Selasa, 05 April 2016

SENJA DI BANDAR ALIM (Part 2)



Bengawan Brantas di kala senja - foto @junedbk

“Aku belum bisa menerima semua ini Raffa! reinkarnasi itu hanya ada dalam dongeng.” ucap Vhellyn.

“Tanda lahir di dagumu itu, semakin menguatkan keyakinanku bahwa kau adalah Rara Prameswari Sri Wardhani!” aku meyakinkannya.

“Seribu tahun aku mencari, kelanaku akhirnya menemukanmu di Surabaya, kota ini jauh dari Medang tempat kita terpisah dulu Vhellyn.”

“Stop! cukup Raffa, hentikan imajinasimu itu!” ia tampak tak tertarik dengan ucapanku.

“Oke deh, setidaknya aku sudah cukup bahagia kamu mau mengisi hari-hariku sekarang.”

Kali ini Vhellyn tersipu lagi. Silaunya langit Surabaya di siang hari membuat siluet dirinya kian mempesona. Poni lucunya berpadu dengan dahinya yang kuning bersih, membalut paras kecantikannya.

*************
“Kita lewat jalur Gedeg aja, lewat tepian sungai berantas, nanti bisa tembus ke Megaluh dan langsung ke Nganjuk Vhell!”

“Oke, aku nurut aja Raff, kamu kan pengemudi ojeknya.” candanya sembari naik ke boncengan motorku.

Hari itu aku sengaja mengajak Vhellyn mengunjungi kota kelahiranku Anjuk Ladang (Nganjuk). Tempat dimana seribu tahun lalu aku mengukir kisah asmara, kejayaan dan kemahsyuran bersamanya.

Dua jam perjalanan dari Surabaya, kami mulai memasuki wilayah perbatasan Jombang dan Nganjuk. Seratus meter  di depan adalah gerbang perbatasan dua kabupaten di Jawa Timur itu.

“Raffa, berhenti sebentar!” Vhellyn menepuk-nepuk pundakku dari boncengan.

Akupun memperlambat laju sepeda motorku, sesaat kemudian menepi di pinggir jalan. Sungai berantas tampak begitu indah membentang dihadapan kami.

“Ada apa?”

“Dermaga Ujung Galuh!” teriaknya.

“Iya, apakah kini kamu mengingatnya Vhell?”

Vhellyn tertegun, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sepertinya ia merasa sedang berada dalam dua dimensi jaman yang berbeda. Membawanya dalam ketidakpercayaan atas hamparan pemandangan di depan mata kami.

“Ini dermaga Megaluh Vhell, tempat dimana saudara-sudaramu lari tunggang langgang kembali ke Swarna Dwipa, pulang ke Sriwijaya.” bisikku pelan.


*************
Jawa Dwipa, sekitar pertengahan abad kesembilan.

Kekalahan kerajaan Mataram Kuno (Mataram Hindu) atas kerajaan Sriwijaya tidak menyurutkan niat penguasa kerajaan Melayu itu untuk terus memburu penerus tahta Mataram Kuno.

Untuk menyelamatkan penerus dinastinya, Raja Mataram Prabu Wawa memerintahkan Rakryan I Hino Mpu Sindok (panglima perang Mataram) beserta Rara Sri Prameswari Wardhani (mungkin putri Raja Wawa – tidak ada literatur tentang ini) mencari daerah yang lebih aman untuk menghindari serangan Sriwijaya. Sekaligus akan dijadikan sebagai tempat untuk menyusun kekuatan baru melawan dominasi Sriwijaya.

Bergeraklah Mpu Sindok beserta sisa pasukan Mataram Hindu kearah timur (Jawa Timur). Sementara untuk mengelabuhi Sriwijaya yang sebenarnya secara garis keturunan antara raja-raja kedua kerajaan masih saudara maka pusat pemerintahan Mataram tetap berada di Kedu, Jawa Tengah.

Ketika sampai di belantara rimba di kaki gunung Wilis, Rakryan I Hino Mpu Sindok memutuskan daerah di lembah gunung itu sebagai tempat yang strategis untuk menetap. Mereka pun membangun kekuatan baru disana.

Tetapi hanya berselang beberapa bulan, keberadaan pasukan Mataram Hindu ini pun akhirnya bisa dideteksi oleh Sriwijaya.

Maka pada 927 Masehi dikirimlah satu kekuatan besar pasukan Sriwijaya yang berasal dari pangkalan tentara Melayu di Jambi. Pasukan ini berlayar dari Swarna Dwipa (Sumatera) mengarungi laut Jawa dan mendarat di Kembang Putih (kini bernama Tuban, Jawa Timur). Lalu mereka bergerak kearah selatan hingga menemukan bengawan Brantas di Ngakaluh (Pelabuhan Ujung Galuh – Megaluh Jombang kini).

Selama beberapa waktu pasukan Sriwijaya dari pangkalan tentara Jambi menetap di Ujung Galuh. Sambil mencari jalur strategis untuk melanjutkan penyerbuan ke lembah Gunung Wilis.

Sementara tak jauh dari dermaga itu, tampak sepasukan kecil menatap kesibukan pasukan Melayu dari balik hutan Munung di sisi tepian yang lain dari bengawan Brantas. Sepasukan kecil itu dipimpin langsung oleh sang panglima perang, Rakryan I Hino Mpu Sindok (kelak dikenal sebagai Rakryan Isanawikrama Dharmatunggadewa)

*************
“Vhellyn, lihatlah ke arah tepian barat, dari sanalah kutatap kedatangan bala tentara Melayu, tak pernah terlintas rasa gentar sedikitpun untuk mempertahankan dinasti ayahandamu Prabu Wawa kala itu!” aku menunjuk kearah tepian dermaga Megaluh di sisi sebelah barat.

Vhellyn terdiam, kulihat pandangannya diakhiri dengan pejaman mata. Perlahan ia sandarkan tubuhnya ke pundakku, tanpa turun dari motorku. Pikirannya kembali berkelana ke kisah seribu tahun yang silam.

Dermaga Sungai Brantas - foto google


~ Bersambung ~


#ODOP
#Posting HariKeduaPuluhTujuh
#Lima HariJelangHariJadiNganjuk

Literatur :
Prasasti Bandar Alim (desa Demangan Kec, Tanjunganom Kab. Nganjuk)

15 komentar:

  1. Wah ini lanjutannya tho...
    Apakah mereka akhirnya akan berjodoh pula setelah reinkarnasi? Nunggu kelanjutannya, hihi...

    BalasHapus
  2. akhirnya meluncur juga part 2, seruuuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lagi nemu ide Lis, jelang ulang tahun Nganjuk
      Hehee

      Hapus
  3. Aseeeekkkk ada lanjutannya..😆😆😆

    BalasHapus
  4. Weh...jadi tahu nama-nama daerah dulu dan kini. Keren ini Mas! Oiya...selamat ya atas prestasi di GA-nya Bang Syaiha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbk Denik,
      Kemarin hanya kebetulan aja menang.

      Hapus
  5. Itu yang sejarahnya bener, kan, Mas?

    Wahh, saya suka sejarah. Apalagi jika dibuat dalam bentuk cerita. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mbak Fika, sejarah tanah kelahiran saya (Anjuk Ladang / Nganjuk) ..
      saya mencoba memberinya sentuhan fiksi

      Hapus
  6. Wihh,baru tahu kalo bandaralim dulunya ada pelabihannya,,,
    BTW aku asli bandar alim lo kak
    Contact my email please,,, @jojojohar13@gmail.com

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *