Mobil Jendral Mallaby yang dihadang pemuda Surabaya - image google |
Kasmoeri adalah anak semata wayang dari Soemini.
Ayahnya sudah meninggal saat Kasmoeri masih balita. Untuk menyambung hidup, Soemini
terpaksa mencarikan pekerjaan bagi Kasmoeri saat usia bocah itu sebenarnya belum
layak untuk menjadi seorang kuli. Dititipkanlah Kasmoeri kecil ke toko seorang
China yang tinggal di kawasan Pecinan
(kini jalan Kapasan, Surabaya). Koh Akhiong.
Kasmoeri tak pernah mengenyam bangku Sekolah Rakyat.
Ketika itu hanya anak-anak orang berada seperti bangsawan, pegawai, dan pedagang
yang bisa bersekolah. Sedangkan rakyat jelatah seperti Soemini hanya bisa
menyuruh anaknya untuk mengaji di Langgar kampungnya. Minimal bisa membaca dan
menulis huruf Hijaiyyah.
Setiap hari Kasmoeri berjalan kaki dari rumahnya di Keputran
menuju toko majikannya sejauh tiga kilometer. Sepuluh tahun menjadi pesuruh Koh
Akhiong, Kasmoeri tumbuh menjadi sosok pemuda yang mulai bergejolak jiwa ketertarikannya
pada lawan jenis.
Adalah Soendari, gadis pelanggan di toko majikannya yang
telah menggelorakan jiwa muda Kasmoeri. Namun belum sempat Kasmoeri
mengutarakan perasaannya pada Soendari, kedatangan bangsa Nipon di Surabaya merubah
segalanya.
Semenjak kejadian pagi itu, saat Soendari dan adiknya
ditangkap Nipon, Kasmoeri menjadi kempleng.
Dicarinya kesana-kemari gadis yang diyakini telah menjadi kekasihnya meski ia
belum sempat berucap kata suka itu. Setiap orang yang berjumpa Kasmoeri ditanya
apakah pernah melihat segerombolan Nipon mengangkuti anak-anak gadis Surabaya?
Tetapi tak ada satupun yang mengetahui dimana keberadaan para Jugun Ianfu dibawa.
Ada yang bilang mereka dibawa ke Tangsi
di daerah Lowokwaru. Ada pula desas-desus yang mengatakan gadis-gadis itu
dikirim ke Semarang dan Jakarta.
Kasmoeri pun memendam murka dan dendam. Ia bersumpah
akan membuat perhitungan dengan orang-orang Nipon pada suatu hari nanti.
Akhirnya ia memutuskan bergabung dengan ajakan guru ngajinya untuk ikut berperang melawan bangsa asing yang menindas rakyat Surabaya. Laskar Santri. Guru ngaji Kasmoeri, Cak Doerrokhim mengatakan bahwa
Mbah Hasyim Asy’ari panutan mereka telah memberikan isyarat bahwa tak lama
lagi beliau akan menyerukan Resolusi Jihad Fisabilillah melawan penjajah.
*****
Soerabaja, 14
Agoestoes 1945.
Kabar menyerahnya Jepang kepada Amerika dan sekutunya
langsung tersebar ke segala penjuru negara-negara yang menjadi jajahannya.
Termasuk di Surabaya, berita penandatanganan penyerahan tanpa syarat oleh
Kaisar Hirohito menjadi perbincangan para penduduk pribumi.
“Katanya Nipon menyerah setelah negara mereka di bom
oleh Amerika.” Ucap Koesno, seorang teman Kasmoeri ketika mereka berkumpul di rumah Cak
Doerrokhim.
“Opo jeneng
kuthone sing di bom?” Tanya Kasmoeri.
“Nogosakti jarene!” Jawab Koesno.
“Seperti nama keris ya, Nogosakti!” Kasmoeri cengar-cengir mendengar nama kota di Jepang yang dijatuhi bom atom oleh Amerika.
“Siap-siapo Kas,
arek-arek katene budal tok Koblen,
mblejeti bedhile Nipon!” Koesno mengingatkan Kasmoeri.
Sehari kemudian, pergolakan terjadi dimana-mana. Rakyat
pribumi yang dimotori mantan anggota milisi bentukan Jepang membelot.
Mereka mengerahkan pemuda-pemuda untuk melucuti senjata Nipon.
Di Surabaya sendiri, Koblen menjadi sasaran pelampiasan dendam rakyat pribumi yang
tertindas selama tiga setengah tahun. Kasmoeri termasuk pemuda yang kesetanan.
Ia berada di barisan terdepan mengobrak-abrik bangunan peninggalan Belanda itu.
Beruntung ia selamat dari para penembak Nipon. Teman-temannya banyak yang
terluka dan meninggal dalam penyerbuan rakyat Surabaya ke Koblen.
Gejolak rakyat akhirnya mereda setelah melalui siaran
radio mereka mendengarkan suara Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta
meproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sontak kata-kata MERDEKA membahana dimana-mana. Hampir
diseluruh pelosok kampung setiap orang memekikkan kata itu. Cengkeraman dari
bangsa-bangsa yang kejam dan biadab selama tiga setengah abad telah berakhir.
Hotel Yamato (Oranje Hotel) 1945 - iamge google |
*****
Satu bulan setelah Indonesia Merdeka.
Menyerahnya
Jepang tanpa syarat kepada Sekutu membuat orang-orang Belanda yang masih
tersisa di Surabaya seolah-olah mendapat angin segar lagi. Pada suatu tengah
malam, sekelompok orang mengibarkan bendera Merah Putih Biru di Yamato Hoteru/Hotel
Yamato (De Oranje Hotel, sekarang bernama Hotel Majapahit
di Jl. Tunjungan).
Pagi
harinya, Kasmoeri yang hendak berangkat ke Kapasan melihat orang-orang sudah
berkerumun di jalan Tunjungan. Orang-orang itu menjadi marah karena menganggap
Belanda telah menghina kemerdekaan Indonesia. Kasmoeri pun ikut merangsek bersama
massa, mengepung Hotel Yamato.
Tampak
tiga arek Surabaya menerobos masuk ke dalam hotel untuk negosiasi dengan orang-orang Belanda. Pengibar bendera semalam. Terjadi
perkelahian di dalam hotel. Terdengar suara tembakan dari dalam yang membuat massa
diluar hotel semakin terbakar amarahnya.
Situasi
menjadi tak terkendali, Kasmoeri bersama beberapa orang melempari kaca hotel. Terlihat
dua orang bersusah payah memanjat gedung Hotel Yamato.
“Terus! Sithik maneh Cak!” Teriak Kasmoeri.
“Jogoen tok ngisor, ojok sampek Londo onok
sing metu!” Ucap pemuda dari atas gedung hotel Yamato.
Akhirnya
dengan gagah perkasa dua pemuda berhasil menurunkan Bendera Belanda. Merobek warna birunya dan menderek lagi bendera dengan sisa warna Merah Putih
berkibar diatas Hotel Yamato.
*****
Tanggal
25 Oktober 1945 pasukan Inggris mendarat di Surabaya. Misi mereka adalah
mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negeri
jajahan.
NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) atau lazim orang-orang Surabaya menyebutnya Londo Ireng karena didominasi
pasukan berkulit hitam (negro) ikut nebeng rombongan tentara Inggris.
Hal
ini kembali memicu gejolak rakyat Surabaya. Serangkaian pertempuran terjadi
dimana-mana. Melalui berbagai perundingan para pemimpin di Jakarta, akhirnya disepakati gencatan senjata.
Namun
bentrokan dan pertempuran antara tentara Inggris–rakyat Surabaya pasca
insiden Hotel Yamato masih terus terjadi.
*****
“Ati-ati
Kas, mugo-mugo kon slamet!” Ucap Koesno, teman Kasmoeri.
“Dendamku
belum tuntas. Hilangnya Soendari masih berbekas Koes!” Jawab Kasmoeri.
Pagi
itu 30 Oktober 1945, kabar bahwa Brigadir Jendral Mallaby (Komandan Militer Inggris se-Jatim) melakukan patroli keliling
Surabaya untuk sosialisasi gencatan senjata sudah tersebar.
Kasmoeri
termasuk seorang anggota Laskar Santri yang berniat membelot dari arahan Cak
Durrokhim agar semua pihak menahan diri. Ia hendak mencegat patroli orang-orang
Inggris.
Sampai
di Jembatan Merah, Kasmoeri segera menyelinap ke rerimbunan semak di pinggir
sungai. Sebatang besi laras panjang yang dirampas dari tentara Nipon sudah siap
dibidikkan olehnya.
Terdengar
deru suara mobil dari jarak sekitar seratus meter menuju Jembatan Merah. Nafas
Kasmoeri mulai naik turun tidak beraturan. Diarahkannya moncong senapan ke atas
jembatan. Kali ini dengan sekali bidik, akan tersungkur kau Mallaby pikir Kasmoeri.
Suara
mobil semakin mendekat. Kini Kasmoeri sudah bisa melihat dengan jelas orang
yang berada diatas mobil terbuka itu. Dalam hitungan beberapa detik, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh suara rentetan tembakan dari arah yang lain.
“Wedus! Arek-arek juga menyerang! Gitu gak ajak-ajak!” Gumam Kasmoeri.
Terjadi
baku tembak beberapa saat, Mallaby tewas oleh tembakan seorang pemuda.
Jembatan Merah tahun 1930, disinilah Jendral Mallaby tewas ditembak - image google |
Jembatan Merah Surabaya sekarang - image google |
Kematian
Jendral Mallaby membuat Inggris marah besar. Sehari setelah insiden Jembatan
Merah, Inggris mengirim 24.000 tentara infantri ke Surabaya.
Pengganti
Mallaby, Jendral Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan
bahwa semua orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan
senjatanya di tempat yang ditentukan (kini
perempatan sebelah Rumah Sakit Darmo, Jl. Darmo), menyerahkan diri
dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal
10 November 1945.
Pada
9 November 1945 tengah malam Gubernur Jatim RM Soerjo membalas ultimatum Inggris itu dengan pidato keramat “Lebih Baik Soerabaja Hancoer Leboer Daripada di Djadjah Lagi” yang disiarkan lewat radio.
Sejam
kemudian, pemimpin kharismatik Laskar Santri Surabaya yang sangat disegani yaitu
Soetomo (Bung Tomo) melanjutkan pidato. Petikan kalimat Basmallah dan Takbir
dari Bung Tomo benar-benar telah membakar semangat orang se-Surabaya malam itu.
“Allahu
Akbar!” Teriak Kasmoeri yang mengikuti pidato Bung Tomo lewat radio. Serentak teman-temannya yang berkumpul di rumah Cak
Doerrokhim yang menjadi markas mereka membalas dengan pekikan yang sama.
Pagi
harinya, 10 November 1945, kota Surabaya dikepung dan dibombardir meriam
pasukan Inggris dari segala penjuru darat, laut dan udara. Surabaya Melawan!
Bersama
ribuan pemuda dan rakyat Surabaya lainnya, Kasmoeri kembali kesetanan. Ia
kembali berada dibarisan terdepan. Membabi buta menembaki setiap orang
berseragam tentara Inggris yang dilihatnya. Tak terhitung berapa kali letusan
besi laras panjang miliknya menghabisi musuh. Hingga akhirnya sebuah rasa panas dan
nyeri dilambung menghentikan amukannya.
Kasmoeri
terduduk pelan-pelan. Ada rasa dingin yang tiba-tiba mengalir keluar dari
bajunya.
“Kasmoeri!
Kon kenek ta?” Teriak seorang
teman yang melihatnya.
Rasa
dingin yang berasal dari rembesan darah di lambungnya kini membuat wajah pemuda
itu memucat. Tubuhnya mulai menggigil. Pandangan matanya semakin mengabur.
Samar-samar ia masih mendengar dentuman meriam dan suara letusan senapan.
Sesaat
Kasmoeri terpejam. Ketika ia membuka mata, dilihatnya ia sudah terbaring di
sebuah tenda. Seorang gadis sibuk menyiapkan obat-obatan ala kadarnya.
“Soendari!
Kaukah itu?” Tanya Kasmoeri dengan suara parau. Dikucek-kucek matanya berkali-kali untuk memastikan sosok yang ada di dalam tenda perawatan itu. Si gadis hanya menoleh dan tersenyum ramah. Tampak sebuah tahi lalat menghias indah di bawah bibir ayunya.
“Bukan
Cak! Aku seorang bekas Jugun Ianfu!” Jawab si gadis.
~ TAMAT ~
#OneDayOnePost
--------------------------------------------------------------------------
Pecinan = Kawasan yang menjadi tempat
tinggal orang-orang China
Kempleng = Sangat kebingungan hingga
shock
Tangsi = Markas militer
Opo jeneng
kuthone sing di bom = Apa nama kota yang di bom
Nogosakti jarene = Nogosakti katanya (maksudnya Nagasaki, salah satu kota di
Jepang selain Hiroshima yang dijatuhi bom atom oleh Amerika)
Keris = Senjata tradisional masyarakat Jawa
Siap-siapo
Kas,
arek-arek katene budal tok Koblen,
mblejeti bedhile Nipon = Bersiaplah Kas, anak-anak akan berangkat ke
Kloben, merampasi senapan Jepang.
Wedus = Kambing, umpatan khas Surabaya
Sithik maneh Cak = Sedikit lagi mas
Jogoen tok ngisor, ojok sampek Londo iso metu = Jaga dibawah, jangan sampai ada Belanda yang bisa keluar
Londo Ireng = Belanda hitam
Ati-ati Kas, mugo-mugo kon slamet = Hati-hati Kas, semoga kamu selamat
Wedus = Kambing, salah satu umpatan gaya Surabaya.
Kon kenek ta = Kamu kena (tembakan) kah
Kon kenek ta = Kamu kena (tembakan) kah
Catatan :
Laskar Sabilillah,
Laskar Hizbullah, Laskar Santri adalah gerakan mengangkat senjata yang berbasis
pemuda Pondok Pesantren, Masjid dan Langgar. Laskar ini lahir didasari fatwa
Mbah Hasyim Asy’ari (Hadrotus Syaikh KH
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama) yang menyerukan bahwa wajib
hukumnya bagi seorang Muslim tua muda, kaya miskin untuk berperang melawan
bangsa Kafir yang berusaha menghambat kemerdekaan Indonesia.
Tiga
arek Surabaya yang menerobos Hotel Yamato dalam kisah diatas adalah Soedirman, Sidik
dan Harijono. Sidik akhirnya gugur oleh tembakan seorang pengawal Belanda
setelah ia mencekik mati pejabat Belanda di dalam hotel Yamato, VG Ploegman .
Sementara
arek Surabaya yang memanjat gedung Hotel Yamato, dan dengan gagah perkasa menurunkan
Bendera Belanda, merobek warna birunya lalu menderek lagi bendera dengan sisa
warna Merah Putih berkibar diatas Hotel Yamato bernama Koesno Wibowo.
Pemuda yang melepaskan tembakan hingga menewaskan Mallaby sampai sekarang masih misterius.
Pagi
hari 10 November 1945, kota Surabaya dikepung dari segala
penjuru oleh pasukan Inggris. Bersama
pemuda, tokoh masyarakat dan rakyat Surabaya, BKR/TKR (kini TNI) berhasil menjatuhkan dua pesawat Inggris yang mengangkut
Jendral Eric Cardon hingga tewas.
Pertempuran
terbesar dan terdahsyat sepanjang invasi
Inggris benar-benar terjadi di Surabaya. Dua Jendral mereka dan dua ribu
tentara Inggris tewas di sana. Media massa Inggris dan Amerika menyebutkan
Surabaya sebagai "Hell in East Java" (Neraka
di Timur Jawa).
Sementara
dari arek-arek Surabaya, tak kurang dari dua puluh ribu Mujahid juga wafat sebagai Syuhada dalam
pertempuran 10 November 1945 itu.
wuihhhhh kerennnn banget cak.. bikin merinding!!
BalasHapusTerima kasih mbk Sas,
HapusMencoba bongkar2 sejarah lagi dg sentuhan fiksi.
eh, sundari bukan yg ngobatin?
BalasHapusBukan ..
HapusTp seorang Jugun Ianfu.
Heheee
Verita2 mas heru selalu adas entuhan sekarahnya. Jadi keren dan gak ngebosenin bacanya... superbbb!
BalasHapushehehe ... masih acak adul alurnya mbk Vinny.
Hapusmakasih
Soendari kemana kang?
BalasHapusSoendari menghilang bak ditelan bumi mbakyu ...
Hapusseperti halnya para Jugun Ianfu lainnya yang tak ada kabar beritanya.
Aku pikir Soendari itu yg ngerawat lukanya Kasmoeri. Tp bukan ya.
BalasHapusYang merawat seorang Jugun Ianfu dengan tahi lalat di bawah bibirnya.
HapusDialah Soendari. :)
Arek-arek Suroboyo emang TOP! Merdeka atau mati...
BalasHapusKeren Mas Heru.., terharu sekaligus merinding...
Makasih Inet
Hapus