Jugun Ianfu - foto Comfort Women |
Siapa yang tak kenal Soendari, anak penjual Lontong
Balap yang menjadi buah bibir pemuda sekampung Tembaan. Ia gadis santun dan
pendiam, namun selalu ramah pada siapa saja yang dijumpainya. Senyumnya tak
pernah lepas dari bibir ayunya.
Soendari berusia delapan belas tahun ketika orang-orang
bermata sipit yang mengaku sebagai saudara tua dan Pemimpin Asia mendarat di Surabaya. Ibarat bunga, Soendari sedang merekah-merekahnya kala itu.
Ia adalah putri sulung dari dua bersaudara. Soegondo
ayahnya memiliki seorang putri lagi yang masih berusia tiga belas tahun,
Moeryati. Keduanya sama-sama berparas jelita. Bedanya Moeryati masih bau
kencur, sedangkan Soendari seperti buah yang sudah kemampo.
***************
Kehadiran Nipon di Surabaya benar-benar membawa penderitaan baru bagi penduduk pribumi. Bangsa Jepang yang mengaku membebaskan negeri ini dari cengkeraman Belanda justru jauh lebih bengis dari penjajah sebelumnya.
Penindasan dan perampasan terjadi dimana-mana. Orang-orang yang sebelumnya bekerja sebagai pedagang
dipaksa menyerahkan semua harta benda dan barang dagangan dengan dalih untuk
modal perang. Jika mereka menolak atau melawan, tak segan-segan orang Nipon
menghabisinya.
Para lelaki terutama pemuda banyak yang ditangkap dan
diangkut truk entah dibawa kemana. Ada yang bilang mereka dibawa Koblen untuk
dipaksa jadi milisi. Tapi tak jarang pula dari mereka yang tak pernah kembali
lagi. Raib bak ditelan bumi.
“Onok opo Cak?
barangmu ada yang ketinggalan kah?” Tanya Soendari ketika ditemuinya Kasmoeri
balik lagi ke rumahnya.
“Gak ada Ning, aku
cuma ingin menemuimu. Sing ati-ati Ning,
Nipon mblader tok endi-endi!” Jawab Kasmoeri.
“Sementara jangan sering keluar rumah. Mereka
menangkapi pemuda dan gadis seusia kita!”
“Sopo
maksudmu Cak?”
“Dulur tuwo!
Nipon!”
“Koh Akhiong yang cerita. Kalau mereka datang, kamu
harus sembunyi Ning!”
“Oh iya… suwun
Cak.”
“Jaga dirimu juga ya Cak.” Kali ini Soendari berucap
seraya menatap Kasmoeri dengan penuh kekhawatiran. Diam-diam, sejatinya hati
Soendari mulai luluh oleh perhatian pesuruh di toko Koh Akhiong itu.
“Aku pulang dulu ya, aku harus berkelit kesana-kemari bersembunyi
mencari jalan menghindari Nipon.” Pamit Kasmoeri. Hatinya kembali
berbunga-bunga. Meski belum terucap kata suka, tetapi Kasmoeri yakin bahwa
Soendari telah menjadi kekasih hatinya kini.
Soendari menatap tak berkedip sampai pemuda itu hingga hilang di kelokan
gang. Lamunannya tiba-tiba dibuyarkan oleh suara ledekan Moeryati yang menggodanya. Untuk menutupi tersipunya,
Soendari berpura-pura membentak adiknya.
“Arek cilik
ngerti opo kon! Ayo bantu aku memasak!” ucapnya sambil memencet hidung
adiknya.
***************
Hari masih pagi. Matahari di langit Surabaya belum tinggi ketika Soegondo yang sedang duduk di teras rumah dicokok oleh sebatang besi dingin yang menempel di lehernya.
“Mana anak-anakmu?” Bentak seorang berkepala plontos
dengan kelopak mata nyaris tidak bisa terbuka saking sipitnya.
Terdengar beberapa kali letusan dan suara jeritan para
wanita dari tetangga Soegondo. Kawanan gerombolan itu rupanya juga menjarah
rumah-rumah penduduk Tembaan lainnya.
“Ampun Ndoro…
kulo mboten gadah putri.” Ratap
Soegondo.
“Jangan bohong! Banyak yang bilang kau punya dua anak
gadis!”
“Serahkan pada kami!”
“Tolong… ampuni kami Ndoro!” Jerit Mak Roeminah, istri
Soegondo ketika beberapa orang Nipon menerobos masuk ke dalam rumah.
“Pake tolong! Mak tulungi
anakmu!” Moeryati bereteriak ketika dua
orang tentara Nipon menemukannya bersama Soendari yang bersembunyi di kolong
tempat tidur.
“Ampun Ndoro… jangan bawa kami!” Ratap Soendari.
“Tolong… kumohon bawa saja aku! Jangan bawa anak-anakku
Ndoro!” Soegondo bersimpuh menangisi kedua putrinya yang digelendeng dengan
paksa keluar dari halaman rumahnya.
“Prakk! Prakk!” Moncong dari besi mengkilap yang sejak
tadi ditempelkan ke leher Soegondo kini mendarat di pelipis, kepala dan
dahinya. Soegondo jatuh tersungkur dihadapan istrinya, Roeminah. Ia tak
mampu menahan kepergian Soendari dan Moeryati yang diseret-seret entah dibawa
kemana.
Sejak peristiwa itu, Soegondo lebih banyak mengurung
diri di dalam kamar. Ia terbenam dalam penyesalan atas ketidakberdayaannya menyelamatkan
dua anak gadisnya. Berhari-hari ia tak mau makan dan minum. Istrinya yang juga
masih shock dengan tragedi yang menimpa keluarganya hanya bisa menangis. Ditambah
lagi dengan kondisi suaminya yang makin hari semakin memprihatinkan. Bahkan Soegondo
sudah tak bisa mengenali lagi siapa Roeminah kini.
***************
Soendari tergolek lemas. Air matanya sudah habis untuk ia keluarkan lagi. Darah yang terus bergulir tipis dari keningnya akibat luka dari pukulan sebatang besi sudah tak menyisakan perih.
Hatinya jauh lebih perih ketika dengan sekuat tenaganya
ia tak mampu berontak dari perbuatan biadab manusia-manusia yang mengaku saudara tua bangsanya. Hari itu tiga orang tentara Nipon telah menggagahinya. Merenggut
kesuciannya. Mencabik-cabik kehormatannya sebagai seorang wanita.
Kini ia merasa dirinya sudah sangat hina dan menjijikkan.
Kembang kampung Tembaan itu telah pupus, jatuh dan terbenam dalam lumpur
dosa. Dirinya tak ubah seperti wanita pelacur batinnya.
Perlahan Soendari bangkit dari tempatnya berbaring.
Rasa sakit mulai terasa dari bagian bawah perutnya. Cepat-cepat dibetulkannya
kain jarit yang masih acak-acakan membalut tubuhnya. Terdengar suara gemeletak orang
membuka kunci pintu ruangan tempat ia direnggut harga dirinya tadi.
“Duh Gusti Allah… ambil saja nyawaku sekarang. Aku sudah tak
sanggup kalau harus dipaksa lagi!” Dalam hati ia kembali menangis kepada
Tuhannya.
Dua orang lelaki memasuki ruangan. Seorang tampak menenteng
seombyok kunci. Seorang lagi berpostur lebih tegap dengan sorot mata sipit yang lebih bengis. Di dada sebelah kiri lelaki itu tergantung dua keping logam berbentuk bintang.
Pasti tuan ini adalah pemimpin mereka pikir Soendari.
“Bawa dia keluar! Aku butuh dengan adiknya!” Perintah
lelaki itu kepada seorang yang membungkuk-bungkuk di belakangnya tanda hormat.
“Adikku? Moeryati!” Ucapan si pemimpin sontak mengingatkan Soendari pada adiknya
yang sempat diangkut bersamanya ke tempat ini, namun entah bagiamana nasib
Moeryati sekarang?
Seketika itu ia juga teringat bapak dan emaknya di
rumah. Terbayang pula nasib Kasmoeri, pemuda yang sempat meluluhkan perasaannya
namun belum sempat berkata suka. Bagaiamana kondisi mereka?
“Kulo kangen
jenengan pake make!” Kembali Soendari menangis dalam hati.
“Aku juga rindu sampeyan Cak Kasmoeri. Tolong
aku!”
“Ning Ndari!” Teriak
Moeryati yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu dengan kawalan dua orang
berpakaian tentara Nipon.
“Tulungi aku ning! Aku wedi
ning!” Tangis Moeryati pecah saat tubuhnya didorong masuk ke ruangan.
Sementara seorang lagi menyeret Soendari keluar.
“Asu!” Akhirnya keluar juga kata-kata kotor dari bibir Soendari.
Amarahnya seketika meledak ketika mengetahui adik
semata wayangnya yang masih bau kencur akan direnggut juga kehormatannya.
Moeryati masih bocah, hanya binatang yang mempunyai perilaku sebiadab ini.
“Cuh!” Ludah Soendari melayang ke wajah seorang Nipon
yang menyeret tubuh adiknya.
“Prak! Prak!” Dua keprukan gagang besi mengkilap
mengakhiri perlawanan Soendari. Tubuh moleknya jatuh tersungkur ke lantai.
Ketika ia tersadar, samar-samar terlihat beberapa
wanita mengerumuninya. Ada yang menyeka luka di pelipisnya. Ada yang merapikan
rambutnya yang acak-acakan. Ada juga yang memijit-mijit kakinya dengan maksud
agar Soendari segera siuman.
“Sabar ning! Dilakoni
ae yo.” Seorang wanita berpakaian kebaya dengan rambut tergelung rapi menenangkannya.
Ia terlihat paling dewasa diantaranya teman-temanya. Belakangan Soendari baru mengetahui
bahwa mereka adalah wanita-wanita yang senasib dengannya. Ditangkap paksa dari
rumah, lalu dibawa ke tempat ini untuk dibenamkan dalam lumpur penderitaan, kalau
tidak mau disebut dosa.
Menjadi budak pelampiasan biadabnya syahwat tentara Nipon.
Jugun Ianfu.
Jugun Ianfu - image google |
Wainem, Jugun Ianfu asal Surakarta - google image |
~ BERSAMBUNG ~
#OneDayOnePost
#TantanganMenulisDenganKata_Lumpur_Bintang_Rindu_Kunci
--------------------------------------------------------------------------
Nipon = Sebutan lain untuk bangsa Jepang
Pemimpin Asia
= Klaim
Jepang yang menyebut mereka sebagai pemimpin
Kemampo = Sebutan untuk buah yang
sedang masak-masaknya dan siap dipetik
Onok opo Cak
= Ada
apa mas
Sing ati-ati Ning,
Nipon mblader tok endi-endi = Yang hati-hati, Jepang bertebaran dimana-mana
Sopo = siapa
Dulur tuwo = Saudara tua
Suwun = Terima kasih
Arek cilik
ngerti opo kon = Anak kecil tahu apa kamu
Ndoro = Tuan
Kulo mboten
gadah putri = Saya Tidak punya anak wanita
Tulungi = Tolonglah
Kulo = Saya
Jenengan pake
make = Kalian
ayah ibu
Wedi = Takut
Asu = Anjing
Dilakoni ae
yo = Dijalani
saja ya
Catatan :
Selama masa pendudukan Jepang, tercatat lima ribu lebih perempuan
Indonesia ditangkap dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu.
Setelah perang dunia kedua berakhir, desakan dunia
internasional untuk menuntut pertanggungjawaban politik Kaisar Hirohito atas
kejahatan perang (perbudakan seks)
ini tak pernah membuahkan hasil hingga sekarang.
hmmm bagus cara penyampaiannya
BalasHapusdi tunggu sambungannya
Trima kasih mbk Wiwid.
HapusSiap!! Part3
uaapiik her, sedih tp yo isine
BalasHapusIyo Lis ... begitulah penderitaan embah2 putri biyen
HapusGa bisa bilang apa2... Ngeri, sedih nian.
BalasHapusMereka jauh lebih sedih dari yg saya imajinasikan mbk Ciani
HapusUapik tenan, Cak.. Salut aku karo tulisanmu..
BalasHapusUapik tenan, Cak.. Salut aku karo tulisanmu..
BalasHapusTerima kasih bang ..
HapusMaaf kalau saya menyisipkan dialek Suroboyoan yg kasar dlm tulisan saya.
kisah mengenai penjajahan Jepang ini ya mas, baper jadinya..
BalasHapusTran Ran
Iya mase ..
Hapusterima kasih udah mampir
Nangis aku bacanya mas. Makin suka dengan tulisan mas Heru.
BalasHapushemmm ... cup cup cup mbk Nie-Na.
HapusJangan nangis lagi
Ciamikkk
BalasHapusMbk Vinny ... makasih akhirnya mampir lagi di gubuk saya.
HapusCiamikkk
BalasHapus