Jumat, 08 April 2016

SENJA DI BANDAR ALIM (Part 5 - Tamat)



komplek Candi Lor Nganjuk

Lepas dari jalan Mastrip, kami menyusuri pusat kota Nganjuk. Mulai dari jalan Veteran, jalan Merdeka di Ganung Kidul hingga sampai di alun-alun kota Anjuk Ladang. Di alun-alun itu aku dan Vhellyn kembali istirahat sejenak.

“Udah cukup istirahatnya Vhell?”
“Oke dech, lanjut kemana lagi Raff?” jawab Vhellyn balik bertanya.
“Travelling tipis-tipis yuk?” ajakku.
“Kemana?”
“Ke tempat dulu kita mengukir kejayaan sebelas abad silam” bisikku.
“Mulai berimajinasi lagi dech.” timpal Vhellyn.

Perjalanan kami teruskan lagi kearah selatan, membelah jalan raya A. Yani, berburu dengan waktu yang sudah semakin sore. Sepuluh menit dari alun-alun, akhirnya kami sampai di lampu merah Candi (simpang empat Candirejo – Loceret) ketika hari menjelang senja.

Dari jarak dua ratus meter ke barat simpang empat Candi, aku sudah bisa mencium aroma kejayaan Mataram Kuno di masa silam. Terasa ada sebuah energi yang menarikku dan Vhellyn untuk semakin mempercepat laju kendaraan kearahnya.

Ke arah komplek taman Candi Lor, yang berada tak jauh dari tempat kami berhenti.

*************
Setelah memporak-porandakan pertahanan garda terdepan tentara Mataram Hindu di Margo Anung, pasukan Sriwijaya terus bergerak ke selatan menuju lembah gunung Wilis.

Kedatangan mereka sudah ditunggu oleh pasukan Mpu Sindok. Terjadi peperangan di daerah kaki gunung Wilis ( sekitar wilayah Ngrawan, Sengkut dan Berbek sekarang).

Pertempuran terjadi selama beberapa hari. Pasukan Mataram Hindu yang masih kalah jumlah memilih strategi bertahan, tanpa menggunakan taktik menyerang. Sementara pasukan Sriwijaya terus mengerahkan seluruh kekuatan bala tentaranya. Tak memberi kesempatan sedikitpun kepada Mpu Sindok dan prajuritnya untuk membalas serangan.

Setelah menjalankan strategi bertahan selama mungkin itulah, Mpu Sindok memberikan perintah kepada pasukan Mataram Hindu agar mundur secara pelan-pelan kearah utara, menjauh dari lembah gunung Wilis.

“Kakang Mpu Danghil, kita bergeser ke ladang pembantaian! perintahkan semua pasukan Mataram mundur!” titah Rakryan I Hino Mpu Sindok.

“Inilah saatnya kita jalankan siasat kita kakang Mpu Danghil!” serentak seluruh prajurit Mataram mundur sambil tetap menjaga formasi strategi bertahan.

Pergerakan laskar Jawa Dwipa ini terus diikuti tentara Melayu yang sudah memforsir habis-habisan seluruh kekuatan pasukannya. Pasukan Sriwijaya tak sabar lagi untuk segera mengakhiri perlawanan Mpu Sindok.

Sampailah kedua pasukan itu di sebuah tempat yang sudah disiapkan pasukan Mataram Hindu untuk melakukan perubahan strategi perang.

Terdengar sorak-sorai membahana dari balik rerimbunan hutan dan persawahan hingga suaranya kemungkung-kumalungkung (bersahut-bersahutan) yang membuat tentara Sriwijaya terkejut (kini tempat itu dikenal dengan nama desa Mungkung).

“Mereka datang! habisi orang-orang Melayu!” teriak Mpu Brapa Baruk yang menjadi senopati pasukan tersembunyi.

Belum sempat pasukan Swarna Dwipa mencari asal suara, tiba-tiba muncul ribuan pasukan tak dikenal dari balik persembunyian. Teriakan mereka membahana membakar semangat pasukan Jawa Dwipa. Kini jumlah pasukan kedua kerajaan sudah berimbang.

Dalam kondisi seperti itulah, Mpu Sindok memberikan perintah kepada pasukannya untuk merubah strategi menjadi berbalik menyerang.

“Para kesatria Mataram nan gagah perkasa, inilah saatnya kita membantai Melayu!” Rakryan I Hino Mpu Sindok menghunus keris dan tombaknya, berlari ke barisan terdepan sembari mengobarkan semangat para prajurit Mataram Kuno.

“Wahai orang Melayu, aku Rakryan I Hino Mpu Sindok bersumpah .. kalian akan menyesal telah menginjakkan kaki lagi di bumi Jawa Dwipa!”

Sabda dari Mpu Sindok terdengar lantang hingga menggetarkan bumi Gejag (tempat berlangsungnya perang besar itu, kini bernama desa Gejagan). Ribuan pasukan Mataram seperti mendapatkan kekuatan berlipat. Mereka mengamuk menghabisi setiap prajurit Sriwijaya yang terlihat.

Keadaan menjadi berbalik, pasukan Melayu yang kini terdesak dalam kondisi kekuatan yang mulai melemah karena sebelumnya sudah memforsir habis-habisan di lembah gunung Wilis.

Diluar dugaan, sabda dari Rakryan I Hino Mpu Sindok yang terdengar ke seluruh penjuru Jawa Dwipa itu menggugah semangat patriotisme penduduk setempat. Dari segala penjuru pula tiba-tiba berhamburan datang ribuan rakyat, tua muda bersenjata ala kadarnya ikut bergabung ke medan laga.

“Kami datang untuk paduka Mpu Sindok!” teriak para penduduk. Mereka ikut menyerang pasukan Sriwijaya.

Hari itu benar-benar menjadi mimpi buruk bagi bala tentara Melayu. Tanah Gejag menjadi merah oleh tumpahan darah mereka. Bumi Jawa Dwipa telah menjadi neraka orang-orang Swarna Dwipa (Sumatera).

Sriwjiya pun mengakhiri perlawanan, sisa-sisa pasukan mereka yang masih hidup menyatakan menyerah dan kembali ke pelabuhan Bandar Alim, berkremasi lalu mundur lagi ke Ujung Galuh dan pulang ke Swarna Dwipa. Tak pernah kembali lagi ke Jawa Dwipa.

Inilah satu-satunya kemenangan gemilang pasukan Mataram Hindu sepanjang perang dengan kerajaan Sriwijaya. Prabu Wawa sangat bangga dengan Rakryan I Hino Mpu Sindok. Ia bukan hanya mampu membawa kemenangan besar, namun juga berhasil menyelamatkan kelangsungan penerus dinastinya, Rara Prameswari Sri Wardhani.

Rakryan I Hino Mpu Sindok pun menikah dengan putri Raja Wawa itu. Sekaligus ia diberi kepercayaan untuk meneruskan tahta Mataram. Mpu Sindok diangkat menjadi raja baru di tanah Jawa, ia bergelar Sri Maharaja Isana Wikrama Dharmatunggadewa.

Sri Maharaja memilih memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur, dan mengganti nama kerajaan Mataram Kuno/Hindu menjadi Medang (I Medang Bumi Mataram).

*************
Delapan tahun berlalu,
Untuk memberi penghormatan kepada para penduduk yang dulu ikut membantu perang melawan pasukan Melayu, maka pada 10 April 937 Masehi Sri Maharaja Mpu Sindok menetapkan daerah Anjuk Ladang (Tanah Kemenangan) itu sebagai tanah Simma Tantra (tanah bebas pajak).

Di ladang tempat kemenangan besar itu pula, didirikan tugu kemenangan (Jaya Stambha) untuk mengenang kebesaran Mataram. Sekaligus ditulis prasasti pada sebuah batu andesit.

Prasasti Anjuk Ladang - koleksi foto Museum Nasional D.59
 
Replika Prasasti Anjuk Ladang - Koleksi Museum Anjuk Ladang
-
parnnaha nikanan imah unwana san hyan prasada atehera  jaya [sta]mbha
 wiwit matewekniranlahakan  satru[nira]  [haj]ja[n]  ri  [ma]layu
-
“Di tempat yang terpilih ini dijadikan tempat didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu kemenangan, di sanalah aku (raja) mengalahkan musuh-musuhku dari Melayu  - terjemahan prasasti Anjuk Ladang oleh de Carparis, pada artikelnya yang berjudul Some Notes on Transfer of Capitals in Ancient Sri Lanka and Southeast Asia.

Warna merah pada bunyi prasasti adalah huruf yang tidak bisa terbaca karena kondisi batu prasasti tersebut sudah aus di beberapa bagian.

*************
“Vhellyn, aku masih mencium aroma kemenangan disini.” ucapku ketika kami memasuki komplek Candi Lor.

“Aku juga Raffa.”

“Kini, apakah kau masih ragu? Kita telah dipertemukan lagi Adinda Rara Sri Prameswari Wardhani.” Lanjutku.

“Aku takut Raffa! Pernikahan setelah reinkarnasi itu tak pernah bisa terjadi!” Vhellyn tampak berkaca-kaca, suaranya sedikit bergetar.

“Aku juga takut kamu akan menyakitiku lagi, kamu telah menemukanku, pasti setelah ini kamu akan menemukan Sri Mangibhit juga, mendua lagi!”

“Tak akan pernah! Mangibhit telah bersabda tak akan menitis kepada siapa pun! reinkarnasiku ini hanya untukmu adinda” kukecup kening Vhellyn.

Kugandeng tangannya, lalu kugenggam erat jemari lentiknya. Hingga warna jingga diatas Jaya Stambha memudar. Menenggelamkan Surya di cakrawala Anjuk Ladang.

*************

Dirgahayu Anjuk Ladang, kota kelahiranku, Kota Angin, Tanah Kemenangan, Bumi Seribu Jaranan.

~ Tamat ~

#ODOP
#PostingHariKtigaPuluh
#AnniversaryAnjukLadang

Literatur :
Prasasti Bandar Alim.
Prasasti Hering Kujon Manis.
Prasasti Anjuk Ladang.

Catatan :
Rara Sri Mangibhit adalah istri selir (istri yang lain) dari Sri Maharaja Isana Wikrama Dharmatunggadewa.

Tugu Jaya Stambha yang di dirikan oleh Mpu Sindok itu kini dikenal sebagai Candi Lor di desa Candirejo, kecamatan Loceret, kabupaten Nganjuk. Meski kondisi fisiknya sudah aus terkikis jaman selama seribu tahun, namun bangunan itu masih berdiri megah hingga sekarang.

Pengucapan kata Anjuk Ladang seiring jaman berubah menjadi Nganjuk. Sementara hari didirikannya tugu kemenangan (Candi Lor) itu diperingati sebagai hari jadi Anjuk Ladang (kabupaten Nganjuk) setiap tanggal 10 April.

 
Tugu Jaya Stambha (Candi Lor) sekarang

17 komentar:

  1. Kota ku bentar lagi HUT, makin jaya yaaa Anjuk Ladang,

    BalasHapus
  2. Kota ku bentar lagi HUT, makin jaya yaaa Anjuk Ladang,

    BalasHapus
  3. Jadi si velyn ini reinkarnasi dari asinda rara prameswari itu yah?

    BalasHapus
  4. Amin ..
    Anjuk Ladang, kota sejuta kenangan.

    BalasHapus
  5. Keren Mas Heru. Hebat euy bisa punya ide bikin tulisan macem ini.

    BalasHapus
  6. Keren kang.kirim kompletnya ke gmail. Dong

    BalasHapus
  7. Jadi pengen jalan2. :D

    *Belum pernah liat candi* Hahaha #tragis

    BalasHapus
  8. cerita sejarahnya beneran kah, Mas Heru?
    saya sampai terpana...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejarahnya benran mbk Elsa, saya mencoba memberinya sentuhan fiksi ..
      prasasti Bandar Alim, prasasti Hering Kujon Manis dan prasasti Anjuk Ladang sebagai sumber kisahnya masih ada di Museum Nasional dan Museum Anjuk Ladang.

      Hapus
  9. Jaman dahulu transportasi menyusuri sungai.....dari l3mbah wilis kecamatan berbeg ada sungai ulo....coba di telusuri....sungai ulo bermuara di sungai widas tepatya di dsn dadung dekat dsn. Bandar alim....lah sungai ini mingkin yang dijadikan transportasi pasukan melayu sampai ke lembah wilis....

    BalasHapus
  10. Paduka titisan ishana, di selatan gunung kamput bersemayam raja raja pembaharu yang kisahnya tak tercatat dalam pengetahuan kuno. Mereka mengagungkan kemahsyuran mu.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *