komplek Candi Lor Nganjuk |
Lepas dari jalan
Mastrip, kami menyusuri pusat kota Nganjuk. Mulai dari jalan Veteran, jalan Merdeka
di Ganung Kidul hingga sampai di alun-alun kota Anjuk Ladang. Di alun-alun itu aku
dan Vhellyn kembali istirahat sejenak.
“Udah cukup
istirahatnya Vhell?”
“Oke dech, lanjut kemana lagi Raff?” jawab Vhellyn balik
bertanya.
“Travelling tipis-tipis yuk?” ajakku.
“Kemana?”
“Ke tempat dulu kita mengukir kejayaan sebelas abad silam”
bisikku.
“Mulai berimajinasi lagi dech.” timpal Vhellyn.
Perjalanan kami
teruskan lagi kearah selatan, membelah jalan raya A. Yani, berburu dengan waktu yang
sudah semakin sore. Sepuluh menit dari alun-alun, akhirnya kami sampai di lampu
merah Candi (simpang empat Candirejo – Loceret) ketika hari menjelang senja.
Dari jarak dua ratus
meter ke barat simpang empat Candi, aku sudah bisa mencium aroma kejayaan Mataram Kuno
di masa silam. Terasa ada sebuah energi yang menarikku dan Vhellyn untuk
semakin mempercepat laju kendaraan kearahnya.
Ke arah komplek taman
Candi Lor, yang berada tak jauh dari tempat kami berhenti.
*************
Setelah memporak-porandakan
pertahanan garda terdepan tentara Mataram Hindu di Margo Anung, pasukan
Sriwijaya terus bergerak ke selatan menuju lembah gunung Wilis.
Kedatangan mereka
sudah ditunggu oleh pasukan Mpu Sindok. Terjadi peperangan di daerah kaki
gunung Wilis ( sekitar wilayah Ngrawan,
Sengkut dan Berbek sekarang).
Pertempuran terjadi
selama beberapa hari. Pasukan Mataram Hindu yang masih kalah jumlah memilih strategi bertahan, tanpa
menggunakan taktik menyerang. Sementara pasukan Sriwijaya terus mengerahkan
seluruh kekuatan bala tentaranya. Tak memberi kesempatan sedikitpun kepada Mpu
Sindok dan prajuritnya untuk membalas serangan.
Setelah menjalankan
strategi bertahan selama mungkin itulah, Mpu Sindok memberikan perintah kepada
pasukan Mataram Hindu agar mundur secara pelan-pelan kearah utara, menjauh dari
lembah gunung Wilis.
“Kakang Mpu Danghil,
kita bergeser ke ladang pembantaian! perintahkan semua pasukan Mataram mundur!”
titah Rakryan I Hino Mpu Sindok.
“Inilah saatnya kita
jalankan siasat kita kakang Mpu Danghil!” serentak seluruh prajurit Mataram
mundur sambil tetap menjaga formasi strategi bertahan.
Pergerakan laskar Jawa
Dwipa ini terus diikuti tentara Melayu yang sudah memforsir habis-habisan
seluruh kekuatan pasukannya. Pasukan Sriwijaya tak sabar lagi untuk segera
mengakhiri perlawanan Mpu Sindok.
Sampailah kedua
pasukan itu di sebuah tempat yang sudah disiapkan pasukan Mataram Hindu untuk
melakukan perubahan strategi perang.
Terdengar sorak-sorai
membahana dari balik rerimbunan hutan dan persawahan hingga suaranya kemungkung-kumalungkung
(bersahut-bersahutan) yang membuat tentara Sriwijaya terkejut (kini tempat itu dikenal dengan nama desa Mungkung).
“Mereka datang! habisi
orang-orang Melayu!” teriak Mpu Brapa Baruk yang menjadi senopati pasukan
tersembunyi.
Belum sempat pasukan
Swarna Dwipa mencari asal suara, tiba-tiba muncul ribuan pasukan tak dikenal
dari balik persembunyian. Teriakan mereka membahana membakar semangat pasukan
Jawa Dwipa. Kini jumlah pasukan kedua kerajaan sudah berimbang.
Dalam kondisi seperti
itulah, Mpu Sindok memberikan perintah kepada pasukannya untuk merubah strategi
menjadi berbalik menyerang.
“Para kesatria
Mataram nan gagah perkasa, inilah saatnya kita membantai Melayu!” Rakryan I
Hino Mpu Sindok menghunus keris dan tombaknya, berlari ke barisan terdepan
sembari mengobarkan semangat para prajurit Mataram Kuno.
“Wahai orang Melayu,
aku Rakryan I Hino Mpu Sindok bersumpah .. kalian akan menyesal telah
menginjakkan kaki lagi di bumi Jawa Dwipa!”
Sabda dari Mpu Sindok
terdengar lantang hingga menggetarkan bumi Gejag (tempat berlangsungnya perang besar itu, kini bernama desa Gejagan). Ribuan
pasukan Mataram seperti mendapatkan kekuatan berlipat. Mereka mengamuk
menghabisi setiap prajurit Sriwijaya yang terlihat.
Keadaan menjadi berbalik,
pasukan Melayu yang kini terdesak dalam kondisi kekuatan yang mulai melemah
karena sebelumnya sudah memforsir habis-habisan di lembah gunung Wilis.
Diluar dugaan, sabda
dari Rakryan I Hino Mpu Sindok yang terdengar ke seluruh penjuru Jawa Dwipa itu
menggugah semangat patriotisme penduduk setempat. Dari segala penjuru pula
tiba-tiba berhamburan datang ribuan rakyat, tua muda bersenjata ala kadarnya ikut
bergabung ke medan laga.
“Kami datang untuk
paduka Mpu Sindok!” teriak para penduduk. Mereka ikut menyerang pasukan
Sriwijaya.
Hari itu benar-benar
menjadi mimpi buruk bagi bala tentara Melayu. Tanah Gejag menjadi merah oleh
tumpahan darah mereka. Bumi Jawa Dwipa telah menjadi neraka orang-orang Swarna
Dwipa (Sumatera).
Sriwjiya pun
mengakhiri perlawanan, sisa-sisa pasukan mereka yang masih hidup menyatakan
menyerah dan kembali ke pelabuhan Bandar Alim, berkremasi lalu mundur lagi ke Ujung Galuh dan
pulang ke Swarna Dwipa. Tak pernah kembali lagi ke Jawa Dwipa.
Inilah satu-satunya
kemenangan gemilang pasukan Mataram Hindu sepanjang perang dengan kerajaan
Sriwijaya. Prabu Wawa sangat bangga dengan Rakryan I Hino Mpu Sindok. Ia bukan
hanya mampu membawa kemenangan besar, namun juga berhasil menyelamatkan
kelangsungan penerus dinastinya, Rara Prameswari Sri Wardhani.
Rakryan I Hino Mpu
Sindok pun menikah dengan putri Raja Wawa itu. Sekaligus ia diberi kepercayaan
untuk meneruskan tahta Mataram. Mpu Sindok diangkat menjadi raja baru di tanah
Jawa, ia bergelar Sri Maharaja Isana
Wikrama Dharmatunggadewa.
Sri Maharaja memilih
memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur, dan mengganti nama kerajaan
Mataram Kuno/Hindu menjadi Medang (I Medang Bumi
Mataram).
*************
Delapan tahun berlalu,
Untuk memberi penghormatan
kepada para penduduk yang dulu ikut membantu perang melawan pasukan Melayu,
maka pada 10 April 937 Masehi Sri Maharaja Mpu Sindok menetapkan daerah Anjuk Ladang (Tanah Kemenangan) itu sebagai tanah Simma Tantra (tanah bebas
pajak).
Di ladang tempat
kemenangan besar itu pula, didirikan tugu kemenangan (Jaya Stambha) untuk
mengenang kebesaran Mataram. Sekaligus ditulis prasasti pada sebuah batu
andesit.
Prasasti Anjuk Ladang - koleksi foto Museum Nasional D.59 |
-
parnnaha nikanan imah
unwana san hyan prasada atehera jaya [sta]mbha
wiwit matewekniranlahakan satru[nira] [haj]ja[n] ri [ma]layu
-
“Di tempat yang terpilih ini dijadikan tempat
didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu
kemenangan, di sanalah aku (raja) mengalahkan
musuh-musuhku dari Melayu” - terjemahan prasasti Anjuk Ladang oleh de Carparis, pada artikelnya yang
berjudul Some Notes on Transfer of
Capitals in Ancient Sri Lanka and Southeast Asia.
Warna merah pada
bunyi prasasti adalah huruf yang tidak bisa terbaca karena kondisi batu
prasasti tersebut sudah aus di beberapa bagian.
*************
“Vhellyn, aku masih
mencium aroma kemenangan disini.” ucapku ketika kami memasuki komplek Candi Lor.
“Aku juga Raffa.”
“Kini, apakah kau
masih ragu? Kita telah dipertemukan lagi Adinda Rara Sri Prameswari Wardhani.” Lanjutku.
“Aku takut Raffa! Pernikahan
setelah reinkarnasi itu tak pernah bisa terjadi!” Vhellyn tampak berkaca-kaca,
suaranya sedikit bergetar.
“Aku juga takut kamu
akan menyakitiku lagi, kamu telah menemukanku, pasti setelah ini kamu akan
menemukan Sri Mangibhit juga, mendua lagi!”
“Tak akan pernah!
Mangibhit telah bersabda tak akan menitis kepada siapa pun! reinkarnasiku ini
hanya untukmu adinda” kukecup kening Vhellyn.
Kugandeng tangannya, lalu
kugenggam erat jemari lentiknya. Hingga warna jingga diatas Jaya Stambha
memudar. Menenggelamkan Surya di cakrawala Anjuk Ladang.
*************
Dirgahayu Anjuk
Ladang, kota kelahiranku, Kota Angin, Tanah Kemenangan, Bumi Seribu Jaranan.
~ Tamat ~
#ODOP
#PostingHariKtigaPuluh
#AnniversaryAnjukLadang
Literatur :
Prasasti
Bandar Alim.
Prasasti
Hering Kujon Manis.
Prasasti
Anjuk Ladang.
Catatan :
Rara Sri Mangibhit
adalah istri selir (istri yang lain)
dari Sri Maharaja Isana
Wikrama Dharmatunggadewa.
Tugu Jaya Stambha
yang di dirikan oleh Mpu Sindok itu kini dikenal sebagai Candi Lor di desa Candirejo, kecamatan Loceret, kabupaten Nganjuk.
Meski kondisi fisiknya sudah aus terkikis jaman selama seribu tahun, namun
bangunan itu masih berdiri megah hingga sekarang.
Tugu Jaya Stambha (Candi Lor) sekarang |
Kota ku bentar lagi HUT, makin jaya yaaa Anjuk Ladang,
BalasHapusKota ku bentar lagi HUT, makin jaya yaaa Anjuk Ladang,
BalasHapusJadi si velyn ini reinkarnasi dari asinda rara prameswari itu yah?
BalasHapusBetul mbk Vinny.
HapusAmin ..
BalasHapusAnjuk Ladang, kota sejuta kenangan.
Komplit sekali. Luarbiasaa
BalasHapusAcak acakan alurnya Lang ,,
HapusHehee
Keren Mas Heru. Hebat euy bisa punya ide bikin tulisan macem ini.
BalasHapusTerima kasih mbk Denik
HapusKeren kang.kirim kompletnya ke gmail. Dong
BalasHapusOke Mbk Wiwid, ditunggu aj
HapusJadi pengen jalan2. :D
BalasHapus*Belum pernah liat candi* Hahaha #tragis
segera di agendakan donk,
Hapuske Candi
cerita sejarahnya beneran kah, Mas Heru?
BalasHapussaya sampai terpana...
Sejarahnya benran mbk Elsa, saya mencoba memberinya sentuhan fiksi ..
Hapusprasasti Bandar Alim, prasasti Hering Kujon Manis dan prasasti Anjuk Ladang sebagai sumber kisahnya masih ada di Museum Nasional dan Museum Anjuk Ladang.
Jaman dahulu transportasi menyusuri sungai.....dari l3mbah wilis kecamatan berbeg ada sungai ulo....coba di telusuri....sungai ulo bermuara di sungai widas tepatya di dsn dadung dekat dsn. Bandar alim....lah sungai ini mingkin yang dijadikan transportasi pasukan melayu sampai ke lembah wilis....
BalasHapusPaduka titisan ishana, di selatan gunung kamput bersemayam raja raja pembaharu yang kisahnya tak tercatat dalam pengetahuan kuno. Mereka mengagungkan kemahsyuran mu.
BalasHapus