Rabu, 27 April 2016

BALADA SANG PENGHUTANG NYAWA (Part 2)

Granat asap - image google


Rimba Papua, 2001.

“Sedikit lagi Rendi!”

“Bantu mengangkat tubuhnya ke punggungku!” Pinta Idrus.

Hendri segera membopong Rendi. Diangkatnya tubuh lunglai tak berdaya itu ke punggung Idrus. Kedua tangan Rendi ia ikatkan ke depan badan Idrus. Tak jauh lagi mereka akan mencapai puncak bukit terdekat.

Sementara kesadaran Rendi semakin menurun. Ini berbahaya. Rendi harus tetap terjaga kesadarannya. Hendri menghentikan langkah, lalu berbalik menghampiri Idrus.

“Apa boleh buat, kita harus membuat luka di jarinya!” Ucap Hendri. Ia mengeluarkan sebuah pisau komando yang terselip di pinggang.

“Tahan sebentar, ini sakit. Tetapi akan membuatmu tetap tersadar kawan!” Bisiknya sembari memegang salah satu jari jempol Rendi.

Sesaat Rendi menggeliat dan mengaduh kesakitan. Darah segar mengucur dari ibu jarinya yang terluka oleh pisau komando Hendri.

“Bagus Ren! Kau semakin tersadar. Ayo cepat kita lanjutkan lagi!” Teriak Idrus. Ia mengajak Hendri setengah berlari. Susah payah Idrus menggendong tubuh Rendi. Seperti seorang bapak yang menggendong anak kecilnya.

*********
Sekitar empat jam menyusuri belantara rimba, akhirnya mereka melihat kabut yang semakin menipis.

“Rendi, lihatlah!” Teriak Idrus menunjuk keatas. Kearah sela-sela dedaunan.

“Itu sinar matahari!”

“Bantuan akan segera datang Ren!” Teriak Idrus.

“Cepat lemparkan granat asapmu Hendri!” Setengah histeris Idrus memerintahkan Hendri.

Hendri segera mengeluarkan sebuah benda dari ranselnya. Dibukanya swicth pelatuk, lalu dilemparkan granat asap ke rerumputan tak jauh dari tempat mereka berhenti. Seketika asap putih keungu-unguan membumbung tinggi. Semakin tebal dan mengangkasa.

AN/PRC-77, radiophone di medan tempur - image google

“Menjangan Dua disini. Kami berada pada koordinat tiga puluh derajat lintang selatan. Ada prajurit yang harus segera dievakuasi. Kami butuh tandu dan bantuan medis. Pasukan terdekat harap merapat!” Ucap Hendri melalui radiophone di ranselnya.

“Granat asap menandakan posisi kami!” Tutup Hendri.

“Diterima Macan Tutul Satu. Bantuan sudah bergerak menuju lokasi Menjangan Dua!” Balas sebuah suara yang masuk ke radiophone Hendri.

Setengan jam kemudian, sepasukan bala bantuan datang. Tampak dua prajurit membawa tandu. Empat tentara lainnya dengan sigap memberikan pengawalan perlindungan.

“Cepat angkat dia ke tandu!” Perintah pemimpin pasukan bantuan itu.

“Sersan Daniel, segera injectkan obatmu!”

“Siap Letnan!” Sersan Daniel, prajurit yang diperintah segera melakukan pertolongan pertama. Dari peralatan yang dibawanya, jelas menunjukkan bahwa ia adalah prajurit medis.

“Kita bawa ke Camp Boven Digoel!” Lanjut sang pemimpin.

Mereka adalah sama-sama pasukan TNI yang dikirim ke belantara Papua. Tetapi berasal dari kesatuan yang berbeda. Badge yang menempel di lengan baju menunjukkan mereka berasal dari sebuah kesatuan Batalyon Infantri di Sidoarjo.

“Rendi, aku hanya bisa mengantarmu sampai disini.” Bisik Idrus. Dipeluknya tubuh Rendi yang semakin tak berdaya.

“Kamu akan dibawa ke Camp. Dirawat disana, setelah sembuh kamu ditarik pulang ke markas.” Hendri menggenggam tangan Rendi. Membesarkan hati sahabatnya.

“Sebentar lagi kamu segera bisa berkumpul lagi dengan istri dan anak-nakmu Ren.”  

“Semoga Allah meridhoi pengabdian kita. Jika kita ditakdirkan berumur panjang, tahun depan kita akan bertemu lagi di Kartasura kawan.” Tutup Idrus.

Rendi hanya tersenyum. Bulir-bulir bening pun tak tertahan dan mengalir di sudut bibirnya.

“Terima kasih kawan-kawan. Mungkin aku benar-benar telah mati andai tidak ada kalian.” Jawab Rendi dengan pelan.

“Selamat berjuang. NKRI Harga Mati!” Ia masih sempat mengepalkan tangan saat tubuhnya mulai ditandu pasukan penolong. Bergerak menuju Camp TNI terdekat, Boven Digoel.

Idrus dan Hendri masih berdiri di tempatnya. Menatap iring-iringan pasukan pembawa Rendi. Semakin jauh. Hingga mereka hampir tak terlihat, terbenam dalam sisa-sisa kabut belantara Papua.

“Rendi... Kita bertemu di Kartasura! NKRI Harga Mati!” teriak Idrus. Samar-samar terlihat Rendi di kejauhan melambai-lambaikan tangannya.

Evakuasi prajurit - image google

~ BERSAMBUNG ~
Baca kelanjutannya di :
Part 3
Part 4
Kisah sebelumnya di Part 1

#OneDayOnePost
#PostingHariKeempatPuluhTiga

----------------------------------------
Cerita ini saya dedikasikan untuk almarhum Sertu HS yang telah menyelamatkan nyawa Serda UTS saat mereka dikirim ke medan tugas. Keduanya adalah anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura.

19 komentar:

  1. Balasan
    1. Mbakyu ... true story ini akan ending di kota sampean. Jogja

      Hapus
  2. Sendu sekali. Kesetiakawanan dalam garis komando.

    BalasHapus
  3. terharu aku her,,begitukah gambaran di kesatuan?

    BalasHapus
  4. Mas heru... Rumah saya dekat kopasus kandang menjangan hlo...

    Tapi baru tau cerita kayak gini... Terharuu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow ... benarkah?
      Tunggu part selanjutnya ya mbk Ciani.
      Insya Allah lebih mbrebes mili.

      Hapus
  5. Mas heru keren.. rumahku di Banjarbaru dekat dodiklatpur..#loh? Gagal fokus😂😂😂

    BalasHapus
  6. Entah kenapa, baca cerita ini tiba2 jd makin rindu NKRI.
    Hiks, Benar2 membangkitkan rasa nasionalismeku.

    BalasHapus
  7. Merinding baca NKRI harga mati!!
    Nasionalismenya jadi terpompa lagi...

    BalasHapus
  8. Wow....perjuangan sahabat2 yg tangguh, terharu aq membacanya..
    .waiting lanjutan kisahnya nih...#kepo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lagi belajar men-skakmat perasaan pembaca
      Hehee

      Hapus
  9. Tulisanmu Mas..bikin aku baper.
    Aku langsung mikir..pemimpin kita pernah tau gak ada cerita kayak gini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga saja mereka tahu.
      Trima kasih udh singgah gubuk saya

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *