, kalau tidak mau disebut dosa.

Menjadi budak pelampiasan biadabnya syahwat tentara Nipon. Jugun Ianfu.

Jugun Ianfu - image google
 
Paini, Jugun Ianfu Indonesia - image google
 
Mastia, Jugun Ianfu Indonesia - image google
Wainem, Jugun Ianfu asal Surakarta - google image
 
Icih, Jugun Ianfu Indonesia - google image

 ~ BERSAMBUNG ~
Baca juga kisah Jugun Ianfu Part 1
Lanjutan  kisah ini di Jugun Ianfu Part 3

#OneDayOnePost
#TantanganMenulisDenganKata_Lumpur_Bintang_Rindu_Kunci
--------------------------------------------------------------------------
Nipon = Sebutan lain untuk bangsa Jepang
Pemimpin Asia = Klaim Jepang yang menyebut mereka sebagai pemimpin
Kemampo = Sebutan untuk buah yang sedang masak-masaknya dan siap dipetik
Onok opo Cak = Ada apa mas
Sing ati-ati Ning, Nipon mblader tok endi-endi = Yang hati-hati, Jepang bertebaran dimana-mana
Sopo = siapa
Dulur tuwo = Saudara tua
Suwun = Terima kasih
Arek cilik ngerti opo kon = Anak kecil tahu apa kamu
Ndoro = Tuan
Kulo mboten gadah putri = Saya Tidak punya anak wanita
Tulungi = Tolonglah
Kulo = Saya
Jenengan pake  make = Kalian ayah ibu
Wedi = Takut
Asu = Anjing
Dilakoni ae yo = Dijalani saja ya

Catatan :
Selama masa pendudukan Jepang, tercatat lima ribu lebih perempuan Indonesia ditangkap dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu.

Setelah perang dunia kedua berakhir, desakan dunia internasional untuk menuntut pertanggungjawaban politik Kaisar Hirohito atas kejahatan perang (perbudakan seks) ini tak pernah membuahkan hasil hingga sekarang.

16 komentar:

  1. hmmm bagus cara penyampaiannya

    di tunggu sambungannya

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Iyo Lis ... begitulah penderitaan embah2 putri biyen

      Hapus
  3. Ga bisa bilang apa2... Ngeri, sedih nian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mereka jauh lebih sedih dari yg saya imajinasikan mbk Ciani

      Hapus
  4. Uapik tenan, Cak.. Salut aku karo tulisanmu..

    BalasHapus
  5. Uapik tenan, Cak.. Salut aku karo tulisanmu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih bang ..
      Maaf kalau saya menyisipkan dialek Suroboyoan yg kasar dlm tulisan saya.

      Hapus
  6. kisah mengenai penjajahan Jepang ini ya mas, baper jadinya..

    Tran Ran

    BalasHapus
  7. Nangis aku bacanya mas. Makin suka dengan tulisan mas Heru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hemmm ... cup cup cup mbk Nie-Na.
      Jangan nangis lagi

      Hapus
  8. Balasan
    1. Mbk Vinny ... makasih akhirnya mampir lagi di gubuk saya.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *