Bengawan Brantas di kala senja - foto @junedbk |
“Aku belum bisa menerima semua ini Raffa!
reinkarnasi itu hanya ada dalam dongeng.” ucap Vhellyn.
“Tanda lahir di dagumu itu, semakin
menguatkan keyakinanku bahwa kau adalah Rara Prameswari Sri
Wardhani!” aku meyakinkannya.
“Seribu tahun aku mencari, kelanaku akhirnya
menemukanmu di Surabaya, kota ini jauh dari Medang tempat kita terpisah dulu
Vhellyn.”
“Stop! cukup Raffa, hentikan
imajinasimu itu!” ia tampak tak tertarik dengan ucapanku.
“Oke deh, setidaknya aku sudah cukup bahagia
kamu mau mengisi hari-hariku sekarang.”
Kali ini Vhellyn tersipu lagi. Silaunya
langit Surabaya di siang hari membuat siluet dirinya kian mempesona. Poni
lucunya berpadu dengan dahinya yang kuning bersih, membalut paras kecantikannya.
*************
“Kita lewat jalur Gedeg aja, lewat tepian sungai berantas, nanti bisa tembus ke
Megaluh dan langsung ke Nganjuk Vhell!”
“Oke, aku nurut aja Raff, kamu kan
pengemudi ojeknya.” candanya sembari naik ke boncengan motorku.
Hari itu aku sengaja mengajak Vhellyn
mengunjungi kota kelahiranku Anjuk Ladang (Nganjuk).
Tempat dimana seribu tahun lalu aku mengukir kisah asmara, kejayaan dan kemahsyuran
bersamanya.
Dua jam
perjalanan dari Surabaya, kami mulai memasuki wilayah perbatasan Jombang dan
Nganjuk. Seratus meter di depan adalah
gerbang perbatasan dua kabupaten di Jawa Timur itu.
“Raffa, berhenti
sebentar!” Vhellyn menepuk-nepuk pundakku dari boncengan.
Akupun
memperlambat laju sepeda motorku, sesaat kemudian menepi di pinggir jalan.
Sungai berantas tampak begitu indah membentang dihadapan kami.
“Ada apa?”
“Dermaga Ujung
Galuh!” teriaknya.
“Iya, apakah kini kamu
mengingatnya Vhell?”
Vhellyn tertegun,
lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sepertinya ia merasa sedang
berada dalam dua dimensi jaman yang berbeda. Membawanya dalam ketidakpercayaan
atas hamparan pemandangan di depan mata kami.
“Ini dermaga
Megaluh Vhell, tempat dimana saudara-sudaramu lari tunggang langgang kembali ke
Swarna Dwipa, pulang ke Sriwijaya.” bisikku pelan.
*************
Jawa Dwipa, sekitar pertengahan abad
kesembilan.
Kekalahan kerajaan Mataram Kuno (Mataram Hindu) atas kerajaan
Sriwijaya tidak menyurutkan niat penguasa kerajaan Melayu itu untuk terus
memburu penerus tahta Mataram Kuno.
Untuk menyelamatkan penerus dinastinya,
Raja Mataram Prabu Wawa memerintahkan Rakryan I Hino Mpu Sindok (panglima
perang Mataram) beserta Rara Sri Prameswari Wardhani (mungkin putri Raja Wawa – tidak ada literatur tentang ini) mencari
daerah yang lebih aman untuk menghindari serangan Sriwijaya. Sekaligus akan dijadikan sebagai tempat
untuk menyusun kekuatan baru melawan dominasi Sriwijaya.
Bergeraklah Mpu Sindok beserta sisa
pasukan Mataram Hindu kearah timur (Jawa Timur). Sementara untuk mengelabuhi
Sriwijaya yang sebenarnya secara garis keturunan antara raja-raja kedua
kerajaan masih saudara maka pusat pemerintahan Mataram tetap berada di Kedu,
Jawa Tengah.
Ketika sampai di belantara rimba di kaki
gunung Wilis, Rakryan I Hino Mpu Sindok memutuskan daerah di lembah gunung itu
sebagai tempat yang strategis untuk menetap. Mereka pun membangun kekuatan baru
disana.
Tetapi hanya berselang beberapa bulan,
keberadaan pasukan Mataram Hindu ini pun akhirnya bisa dideteksi oleh
Sriwijaya.
Maka pada 927 Masehi dikirimlah satu kekuatan besar
pasukan Sriwijaya yang berasal dari pangkalan tentara Melayu di Jambi. Pasukan
ini berlayar dari Swarna Dwipa (Sumatera) mengarungi laut Jawa dan mendarat di Kembang Putih (kini bernama Tuban, Jawa Timur). Lalu mereka
bergerak kearah selatan hingga menemukan bengawan Brantas di Ngakaluh (Pelabuhan Ujung Galuh – Megaluh Jombang kini).
Selama beberapa waktu pasukan Sriwijaya
dari pangkalan tentara Jambi menetap di Ujung Galuh. Sambil mencari jalur
strategis untuk melanjutkan penyerbuan ke lembah Gunung Wilis.
Sementara tak jauh dari dermaga itu, tampak
sepasukan kecil menatap kesibukan pasukan Melayu dari balik hutan Munung di sisi
tepian yang lain dari bengawan Brantas. Sepasukan kecil itu dipimpin langsung
oleh sang panglima perang, Rakryan I Hino Mpu Sindok (kelak dikenal sebagai Rakryan Isanawikrama Dharmatunggadewa)
*************
“Vhellyn, lihatlah ke arah tepian barat,
dari sanalah kutatap kedatangan bala tentara Melayu, tak pernah terlintas rasa
gentar sedikitpun untuk mempertahankan dinasti ayahandamu Prabu Wawa kala itu!” aku menunjuk kearah
tepian dermaga Megaluh di sisi sebelah barat.
Vhellyn terdiam, kulihat pandangannya
diakhiri dengan pejaman mata. Perlahan ia sandarkan tubuhnya ke pundakku, tanpa turun dari motorku. Pikirannya kembali berkelana ke kisah seribu tahun yang silam.
Dermaga Sungai Brantas - foto google |
~ Bersambung ~
#ODOP
#Posting HariKeduaPuluhTujuh
#Lima HariJelangHariJadiNganjuk
Literatur :
Prasasti Bandar Alim (desa Demangan Kec, Tanjunganom Kab. Nganjuk)
Wah ini lanjutannya tho...
BalasHapusApakah mereka akhirnya akan berjodoh pula setelah reinkarnasi? Nunggu kelanjutannya, hihi...
Tapi idenya udh buntu lagi ini
HapusWah aku kok blm baca yg 1 ya
BalasHapusHehee .. baca donk mbk Wiwid
Hapusakhirnya meluncur juga part 2, seruuuu
BalasHapusLagi nemu ide Lis, jelang ulang tahun Nganjuk
HapusHehee
Aseeeekkkk ada lanjutannya..😆😆😆
BalasHapusDitunggu aj part selanjutnya 😊😊
HapusBagus :D
BalasHapusSuwun Cik Gu 😆😆
HapusWeh...jadi tahu nama-nama daerah dulu dan kini. Keren ini Mas! Oiya...selamat ya atas prestasi di GA-nya Bang Syaiha.
BalasHapusTerima kasih mbk Denik,
HapusKemarin hanya kebetulan aja menang.
Itu yang sejarahnya bener, kan, Mas?
BalasHapusWahh, saya suka sejarah. Apalagi jika dibuat dalam bentuk cerita. ^^
bener mbak Fika, sejarah tanah kelahiran saya (Anjuk Ladang / Nganjuk) ..
Hapussaya mencoba memberinya sentuhan fiksi
Wihh,baru tahu kalo bandaralim dulunya ada pelabihannya,,,
BalasHapusBTW aku asli bandar alim lo kak
Contact my email please,,, @jojojohar13@gmail.com