Rabu, 06 April 2016

SENJA DI BANDAR ALIM (Part 3)



Arca Rakryan I Hino Mpu Sindok sebagai Wisnu - foto google

“Kita kembali ke gunung Wilis, siapkan ladang pembantaian untuk orang-orang Melayu!” tegas Rakryan I Hino Mpu Sindok.

“Mereka akan menyesal telah menginjakkan kaki lagi di Jawa Dwipa!”

“Jangan biarkan satu pun tentara Sriwijaya bisa kembali ke Swarna Dwipa dengan selamat!” sang panglima perang kembali mengobarkan semangat prajuritnya.

Pasukan kecil dari sisa-sisa tentara Mataram Kuno itu pun perlahan merayap keluar hutan Munung. Menjauh dari tepian barat bengawan Brantas, lalu bergerak kembali ke lembah gunung Wilis, tempat mereka menyusun kekuatan baru.

Sementara pasukan Sriwijaya masih menetap beberapa bulan di Ujung Galuh, menyiapkan bekal perang disana. Mereka membuat kapal berbagai ukuran mulai rakit hingga kapal layar. Setelah merasa siap, armada besar kerajaan Melayu itu pun melanjutkan perjalanan. Daerah yang mereka tuju adalah kota pelabuhan yang terdekat dengan lembah gunung Wilis, Pelabuhan Bandar Alim (kini bernama desa Demangan, kecamatan Tanjunganom, Nganjuk).

Tak lama menyusuri bengawan Brantas, pasukan Sriwijaya pun sampai di Bandar Alim. Mereka mengambil posisi berlabuh di sisi timur bengawan Brantas. Sedangkan sisi sebelah barat bengawan Brantas adalah dermaga pelabuhan Bandar Alim.

Tepian sebelah timur bengawan Brantas sengaja dipilih untuk menghindari serangan tak terduga pasukan Mataram Hindu dari lembah gunung Wilis. Armada besar Melayu pun menjadikan tempat itu sebagai markas pasukan.

Selama dua tahun (927 – 929 Masehi) pasukan kerajaan Sriwijaya yang berasal dari pangkalan Jambi menetap disana. Menyusun strategi untuk menyerbu sisa pasukan Mataram Hindu di lembah gunung Wilis. Dalam kurun waktu itulah mereka berinteraksi dengan penduduk setempat. Kehadiran armada besar Sriwijaya (dikenal dengan sebutan tentara Jambi oleh masyarakat setempat) akhirnya membawa perubahan besar pada kehidupan sosial.

Sungai-sungai kecil disekitar Bandar Alim yang bermuara di bengawan Brantas yang semula sepi pun tumbuh menjadi jalur yang padat. Beberapa lekungan besar sungai (kedung – bahasa jawa) menjadi pusat perdagangan yang ramai (rejo – bahasa jawa). Banyak aktivitas perdagangan (pasar) yang tumbuh di sepanjang jalur sungai.

*************
“Kita lanjutkan lagi perjalanan yuk! masih sekitar sejam lagi sampai di Nganjuk Vhell.” kusentuh pelan kepala Vhellyn yang masih bersandar di pundakku.

Ia terperanjat, seperti bangun dari mimpi. Diusapnya kembali wajah ayunya, menghela nafas panjang lalu menggeleng-gelengkan kepala.

“Aku benar-benar enggak ngerti dengan semua ini Raff!”

“Kelak kamu akan mengerti adinda Rara Prameswari Sri Wardhani.” jawabku lirih.

“Woeyy …. namaku Vhellyn! Bukan Sri tau!” ia melotot kearahku.

“Ya udah, ayo lanjut lagi Raff!”

Kami melanjutkan perjalanan lagi melalui Munung yang merupakan serambi kota angin (kabupaten Nganjuk) lalu menembus wilayah pegunungan di Jatikalen. Kupacu terus sepeda motor bututku hingga sampai di sebuah SPBU di ibu kota kecamatan Lengkong.

“Nge-POM dulu ya.” ucapku ketika kubelokkan motor kami ke area stasiun pengisian BBM.

“Aku laper nih Raffa, sekalian cari makan yuk!” Vhellyn mengusap-usap perutnya dengan ekspresi menggodaku. Sejak berangkat dari Surabaya tadi aku belum mentraktirnya makan.

“Nanti kita cari depot Nasi Becek aja Vhell.” jawabku.

Selagi jalan-jalan ke Nganjuk, aku ingin mentraktirnya makanan khas Kota Angin. Nasi Becek hanya bisa ditemui di Nganjuk pikirku. Tentu kelezatannya akan meninggalkan ketakjuban di lidah Vhellyn.

Dari ibu kota kecamatan Lengkong, kami sengaja memilih jalur utara kota Seribu Jaranan (sebutan lain dari Nganjuk) untuk menghindari kemacetan di jalur tengah Surabaya – Nganjuk. Kutepikan sepeda motor ketika melihat warung makan bertuliskan “Depot Nasi Becek” di sebuah pasar dekat jembatan wilayah Karangsemi. Pasar itu terlihat tidak besar, tetapi letaknya strategis. Berada di jalur alternativ menuju pusat kota, dan berdiri di tepian sebuah sungai.

Setelah memesan dua porsi Nasi Becek dan dua gelas minuman es jeruk, kami mengambil tempat duduk di pojok depot. Dari tempat itu, aku dan Vhellyn bisa menatap pemandangan jembatan Karangsemi beserta sungainya.

“Oh My God … apakah aku sedang bermimpi?” lagi-lagi Vhellyn menutup bibirnya dengan telapak tangannya.

Aku tak mampu mendengar dengan jelas kata-katanya. Ketika kutoleh kearahnya, samar-samar kulihat gadis lencir di sampingku itu sudah berbusana pakaian kebesaran kerajaan-kerajaan Jawa kuno.

“Lihatlah kearah sebarang jembatan sana, kearah dermaga itu!” dengan terbata-bata ia berucap.

“Bandar Alim!” suaranya terdengar bergetar. Ia terus menunjuk kearah jembatan Karangsemi.

Seratus meter dari posisi kami, kearah selatan jembatan Karangsemi adalah desa Demangan, sebuah tempat pada sebelas abad silam berdiri megah pelabuhan Bandar Alim.

Tempat dimana Rara Prameswari Sri Wardhani merengek-rengek kepadaku di dermaga itu, menatap saudara-saudaranya dari kerajaan Sriwijaya berkremasi di seberang bengawan Brantas.


~ Bersambung ~

#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhDelapan
#Empat HariJelangHariJadiNganjuk

Catatan :
Desa Demangan di kecamatan Tanjunganom, kabupaten Nganjuk dahulu adalah dermaga pelabuhan Bandar Alim. Letusan dahsyat gunung Kelud selama berabad-abad mengubah jalur aliran bengawan Brantas (sungai Brantas) seperti sekarang.

Di desa inilah ditemukan sebuah prasasti yang ditulis oleh Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa (gelar dari Rakryan I Hino Mpu Sindok) setelah menjadi raja Wawutan Mas, cikal bakal kerajaan Medang.

Disebelah tenggara Demangan kini terdapat sebuah desa bernama Kedungrejo yang berarti Lekungan Sungai yang ramai. Pasar desa Karangsemi yang ada sampai sekarang adalah bekas pusat transaksi perdagangan penduduk kala itu (mungkin).

Tepian bengawan Brantas disisi sebelah timur (seberang pelabuhan Bandar Alim) yang dijadikan persinggahan dan markas pasukan Melayu dari pangkalan Jambi, kini dikenal dengan nama desa Jambi, berada di kecamatan Baron kabupaten Nganjuk.

Nasi becek adalah masakan khas masyarakat Nganjuk. Sejenis gulai daging kambing, disajikan dengan taburan kecambah (tauge) mentah dan irisan daun seledri. Lengkap dengan beberapa tusuk Sate Kambing Nganjuk.

Nasi Becek Khas Nganjuk - foto google

Literatur :
Prasasti Bandar Alim.

13 komentar:

  1. Hadduuuh.. jadi pengen coba nasi becek. Mas heru ini tuh cerita fiksi atau memang ada dalam sejarah ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. The real History of Java ..
      Saya mencoba memberi sentuhan fiksi mbk Vinnyl
      Ayooo kpn2 kl ke Nganjuk makan nasi Becek

      Hapus
  2. Mas tulisane njenengan ki iso digawe Buku iki. Apik. Wis berkarakter. BTW kapan2 traktir nasi becek yo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheee .. mbk Wiwid ini berlebihan, saya masih amatiran mbake.
      Ayooo kl ke Nganjuk saya traktir nasi Becek 😊

      Hapus
  3. Oalahh... kompor mledug mas Heru nich yah... suka sejarah? Keren euyy...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaaa ...
      Masih amatiran mbk Indri ..
      Kita hrs belajar dr sejarah.
      Ttg asmaranya, kejayaan, hingga kejatuhan para petinggi negerinya

      Hapus
  4. Wah, aku dibuat penasaran mulu nih..., antara sejarah dan fiksinya...
    Keren pokoknya, menceritakan sejarah lewat fiksi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbk Khikmah ...
      Improvisasi ngawur ini, tapi tnpa merubah kisah sejarahnya kok.

      Hapus
  5. Maaf mas bro....sungai yang anda maksud salah nama....kalau yang anda maksud itu namanya sungai widas.....sedangkan sungai brantas mengarah ke kota kediri...sungai widas bermuara di sungai brantas....tepatnya di desa megaluh....itu mungkin yang pada zaman dahulu disebut hujung galuh....(maaf sekedar meluruskan) mohon direvisi tulisan nya...heheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Ki koreksinya.
      Nanti saya coba menggali lagi berbagai referensi tentang ini. Data terakhir yang saya baca, aliran sungai Brantas dahulu melewati Jambi dan Bandar Alim. Letusan gunung Kelud selama ratusan tahun mengubah jalur seperti sekarang.
      Atau mungkin yang disebut bengawan Brantas pada catatan yg pernah saya baca itu jangan2 sebitan lain dari Widas?
      Sekali lagi matur suwun koreksinya Ki.
      Salam bahagia.

      Hapus
  6. alkhamdulillaah.....!
    maleh bangga menjadi anak bandaralim hehehe

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *