Granat asap - image google |
Rimba Papua, 2001.
“Sedikit lagi Rendi!”
“Bantu mengangkat tubuhnya ke punggungku!” Pinta Idrus.
Hendri segera membopong Rendi. Diangkatnya tubuh lunglai tak berdaya itu ke
punggung Idrus. Kedua tangan Rendi ia ikatkan ke depan badan Idrus. Tak jauh
lagi mereka akan mencapai puncak bukit terdekat.
Sementara kesadaran Rendi semakin menurun. Ini berbahaya. Rendi harus
tetap terjaga kesadarannya. Hendri menghentikan langkah, lalu berbalik menghampiri
Idrus.
“Apa boleh buat, kita harus membuat luka di jarinya!” Ucap Hendri. Ia
mengeluarkan sebuah pisau komando yang terselip di pinggang.
“Tahan sebentar, ini sakit. Tetapi akan membuatmu tetap tersadar kawan!” Bisiknya sembari memegang salah satu jari jempol Rendi.
Sesaat Rendi menggeliat dan mengaduh kesakitan. Darah segar mengucur
dari ibu jarinya yang terluka oleh pisau komando Hendri.
“Bagus Ren! Kau semakin tersadar. Ayo cepat kita lanjutkan lagi!” Teriak
Idrus. Ia mengajak Hendri setengah berlari. Susah payah Idrus menggendong tubuh
Rendi. Seperti seorang bapak yang menggendong anak kecilnya.
*********
Sekitar empat jam menyusuri belantara rimba, akhirnya mereka melihat
kabut yang semakin menipis.
“Rendi, lihatlah!” Teriak Idrus menunjuk keatas. Kearah sela-sela dedaunan.
“Itu sinar matahari!”
“Bantuan akan segera datang Ren!” Teriak Idrus.
“Cepat lemparkan granat asapmu Hendri!” Setengah histeris Idrus
memerintahkan Hendri.
Hendri segera mengeluarkan sebuah benda dari ranselnya. Dibukanya swicth
pelatuk, lalu dilemparkan granat asap ke rerumputan tak jauh dari tempat mereka
berhenti. Seketika asap putih keungu-unguan membumbung tinggi. Semakin tebal
dan mengangkasa.
“Menjangan Dua disini. Kami berada pada koordinat tiga puluh derajat lintang selatan. Ada prajurit yang harus segera dievakuasi. Kami butuh tandu dan bantuan medis. Pasukan terdekat harap merapat!” Ucap Hendri melalui radiophone di ranselnya.
AN/PRC-77, radiophone di medan tempur - image google |
“Menjangan Dua disini. Kami berada pada koordinat tiga puluh derajat lintang selatan. Ada prajurit yang harus segera dievakuasi. Kami butuh tandu dan bantuan medis. Pasukan terdekat harap merapat!” Ucap Hendri melalui radiophone di ranselnya.
“Granat asap menandakan posisi
kami!” Tutup
Hendri.
“Diterima Macan Tutul Satu. Bantuan
sudah bergerak menuju lokasi Menjangan Dua!” Balas sebuah suara yang masuk ke radiophone Hendri.
Setengan jam kemudian, sepasukan bala bantuan datang. Tampak dua
prajurit membawa tandu. Empat tentara lainnya dengan sigap memberikan
pengawalan perlindungan.
“Cepat angkat dia ke tandu!” Perintah pemimpin pasukan bantuan itu.
“Sersan Daniel, segera injectkan
obatmu!”
“Siap Letnan!” Sersan Daniel, prajurit yang diperintah segera melakukan
pertolongan pertama. Dari peralatan yang dibawanya, jelas menunjukkan bahwa ia
adalah prajurit medis.
“Kita bawa ke Camp Boven Digoel!” Lanjut sang pemimpin.
Mereka adalah sama-sama pasukan TNI yang dikirim ke belantara Papua. Tetapi
berasal dari kesatuan yang berbeda. Badge
yang menempel di lengan baju menunjukkan mereka berasal dari sebuah kesatuan Batalyon
Infantri di Sidoarjo.
“Rendi, aku hanya bisa mengantarmu sampai disini.” Bisik Idrus.
Dipeluknya tubuh Rendi yang semakin tak berdaya.
“Kamu akan dibawa ke Camp. Dirawat disana, setelah sembuh kamu ditarik
pulang ke markas.” Hendri menggenggam tangan Rendi. Membesarkan hati sahabatnya.
“Sebentar lagi kamu segera bisa berkumpul lagi dengan istri dan
anak-nakmu Ren.”
“Semoga Allah meridhoi pengabdian kita. Jika kita ditakdirkan berumur
panjang, tahun depan kita akan bertemu lagi di Kartasura kawan.” Tutup Idrus.
Rendi hanya tersenyum. Bulir-bulir bening pun tak tertahan dan mengalir
di sudut bibirnya.
“Terima kasih kawan-kawan. Mungkin aku benar-benar telah mati andai
tidak ada kalian.” Jawab Rendi dengan pelan.
“Selamat berjuang. NKRI Harga Mati!” Ia masih sempat mengepalkan tangan
saat tubuhnya mulai ditandu pasukan penolong. Bergerak menuju Camp TNI
terdekat, Boven Digoel.
Idrus dan Hendri masih berdiri di tempatnya. Menatap iring-iringan pasukan pembawa Rendi.
Semakin jauh. Hingga mereka hampir tak terlihat, terbenam dalam sisa-sisa kabut belantara
Papua.
“Rendi... Kita bertemu di Kartasura! NKRI Harga Mati!” teriak Idrus.
Samar-samar terlihat Rendi di kejauhan melambai-lambaikan tangannya.
#OneDayOnePost
#PostingHariKeempatPuluhTiga
----------------------------------------
Cerita
ini saya dedikasikan untuk almarhum Sertu HS yang telah menyelamatkan nyawa Serda UTS saat mereka
dikirim ke medan tugas. Keduanya adalah anggota Grup 2 Kopassus Kandang
Menjangan, Kartasura.
Kok nangis mocone yo
BalasHapusMbakyu ... true story ini akan ending di kota sampean. Jogja
HapusSendu sekali. Kesetiakawanan dalam garis komando.
BalasHapusHeheee ... begitulah jiwa Corsa.
Hapusterharu aku her,,begitukah gambaran di kesatuan?
BalasHapusIyo Lis.
HapusIyo Lis.
HapusMas heru... Rumah saya dekat kopasus kandang menjangan hlo...
BalasHapusTapi baru tau cerita kayak gini... Terharuu...
Wow ... benarkah?
HapusTunggu part selanjutnya ya mbk Ciani.
Insya Allah lebih mbrebes mili.
Mas heru keren.. rumahku di Banjarbaru dekat dodiklatpur..#loh? Gagal fokus😂😂😂
BalasHapusSalam buat ank2 Dodiklatpur ... heheee
HapusEntah kenapa, baca cerita ini tiba2 jd makin rindu NKRI.
BalasHapusHiks, Benar2 membangkitkan rasa nasionalismeku.
Heheee ,,, makasih udh mampir mbk Deasy.
HapusMerinding baca NKRI harga mati!!
BalasHapusNasionalismenya jadi terpompa lagi...
Harus!
HapusNKRI tak boleh tercuil sedikitpun
Wow....perjuangan sahabat2 yg tangguh, terharu aq membacanya..
BalasHapus.waiting lanjutan kisahnya nih...#kepo
Lagi belajar men-skakmat perasaan pembaca
HapusHehee
Tulisanmu Mas..bikin aku baper.
BalasHapusAku langsung mikir..pemimpin kita pernah tau gak ada cerita kayak gini?
Semoga saja mereka tahu.
HapusTrima kasih udh singgah gubuk saya