Arca Rakryan I Hino Mpu Sindok sebagai Wisnu - foto google |
“Kita kembali ke
gunung Wilis, siapkan ladang pembantaian untuk orang-orang Melayu!” tegas
Rakryan I Hino Mpu Sindok.
“Mereka akan menyesal
telah menginjakkan kaki lagi di Jawa Dwipa!”
“Jangan biarkan satu pun
tentara Sriwijaya bisa kembali ke Swarna Dwipa dengan selamat!” sang panglima
perang kembali mengobarkan semangat prajuritnya.
Pasukan kecil dari
sisa-sisa tentara Mataram Kuno itu pun perlahan merayap keluar hutan Munung.
Menjauh dari tepian barat bengawan Brantas, lalu bergerak kembali ke lembah gunung
Wilis, tempat mereka menyusun kekuatan baru.
Sementara pasukan
Sriwijaya masih menetap beberapa bulan di Ujung Galuh, menyiapkan bekal perang disana.
Mereka membuat kapal berbagai ukuran mulai rakit hingga kapal layar. Setelah merasa
siap, armada besar kerajaan Melayu itu pun melanjutkan perjalanan. Daerah yang
mereka tuju adalah kota pelabuhan yang terdekat dengan lembah gunung Wilis, Pelabuhan Bandar Alim (kini bernama desa Demangan, kecamatan
Tanjunganom, Nganjuk).
Tak lama menyusuri
bengawan Brantas, pasukan Sriwijaya pun sampai di Bandar Alim. Mereka mengambil
posisi berlabuh di sisi timur bengawan Brantas. Sedangkan sisi sebelah barat
bengawan Brantas adalah dermaga pelabuhan Bandar Alim.
Tepian sebelah timur bengawan
Brantas sengaja dipilih untuk menghindari serangan tak terduga pasukan Mataram
Hindu dari lembah gunung Wilis. Armada besar Melayu pun menjadikan tempat itu
sebagai markas pasukan.
Selama dua tahun (927
– 929 Masehi) pasukan kerajaan Sriwijaya yang berasal dari pangkalan Jambi menetap
disana. Menyusun strategi untuk menyerbu sisa pasukan Mataram Hindu di lembah
gunung Wilis. Dalam kurun waktu itulah mereka berinteraksi dengan penduduk
setempat. Kehadiran armada besar Sriwijaya (dikenal
dengan sebutan tentara Jambi oleh masyarakat setempat) akhirnya membawa
perubahan besar pada kehidupan sosial.
Sungai-sungai kecil disekitar
Bandar Alim yang bermuara di bengawan Brantas yang semula sepi pun tumbuh
menjadi jalur yang padat. Beberapa lekungan besar sungai (kedung – bahasa jawa) menjadi pusat perdagangan yang ramai (rejo – bahasa jawa). Banyak aktivitas
perdagangan (pasar) yang tumbuh di sepanjang jalur sungai.
*************
“Kita lanjutkan lagi perjalanan
yuk! masih sekitar sejam lagi sampai di Nganjuk Vhell.” kusentuh pelan kepala Vhellyn
yang masih bersandar di pundakku.
Ia terperanjat, seperti
bangun dari mimpi. Diusapnya kembali wajah ayunya, menghela nafas panjang lalu
menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku benar-benar enggak
ngerti dengan semua ini Raff!”
“Kelak kamu akan
mengerti adinda Rara Prameswari Sri Wardhani.” jawabku lirih.
“Woeyy …. namaku
Vhellyn! Bukan Sri tau!” ia melotot kearahku.
“Ya udah, ayo lanjut
lagi Raff!”
Kami melanjutkan
perjalanan lagi melalui Munung yang merupakan serambi kota angin (kabupaten
Nganjuk) lalu menembus wilayah pegunungan di Jatikalen. Kupacu terus sepeda
motor bututku hingga sampai di sebuah SPBU di ibu kota kecamatan Lengkong.
“Nge-POM dulu ya.” ucapku
ketika kubelokkan motor kami ke area stasiun pengisian BBM.
“Aku laper nih Raffa,
sekalian cari makan yuk!” Vhellyn mengusap-usap perutnya dengan ekspresi menggodaku.
Sejak berangkat dari Surabaya tadi aku belum mentraktirnya makan.
“Nanti kita cari
depot Nasi Becek aja Vhell.” jawabku.
Selagi jalan-jalan ke
Nganjuk, aku ingin mentraktirnya makanan khas Kota Angin. Nasi Becek hanya bisa ditemui di Nganjuk pikirku. Tentu
kelezatannya akan meninggalkan ketakjuban di lidah Vhellyn.
Dari ibu kota kecamatan
Lengkong, kami sengaja memilih jalur utara kota Seribu Jaranan (sebutan lain
dari Nganjuk) untuk menghindari kemacetan di jalur tengah Surabaya –
Nganjuk. Kutepikan sepeda motor ketika melihat warung makan bertuliskan “Depot Nasi Becek” di sebuah pasar
dekat jembatan wilayah Karangsemi. Pasar itu terlihat tidak besar, tetapi
letaknya strategis. Berada di jalur alternativ menuju pusat kota, dan berdiri
di tepian sebuah sungai.
Setelah memesan dua
porsi Nasi Becek dan dua gelas minuman es jeruk, kami mengambil tempat duduk di pojok depot. Dari tempat itu, aku dan Vhellyn bisa menatap pemandangan
jembatan Karangsemi beserta sungainya.
“Oh My God … apakah
aku sedang bermimpi?” lagi-lagi Vhellyn menutup bibirnya dengan telapak
tangannya.
Aku tak mampu
mendengar dengan jelas kata-katanya. Ketika kutoleh kearahnya, samar-samar kulihat
gadis lencir di sampingku itu sudah berbusana pakaian kebesaran kerajaan-kerajaan
Jawa kuno.
“Lihatlah kearah
sebarang jembatan sana, kearah dermaga itu!” dengan terbata-bata ia berucap.
“Bandar Alim!”
suaranya terdengar bergetar. Ia terus menunjuk kearah jembatan Karangsemi.
Seratus meter dari
posisi kami, kearah selatan jembatan Karangsemi adalah desa Demangan, sebuah
tempat pada sebelas abad silam berdiri megah pelabuhan Bandar Alim.
Tempat dimana Rara Prameswari Sri Wardhani merengek-rengek kepadaku di dermaga itu, menatap
saudara-saudaranya dari kerajaan Sriwijaya berkremasi
di seberang bengawan Brantas.
~ Bersambung ~
#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhDelapan
#Empat HariJelangHariJadiNganjuk
Catatan
:
Desa Demangan di kecamatan Tanjunganom,
kabupaten Nganjuk dahulu adalah dermaga pelabuhan Bandar Alim. Letusan dahsyat
gunung Kelud selama berabad-abad mengubah jalur aliran bengawan Brantas (sungai
Brantas) seperti sekarang.
Di desa inilah ditemukan sebuah prasasti yang ditulis oleh Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa (gelar dari Rakryan I Hino Mpu Sindok) setelah menjadi raja Wawutan Mas, cikal bakal kerajaan Medang.
Disebelah tenggara Demangan kini terdapat
sebuah desa bernama Kedungrejo yang berarti Lekungan
Sungai yang ramai. Pasar desa Karangsemi yang ada sampai sekarang adalah bekas pusat transaksi perdagangan penduduk kala itu (mungkin).
Tepian bengawan Brantas disisi sebelah
timur (seberang pelabuhan Bandar Alim) yang dijadikan persinggahan dan markas
pasukan Melayu dari pangkalan Jambi, kini dikenal dengan nama desa Jambi, berada
di kecamatan Baron kabupaten Nganjuk.
Nasi becek adalah masakan khas
masyarakat Nganjuk. Sejenis gulai daging kambing, disajikan dengan taburan
kecambah (tauge) mentah dan irisan daun seledri. Lengkap dengan beberapa tusuk
Sate Kambing Nganjuk.
Nasi Becek Khas Nganjuk - foto google |
Literatur :
Prasasti Bandar Alim.
Hadduuuh.. jadi pengen coba nasi becek. Mas heru ini tuh cerita fiksi atau memang ada dalam sejarah ya?
BalasHapusThe real History of Java ..
HapusSaya mencoba memberi sentuhan fiksi mbk Vinnyl
Ayooo kpn2 kl ke Nganjuk makan nasi Becek
Mas tulisane njenengan ki iso digawe Buku iki. Apik. Wis berkarakter. BTW kapan2 traktir nasi becek yo
BalasHapusHeheee .. mbk Wiwid ini berlebihan, saya masih amatiran mbake.
HapusAyooo kl ke Nganjuk saya traktir nasi Becek 😊
Oalahh... kompor mledug mas Heru nich yah... suka sejarah? Keren euyy...
BalasHapusHahaaa ...
HapusMasih amatiran mbk Indri ..
Kita hrs belajar dr sejarah.
Ttg asmaranya, kejayaan, hingga kejatuhan para petinggi negerinya
Wah, aku dibuat penasaran mulu nih..., antara sejarah dan fiksinya...
BalasHapusKeren pokoknya, menceritakan sejarah lewat fiksi...
Terima kasih mbk Khikmah ...
HapusImprovisasi ngawur ini, tapi tnpa merubah kisah sejarahnya kok.
Wahhh... idenya mantap
BalasHapusterima kasih mbk Raida
HapusMaaf mas bro....sungai yang anda maksud salah nama....kalau yang anda maksud itu namanya sungai widas.....sedangkan sungai brantas mengarah ke kota kediri...sungai widas bermuara di sungai brantas....tepatnya di desa megaluh....itu mungkin yang pada zaman dahulu disebut hujung galuh....(maaf sekedar meluruskan) mohon direvisi tulisan nya...heheh
BalasHapusTerima kasih Ki koreksinya.
HapusNanti saya coba menggali lagi berbagai referensi tentang ini. Data terakhir yang saya baca, aliran sungai Brantas dahulu melewati Jambi dan Bandar Alim. Letusan gunung Kelud selama ratusan tahun mengubah jalur seperti sekarang.
Atau mungkin yang disebut bengawan Brantas pada catatan yg pernah saya baca itu jangan2 sebitan lain dari Widas?
Sekali lagi matur suwun koreksinya Ki.
Salam bahagia.
alkhamdulillaah.....!
BalasHapusmaleh bangga menjadi anak bandaralim hehehe