Rabu, 20 April 2016

JUGUN IANFU (Part 3)



Mobil Jendral Mallaby yang dihadang pemuda Surabaya - image google

Kasmoeri adalah anak semata wayang dari Soemini. Ayahnya sudah meninggal saat Kasmoeri masih balita. Untuk menyambung hidup, Soemini terpaksa mencarikan pekerjaan bagi Kasmoeri saat usia bocah itu sebenarnya belum layak untuk menjadi seorang kuli. Dititipkanlah Kasmoeri kecil ke toko seorang China yang tinggal di kawasan Pecinan (kini jalan Kapasan, Surabaya). Koh Akhiong.

Kasmoeri tak pernah mengenyam bangku Sekolah Rakyat. Ketika itu hanya anak-anak orang berada seperti bangsawan, pegawai, dan pedagang yang bisa bersekolah. Sedangkan rakyat jelatah seperti Soemini hanya bisa menyuruh anaknya untuk mengaji di Langgar kampungnya. Minimal bisa membaca dan menulis huruf Hijaiyyah.

Setiap hari Kasmoeri berjalan kaki dari rumahnya di Keputran menuju toko majikannya sejauh tiga kilometer. Sepuluh tahun menjadi pesuruh Koh Akhiong, Kasmoeri tumbuh menjadi sosok pemuda yang mulai bergejolak jiwa ketertarikannya pada lawan jenis.

Adalah Soendari, gadis pelanggan di toko majikannya yang telah menggelorakan jiwa muda Kasmoeri. Namun belum sempat Kasmoeri mengutarakan perasaannya pada Soendari, kedatangan bangsa Nipon di Surabaya merubah segalanya.

Semenjak kejadian pagi itu, saat Soendari dan adiknya ditangkap Nipon, Kasmoeri menjadi kempleng. Dicarinya kesana-kemari gadis yang diyakini telah menjadi kekasihnya meski ia belum sempat berucap kata suka itu. Setiap orang yang berjumpa Kasmoeri ditanya apakah pernah melihat segerombolan Nipon mengangkuti anak-anak gadis Surabaya? Tetapi tak ada satupun yang mengetahui dimana keberadaan para Jugun Ianfu dibawa. Ada yang bilang mereka dibawa ke Tangsi di daerah Lowokwaru. Ada pula desas-desus yang mengatakan gadis-gadis itu dikirim ke Semarang dan Jakarta.

Kasmoeri pun memendam murka dan dendam. Ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan orang-orang Nipon pada suatu hari nanti.

Akhirnya ia memutuskan bergabung dengan ajakan guru ngajinya untuk ikut berperang melawan bangsa asing yang menindas rakyat Surabaya. Laskar Santri. Guru ngaji Kasmoeri, Cak Doerrokhim mengatakan bahwa Mbah Hasyim Asy’ari panutan mereka telah memberikan isyarat bahwa tak lama lagi beliau akan menyerukan Resolusi Jihad Fisabilillah melawan penjajah.

*****
Soerabaja, 14 Agoestoes 1945.

Kabar menyerahnya Jepang kepada Amerika dan sekutunya langsung tersebar ke segala penjuru negara-negara yang menjadi jajahannya. Termasuk di Surabaya, berita penandatanganan penyerahan tanpa syarat oleh Kaisar Hirohito menjadi perbincangan para penduduk pribumi.

“Katanya Nipon menyerah setelah negara mereka di bom oleh Amerika.” Ucap Koesno, seorang teman Kasmoeri ketika mereka berkumpul di rumah Cak Doerrokhim.

Opo jeneng kuthone sing di bom?” Tanya Kasmoeri.
Nogosakti jarene!” Jawab Koesno.

“Seperti nama keris ya, Nogosakti!” Kasmoeri cengar-cengir mendengar nama kota di Jepang yang dijatuhi bom atom oleh Amerika.

Siap-siapo Kas, arek-arek katene budal tok Koblen, mblejeti bedhile Nipon!” Koesno mengingatkan Kasmoeri.

Sehari kemudian, pergolakan terjadi dimana-mana. Rakyat pribumi yang dimotori mantan anggota milisi bentukan Jepang membelot. Mereka mengerahkan pemuda-pemuda untuk melucuti senjata Nipon.

Di Surabaya sendiri, Koblen menjadi sasaran pelampiasan dendam rakyat pribumi yang tertindas selama tiga setengah tahun. Kasmoeri termasuk pemuda yang kesetanan. Ia berada di barisan terdepan mengobrak-abrik bangunan peninggalan Belanda itu. Beruntung ia selamat dari para penembak Nipon. Teman-temannya banyak yang terluka dan meninggal dalam penyerbuan rakyat Surabaya ke Koblen.

Gejolak rakyat akhirnya mereda setelah melalui siaran radio mereka mendengarkan suara Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta meproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sontak kata-kata MERDEKA membahana dimana-mana. Hampir diseluruh pelosok kampung setiap orang memekikkan kata itu. Cengkeraman dari bangsa-bangsa yang kejam dan biadab selama tiga setengah abad telah berakhir.

Hotel Yamato (Oranje Hotel) 1945 - iamge google
 
Hotel Majapahit (Yamato) Surabaya kini - image google
*****
Satu bulan setelah Indonesia Merdeka.

Menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu membuat orang-orang Belanda yang masih tersisa di Surabaya seolah-olah mendapat angin segar lagi. Pada suatu tengah malam, sekelompok orang mengibarkan bendera Merah Putih Biru di Yamato Hoteru/Hotel Yamato (De Oranje Hotel, sekarang bernama Hotel Majapahit di Jl. Tunjungan).

Pagi harinya, Kasmoeri yang hendak berangkat ke Kapasan melihat orang-orang sudah berkerumun di jalan Tunjungan. Orang-orang itu menjadi marah karena menganggap Belanda telah menghina kemerdekaan Indonesia. Kasmoeri pun ikut merangsek bersama massa, mengepung Hotel Yamato.

Tampak tiga arek Surabaya menerobos masuk ke dalam hotel untuk negosiasi dengan orang-orang Belanda. Pengibar bendera semalam. Terjadi perkelahian di dalam hotel. Terdengar suara tembakan dari dalam yang membuat massa diluar hotel semakin terbakar amarahnya.

Situasi menjadi tak terkendali, Kasmoeri bersama beberapa orang melempari kaca hotel. Terlihat dua orang bersusah payah memanjat gedung Hotel Yamato.

“Terus! Sithik maneh Cak!” Teriak Kasmoeri.

Jogoen tok ngisor, ojok sampek Londo onok sing metu!” Ucap pemuda dari atas gedung hotel Yamato.

Akhirnya dengan gagah perkasa dua pemuda berhasil menurunkan Bendera Belanda. Merobek warna birunya dan menderek lagi bendera dengan sisa warna Merah Putih berkibar diatas Hotel Yamato.

*****
Tanggal 25 Oktober 1945 pasukan Inggris mendarat di Surabaya. Misi mereka adalah mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan.

NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau lazim orang-orang Surabaya menyebutnya Londo Ireng karena didominasi pasukan berkulit hitam (negro) ikut nebeng rombongan tentara Inggris.

Hal ini kembali memicu gejolak rakyat Surabaya. Serangkaian pertempuran terjadi dimana-mana. Melalui berbagai perundingan para pemimpin di Jakarta, akhirnya disepakati gencatan senjata.

Namun bentrokan dan pertempuran antara tentara Inggris–rakyat Surabaya pasca insiden Hotel Yamato masih terus terjadi.

*****
Ati-ati Kas, mugo-mugo kon slamet!” Ucap Koesno, teman Kasmoeri.

“Dendamku belum tuntas. Hilangnya Soendari masih berbekas Koes!” Jawab Kasmoeri.

Pagi itu 30 Oktober 1945, kabar bahwa Brigadir Jendral Mallaby (Komandan Militer Inggris se-Jatim) melakukan patroli keliling Surabaya untuk sosialisasi gencatan senjata sudah tersebar.

Kasmoeri termasuk seorang anggota Laskar Santri yang berniat membelot dari arahan Cak Durrokhim agar semua pihak menahan diri. Ia hendak mencegat patroli orang-orang Inggris.

Sampai di Jembatan Merah, Kasmoeri segera menyelinap ke rerimbunan semak di pinggir sungai. Sebatang besi laras panjang yang dirampas dari tentara Nipon sudah siap dibidikkan olehnya.

Terdengar deru suara mobil dari jarak sekitar seratus meter menuju Jembatan Merah. Nafas Kasmoeri mulai naik turun tidak beraturan. Diarahkannya moncong senapan ke atas jembatan. Kali ini dengan sekali bidik, akan tersungkur kau Mallaby pikir Kasmoeri.

Suara mobil semakin mendekat. Kini Kasmoeri sudah bisa melihat dengan jelas orang yang berada diatas mobil terbuka itu. Dalam hitungan beberapa detik, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara rentetan tembakan dari arah yang lain.

Wedus! Arek-arek juga menyerang! Gitu gak ajak-ajak!” Gumam Kasmoeri.

Terjadi baku tembak beberapa saat, Mallaby tewas oleh tembakan seorang pemuda.

Jembatan Merah tahun 1930, disinilah Jendral Mallaby tewas ditembak - image google
Jembatan Merah Surabaya sekarang - image google

Kematian Jendral Mallaby membuat Inggris marah besar. Sehari setelah insiden Jembatan Merah, Inggris mengirim 24.000 tentara infantri ke Surabaya.

Pengganti Mallaby, Jendral Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan (kini perempatan sebelah Rumah Sakit Darmo, Jl. Darmo), menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Pada 9 November 1945 tengah malam Gubernur Jatim RM Soerjo membalas ultimatum Inggris itu dengan pidato keramat “Lebih Baik Soerabaja Hancoer Leboer Daripada di Djadjah Lagi” yang disiarkan lewat radio.

Sejam kemudian, pemimpin kharismatik Laskar Santri Surabaya yang sangat disegani yaitu Soetomo (Bung Tomo) melanjutkan pidato. Petikan kalimat Basmallah dan Takbir dari Bung Tomo benar-benar telah membakar semangat orang se-Surabaya malam itu.

“Allahu Akbar!” Teriak Kasmoeri yang mengikuti pidato Bung Tomo lewat radio. Serentak teman-temannya yang berkumpul di rumah Cak Doerrokhim yang menjadi markas mereka membalas dengan pekikan yang sama.

Pagi harinya, 10 November 1945, kota Surabaya dikepung dan dibombardir meriam pasukan Inggris dari segala penjuru darat, laut dan udara. Surabaya Melawan!

Bersama ribuan pemuda dan rakyat Surabaya lainnya, Kasmoeri kembali kesetanan. Ia kembali berada dibarisan terdepan. Membabi buta menembaki setiap orang berseragam tentara Inggris yang dilihatnya. Tak terhitung berapa kali letusan besi laras panjang miliknya menghabisi musuh. Hingga akhirnya sebuah rasa panas dan nyeri dilambung menghentikan amukannya.

Kasmoeri terduduk pelan-pelan. Ada rasa dingin yang tiba-tiba mengalir keluar dari bajunya.

“Kasmoeri! Kon kenek ta?” Teriak seorang teman yang melihatnya.

Rasa dingin yang berasal dari rembesan darah di lambungnya kini membuat wajah pemuda itu memucat. Tubuhnya mulai menggigil. Pandangan matanya semakin mengabur. Samar-samar ia masih mendengar dentuman meriam dan suara letusan senapan.

Sesaat Kasmoeri terpejam. Ketika ia membuka mata, dilihatnya ia sudah terbaring di sebuah tenda. Seorang gadis sibuk menyiapkan obat-obatan ala kadarnya.

“Soendari! Kaukah itu?” Tanya Kasmoeri dengan suara parau. Dikucek-kucek matanya berkali-kali untuk memastikan sosok yang ada di dalam tenda perawatan itu. Si gadis hanya menoleh dan tersenyum ramah. Tampak sebuah tahi lalat menghias indah di bawah bibir ayunya.

“Bukan Cak! Aku seorang bekas Jugun Ianfu!” Jawab si gadis.

 ~ TAMAT ~

Baca juga kisah selengkapnya Jugun Ianfu :
Part 1
Part 2

#OneDayOnePost
--------------------------------------------------------------------------

Pecinan = Kawasan yang menjadi tempat tinggal orang-orang China
Kempleng = Sangat kebingungan hingga shock
Tangsi = Markas militer
Opo jeneng kuthone sing di bom = Apa nama kota yang di bom
Nogosakti jarene = Nogosakti katanya (maksudnya Nagasaki, salah satu kota di Jepang selain Hiroshima yang dijatuhi bom atom oleh Amerika)
Keris = Senjata tradisional masyarakat Jawa
Siap-siapo Kas, arek-arek katene budal tok Koblen, mblejeti bedhile Nipon = Bersiaplah Kas, anak-anak akan berangkat ke Kloben, merampasi senapan Jepang.
Wedus = Kambing, umpatan khas Surabaya
Sithik maneh Cak = Sedikit lagi mas
Jogoen tok ngisor, ojok sampek Londo iso metu = Jaga dibawah, jangan sampai ada Belanda yang bisa keluar
Londo Ireng = Belanda hitam
Ati-ati Kas, mugo-mugo kon slamet = Hati-hati Kas, semoga kamu selamat
Wedus = Kambing, salah satu umpatan gaya Surabaya.
Kon kenek ta = Kamu kena (tembakan) kah

Catatan :
Laskar Sabilillah, Laskar Hizbullah, Laskar Santri adalah gerakan mengangkat senjata yang berbasis pemuda Pondok Pesantren, Masjid dan Langgar. Laskar ini lahir didasari fatwa Mbah Hasyim Asy’ari (Hadrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama) yang menyerukan bahwa wajib hukumnya bagi seorang Muslim tua muda, kaya miskin untuk berperang melawan bangsa Kafir yang berusaha menghambat kemerdekaan Indonesia.

Tiga arek Surabaya yang menerobos Hotel Yamato dalam kisah diatas adalah Soedirman, Sidik dan Harijono. Sidik akhirnya gugur oleh tembakan seorang pengawal Belanda setelah ia mencekik mati pejabat Belanda di dalam hotel Yamato, VG Ploegman .

Sementara arek Surabaya yang memanjat gedung Hotel Yamato, dan dengan gagah perkasa menurunkan Bendera Belanda, merobek warna birunya lalu menderek lagi bendera dengan sisa warna Merah Putih berkibar diatas Hotel Yamato bernama Koesno Wibowo.

Pemuda yang melepaskan tembakan hingga menewaskan Mallaby sampai sekarang masih misterius.

Pagi hari 10 November 1945, kota Surabaya dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Inggris. Bersama pemuda, tokoh masyarakat dan rakyat Surabaya, BKR/TKR (kini TNI) berhasil menjatuhkan dua pesawat Inggris yang mengangkut Jendral Eric Cardon hingga tewas.

Pertempuran terbesar dan terdahsyat sepanjang invasi Inggris benar-benar terjadi di Surabaya. Dua Jendral mereka dan dua ribu tentara Inggris tewas di sana. Media massa Inggris dan Amerika menyebutkan Surabaya sebagai "Hell in East Java" (Neraka di Timur Jawa).

Sementara dari arek-arek Surabaya, tak kurang dari dua puluh ribu Mujahid juga wafat sebagai Syuhada dalam pertempuran 10 November 1945 itu.

12 komentar:

  1. wuihhhhh kerennnn banget cak.. bikin merinding!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbk Sas,
      Mencoba bongkar2 sejarah lagi dg sentuhan fiksi.

      Hapus
  2. Verita2 mas heru selalu adas entuhan sekarahnya. Jadi keren dan gak ngebosenin bacanya... superbbb!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe ... masih acak adul alurnya mbk Vinny.
      makasih

      Hapus
  3. Balasan
    1. Soendari menghilang bak ditelan bumi mbakyu ...
      seperti halnya para Jugun Ianfu lainnya yang tak ada kabar beritanya.

      Hapus
  4. Aku pikir Soendari itu yg ngerawat lukanya Kasmoeri. Tp bukan ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang merawat seorang Jugun Ianfu dengan tahi lalat di bawah bibirnya.
      Dialah Soendari. :)

      Hapus
  5. Arek-arek Suroboyo emang TOP! Merdeka atau mati...
    Keren Mas Heru.., terharu sekaligus merinding...

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *