Selasa, 26 April 2016

BALADA SANG PENGHUTANG NYAWA (Part 1)



Belantara Rimba Papua - image google

 Rimba Papua, 2001.

“Bertahanlah Ren! Kami akan membawamu ke distrik terdekat!”

“Aku sudah tak kuat lagi.” Rendi terus menggigil.

“Dingin sekali rasanya!” Suaranya terdengar ikut gemetaran. Sehari sudah ia tergeletak tak berdaya.

“Kamu harus kuat! Setidaknya hingga fajar tiba!” Sambil berkali-kali melihat jarum arlojinya, Idrus tak henti-hentinya memberikan semangat kepada kawannya itu.

Belantara Papua memang ganas. Bukan hanya gerombolan OPM (Organisasi Papua Merdeka) saja yang setiap saat bisa menyergap mereka. Kutukan pedalaman hutan ini terhadap orang asing yang berani menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih juga siap menerkam. Malaria adalah momok yang paling menyeramkan. Selain gerombolan pengibar bendera Bintang Kejora.

Satu bulan dikirim ke Keroom, akhirnya Rendi ambruk. Berada disebuah lembah dengan suhu sepuluh derajat celcius, bahkan pada malam hari bisa mencapai minus lima bukanlah tempat yang bersahabat. Gemblengan fisik selama berbulan-bulan di barak militer seakan tak ada artinya.

Bersama kawan-kawan satu peletonnya, Rendi harus berpatroli menyusuri sepanjang aliran sungai Fly setiap hari. Lembah Keroom nyaris tak bisa ditembus sinar matahari. Lebatnya belantara menjadikan tempat ini seperti gelap sepanjang masa. Medan dengan ketinggian empat ribu kaki juga semakin menguntungkan OPM untuk bergerilya.

Alhasil pasukan Baret Merah yang diterjunkan ke Keroom hanya mampu mendesak gerombolan itu menepi ke garis perbatasan dan menjauh dari teritorial Papua. Masuk ke belantara hutan negeri sebelah, Papua Nugini.

Jarum arloji menunjukkan pukul 04.00 waktu Papua ketika Letnan Reynald, pemimpin dari regu penyisir sungai Fly menghampiri Idrus.

“Bagaimana kondisinya?”

“Semakin panas badannya.” Jawab Idrus yang hanya bertelanjang dada. Baju dorengnya kini bahkan sudah ia lepas untuk menyelimuti Rendi yang semakin  menggigil dan mengigau.

“Berangkatlah sekarang. Empat jam nanti kamu sudah sampai di balik bukit. Disana sudah ada sinar matahari. Kau bisa berkomunikasi dengan Camp terdekat. Segera hubungi distrik Boven Digoel!” Reynald melepaskan baju, lalu mencopot kaos dorengnya yang ia rangkapkan.

“Pakai kaos ini!” Ia melemparkan kaosnya ke arah Idrus yang masih bertelanjang dada.

“Hendri, kemari kau!” Perintah Reynald kepada salah satu anggota pasukan yang lain.

“Siap Letnan!” Jawab seorang yang dipanggilnya.

“Bawa amunisimu. Siapkan juga granat asap. Dalam kondisi terdesak, lemparkan bom itu! Pasukan-pasukan yang menyisir dataran tinggi dan perbukitan akan melihatnya! Mereka akan mendatangimu untuk memberikan bantuan!”

“Tugasmu melindungi Rendi dan Idrus sampai di lembah Boven Digoel!” Tegas Reynald.

“Kalian berangkatlah sekarang! Rendi harus segera ditangani pasukan medis!”

“Siap! Kami berangkat Letnan!” Jawab Idrus dan Hendri serempak.

********
Pasukan TNI di belantara Papua - image google
Pasukan TNI di tapal batas Papua - PNG
Gerombolan OPM - image google

Dengan susah payah Idrus memapah Rendi yang semakin lemas dan pucat. Sementara Hendri berjalan di depan mereka. Tangannya memegang erat AK-47. Sesekali ia nyalakan lampu senter yang terpasang di ujung senapannya sebagai penerangan.

Tak ada jalan setapak. Hanya rerimbunan belukar dan pepohonan terjal yang memenuhi jalur mereka. Kabut masih mencekat.

Ketiga anggota pasukan Baret Merah itu terus menembus gelapnya rimba. Hanya bermodalkan kompas, arloji dan lampu senter di AK-47. Mereka terus berjalan naik turun perbukitan terjal. Menyeberangi beberapa kelokan sungai Fly. Berpacu dengan keselamatan nyawa Rendi.

“Berhenti!” Tiba-tiba Rendi kembali mengerang.

“Tinggalkan aku disini. Kalian kembali saja!” Lanjutnya dengan nafas tersengal-sengal. Badannya masih tetap menggigil.

“Camp sudah dekat. Sebentar lagi Ren!” Bujuk Idrus.

“Aku sudah tak kuat lagi. Percuma kalian membawaku. Aku juga akan mati di perjalanan nanti!”

“Dengar kami Rendi! Kau tak akan mati. Pasukan medis sudah menunggumu!” Hendri ikut memberikan semangat kepada Rendi.

Rendi tersenyum dengan memaksa. Perlahan tubuhnya merendah, semakin lemas. Idrus menahannya. Sesaat kawannya itu terbaring di pangkuannya. Matanya berkali-kali terpejam, lalu terbuka lagi.

“Bangun kau Rendi! Lawan rasa kantukmu!” Bentak Idrus. Ia tahu bahwa Rendi tak boleh mengikuti rasa kantuk akibat kondisi tubuh yang semakin drop itu.

“Idrus, buat dia tetap tersadar! Jangan boleh terpejam!” Teriak Hendri.

“Cepat lakukan!” Bentak Hendri lagi.

Plak! Plak!

Dua tamparan Idrus di muka sahabatnya membuat Rendi membuka mata lagi. Buliran bening tampak mengumpul di sudut pelupuknya.

“Perjalanan di pedalaman ini begitu menyenangkan kawan.” Ucap Rendi semakin pelan.

“Tolong sampaikan ke istri dan anak-anakku. Aku meninggal di belantara Papua ini dengan gagah perkasa. Bukan karena Malaria.” Suara Rendi terbata-bata. Tenggelam dalam nafas yang terengah-engah.

~ BERSAMBUNG ~

Baca kelanjutan kisahnya di : 
Part 2
Part 3
Part 4

#OneDayOnePost
#PostingHariKeempatPuluhDua

----------------------------------------
Cerita ini saya dedikasikan untuk almarhum Sertu HS yang telah menyelamatkan nyawa Serda UTS saat mereka dikirim ke medan tugas. Keduanya adalah anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura.

25 komentar:

  1. Wah...keren nih Mas, bikin cerita model begini susyah euy...lolos ini sih tantangan bulan depan...hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih ...
      ini pemanasan untuk tantangan bulan depan, hehehe

      Hapus
  2. Heru, aku seperti terbawa dalam cerita. Hebat pisan

    BalasHapus
  3. Keren kak, larut banget sama ceritanya, aku nggak melihat ada typo, nice ..
    Ditunggu kelanjutannya yaa.. semangatt 😊

    BalasHapus
  4. Wah selalu ada cerita bersejarah setiap mampir Di blog mu kang

    BalasHapus
  5. Wah, ciri khas mas Heru ini emang mantap di sejarah. Keren bisa membuat sejarah lebih hidup untuk dibaca...

    BalasHapus
  6. Ini kisah nyata mas?
    Penasaran sama lanjutannya...

    BalasHapus
  7. Ini kisah nyata mas?
    Penasaran sama lanjutannya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah true story. Saya beri sedikit sentuhan fiksi mbk Deasy.

      Hapus
  8. Wah.. mas heru dah bikin tantangan buat bulan depan??😎😎😎kereeennn

    BalasHapus
  9. Pengetahuan macam ni luas bener... keren, mas heru... lanjutkan berkarya... idenya banyak, hehehe

    BalasHapus
  10. Wow...cerita mas heru keren....
    Selalu buat aq terpukau dengan detail yg mampu membuat pembaca seakan akan berada di lokasi kejadian.....
    2 jempol buat mas heru....
    Buat tantangan bln depan meguru dhisik aahh nang mas heru...hehhehe

    BalasHapus
  11. Mataku basah..serasa aku yg disana. Tulisan yg bagus.

    BalasHapus
  12. Mantaappp... Ga bosen baca cerita Mas heru... Ga sabar nunggu kelanjutannya.

    BalasHapus
  13. Nice story, saran nih.. masih ada dialog yg gak ketahuan sapa yang sedang berdialog... ada dialog yg harusnya bisa jd satu dn jk diputus pun, pemberian keterangannya kurang mantap... masih ada pengulangan kata padahal dlm satu alinea dn itu aline yang pendek.. kalau panjang.. mungkin bisa dimaklumi... but secara keselurahan bagus and detil..

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih bang sarannya ... tulisan sy memang masih acak adul.

      Hapus
    2. sama"... aku juga gt.. yg pnting mau trus belajar dn memperbaiki diri serta banyak membaca cerita dari author yg lainnya dn tidak malu bertanya...

      Hapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *